Barangkali tidak semua warga kota Malang mengenal nama Kabalon --suatu dukuh dalam wilayah desa Cemorokandang, Kecamatan Kedungkandang, kota Malang. Suatu hal yang menarik, Kabalon yang kini hanya berada dalam tingkat dukuh itu dalam panggung sejarah Jawa Kuno ternyata memiliki kedudukan yang penting, setidaknya semenjak masa akhir pemerintahan kerajaan Kadiri hingga Majapahit akhir. Oleh karena itu, sungguh amat disayangkan apabila situs Kabalon kelak tergusur oleh pembangunan. Mengingat, sebagian dari wilayah dukuh ini, kini termasuk dalam areal perumahan Villa Gunung Buring, yang dalam pemekarannya bukan tidak mungkin merambah ke bagian dukuh yang lain. Sehingga, apabila tidak berhati-hati, bisa saja memusnahkan data arkeologis yang tinggal tidak seberapa itu. Tulisan ini, di samping dimaksudkan untuk berbagi informasi historis tentangnya, juga diharapkan menjadi secuil rekaman, jika pada suatu saat fandalisme budaya itu benar-benar terjadi.
Kabalon atau Kabalan telah disebut-sebut, baik dalam sumber data sastra maupun prasasti. Salah satu sumber data sastra yang menyebutnya dalah kitab gancaran (prosa) Pararaton, yang selesai ditulis pada sekitar tahun 1600 Masehi. Dalam edisi J.L. Brandes (1920) ini, Kabalon diberitakan sebanyak dua kali. Pertama, dalam bagian yang menceritakan mengenai seorang kepala lingkungan daerah Turyyanpada (kini Turen) bernama pu Palot, yang baru pulang dari Kabalon. Ia adalah seorang tukang emas yang tengah berguru kepada kepala desa tertua di Kabalon, yang seakan sudah berbadankan kepandaian membuat barang-barang dari emas dengan sesempurna-sempurnanya. Sungguh, ia telah sempurna tak bercacat. Pu Palot pulang dari Kabalon membawa bahan seberat 1 tahil....
Bagian berikutnya, menceritakan upaya Arok untuk belajar membuat perhiasan emas. Semula ia belajar dari pu Palot dari Turyyanpada. Namun, karena masih ada kekurangan pu Palot dalam hal membuat barang-barang dari emas, maka disuruhnya Arok menyempurnakan kepandaiannya pada orang tertua di Kabalon. Arok tak dipercaya oleh orang-orang di Kabalon, sehingga ia marah, seraya melontarkan sapata (kutukan): "Semoga ada lobang di tempat orang yang hidup menepi ini". Bahkan, Arok sempat menikam seseorang, sehingga banyak orang yang lari mengungsi ke kepala desa tertua Kabalon. Akibatnya, para pertapa di Kabalon, mulai dari para guruhyang hingga punta, dipanggil untuk berkumpul. Semuanya keluar sambil membawa alat pemukul bahan perunggu, bersama-sama mengejar dan memukulinya, dengan maksud untuk membunuhnya. Namun, tiba-tiba terdengar suara dari langit: "Jangan kamu bunuh orang itu, wahai para pertapa, anak itu adalah anakku, masih jauh tugasnya di alam tengah ini". Untuk itu, segeralah Arok ditolong, bangun seperti sediakala. Maka, bersabdalah Arok "Semoga tidak ada pertapa di sebelah timur Gunung Kawi yang tak sempurna kepandaiannya membuat benda-benda dari emas". Kemudian pergilah Ken Arok dariKabalon mengungsi ke Turyyanpada, ke daerah lingkungan Bapa, sempurna kepandaiannya tentang emas. Dari daerah itu, selanjutnya Arok menuju ke Tugaran.
Ada beberapa informasi penting yang dapat dipetik dari kitab Pararaton di atas. Pertama, Kabalon merupakan suatu tempat pemukiman para pengrajin, yaitu pande mas. Dengan demikian, di daerah ini (setidak-tidaknya pada sekitar tahun 1600 M), telah terdapat adanya komunitas yang telah maju, bahkan kepiawaiannya dalam membuat barang-barang emas diperhitungkan oleh masyarakat di daerah sekitarnya. Terbukti, pu Palot, yang juga seorang pande mas, menyuruh siswa didiknya (Ken Arok) untuk menyempurnakan kepandaiannya dengan cara belajar kepada seorang pengrajin emas dari Kabalon. Oleh karena, sebenarnya, pu Palot sendiri mendapat ketrampilan itu dari kepala desa tertua di Kabalon, yang dilukiskan sebagai "seakan-akan sudah berbadankan kepandaian membuat barang-barang emas dengan sesempurna-sempurnanya". Hal ini sesuai dengan dengan apa yang tersirat dalam sabda Ken Arok: "Semoga tak ada pertapa di sebelah timur Gunung Kawi yang tidak sempurna kepandaiannya membuat benda-benda emas". Sesuai dengan konteks kalimatnya, ungkapan "pertapa di sebelah timur Gunung Kawi" menunjuk kepada pertapa di desa Kabalon, yang pencariannya adalah sebagai pengrajin emas.
Kedua, Kabalon merupakan suatu komunitas religius. Pendapat ini didasarkan pula pada informasi dalam Pararaton bahwa di desa ini tinggallah para pertapa, mulai dari yang berstatus guru hyang hingga punta, yang bekerja sebagai pengrajin emas. Oleh karena itu, besar kemungkinan daerah Kabalon pernah menjadi semacam mandala kadewagurwan, yaitu tempat pembelajaran, utamanya dalam bidang kerohanian, namun tidak tertutup kemungkinan ketrampilan keduniawian tertentu, misalnya membuat barang kerajian emas. Kegiatan kerohanian utama dari warga komunitas keagamaan di Kabalon adalah bertapa, sehingga dapatlah dipahami apabila Pararaton berkali-kali menyebutnya sebagai "para pertata". Dapat pula dipahami. kalau Kabalon disebut sebagai "tempat untuk menepi".
Di samping informasi tersebut, diketahui bahwa di Kabalon terdapat suatu lobang, sebagaimana tersirat dalam kutukan Arok kepada penduduk Kabalon: "Semoga ada lobang di tempat orang yang menepi di tempat ini". Dalam hal ini, kutukan, sabda atau ucapan penting dari Ken Arok sebagai tokoh sentral dari Pararaton, dapat dijadikan petunjuk mengenai kondisi daerah yang bersangkutan, termasuk pula kondisi geografisnya. Apabila Kabalon yang disebut dalam Pararaton dapat kita identifikasikan dengan dukuh Kabalon di Desa Cemorokandang sebagaimana tertera dalam buku Sejarah Hari Jadi Kabupaten Malang (1984), maka pertanyaannya adalah lobang tersebut kini berupa apa? Suatu hal yang menarik, dalam areal perumahan Villa Gunung Buring terdapat suatu cekungan tanah yang cukup luas, dalam dan memanjang ke bawah, yang sekarang dibangun menjadi kolam pemancingan ikan, yang sekaligus menjadi smacam danau buatan.
Keberadaan Kabalon pada masa Kuno didapati informasinya di dalam kakawin Nagarakretagama (VII: 4), yang menyebutnya dengan nama Kabalan, yaitu sebagai berikut: "Berputralah beliau putri mahkota Kusumawarddhani, amat cantik, amat rupawan, jelita mata, lengkung lampai, bersemayam di Kabalan. Sang menantu Sri Wikramawarddhana memegang perdata seluruh negara. Sebagai halnya dewa-dewi, mereka bertemu tangan, menggirangkan pandang". Kutipan tersebut memuat informasi berharga bahwa pada masa keemasan Majapahit, Kabalon pernah menjadi tanah lungguh (apanage) bagi putri maharaja Hayam Wuruk, yaitu Kusumawarddhani, sebagai rajakumari (rajamuda; kepala negara bawahan) (Nagarakretagama LXXI: 2), suatu kedudukan yang tinggi untuk putra putri raja dalam jabatan birokrasi, sebelum dirinya diangkat menjadi raja. Dalam menjalankan pemerintahan, Kusumawarddhani didampingi oleh suaminya, yaitu Wikramawarddhana (Bhra Hyang Wisesa), sebagai pemegang urusan perdata. Dengan demikian, Kabalon pernah brperan penting dalam panggung sejarah Jawa Kuno, yaitu sebagai pusat kekuasaan seorang rajakumari dengan gelar Padhuka Bhattara, yang acapkali disingkat dengan Bhra atau Bhre.
Tidak perlu diragukan apabila Kabalan merupakan salah satu negara bawahan dari Majapahit, sebab disebut dalam prasasti Waringin Pitu yang bertahun 1369 Saka (22 November 1447 M), bersama dengan Daha, Jagaraga, Kahuripan, Tanjungpura, Pajang, Kembang Jenar, Wengker, Kaling, Tumapel, Singapura, dan Matahun. Dalam prasasti yang dikeluarkan raja Wijayaparakramawarddhana ini diketahui bahwa yang menjadi padhuka bhattara adalah dyah Sawitri, dengan gelar (abhisekanama) Mahamisi. Perihal dyah Sawitri ini, prasasti Waringin Pitu menyatakan bahwa ia adalah putri yang rupawan, bibirnya kemerahan bagai manik-manik, tubuhnya semampai, sehingga menimbulkan kepuasan bagi yang memandangnya. Ditambahkan, ia adalah seorang istri yang bhakti kepada suami, pandai bercumbu dan merayu serta seorang penari yang handal dan pengidung yang merdu. Dengan demikian, hingga masa pemerintahan kerajaan Majapahit akhir kedudukan Kabalan tetaplah penting, yaitu sebagai negara bawahan. Hal lain yang menarik, sejauh diketahui, setidak-tidaknya hingga dua kali daerah ini berada di bawah tampuk pimpinan penguasa wanita, yaitu Kusumawarddhani dan dyah Sawitri.
Nama Kabalan juga disebut juga dalam prasasti Pamintihan yang bertahun 1473 M, dikeluarkan oleh raja dyah Suraprabhawa. Di dalamnya hanya menyinggung bahwa Kabalan berbatasan dengan sima Pamintihan. Dengan demikian, lokasi Pamintihan harus ditempatkan tidak jauh dari dukuh Kabalon sekarang. Tempat lainnya yang dapat dilokasikan tidak jauh darinya adalah Tugaran, sebagaimana disebut dalam kitab Pararaton di atas. Habib Mustopo (1984) mengidentifikasikan Tugaran dengan Tegaron, yaitu suatu dukuh di Desa Lesanpuro, Kecamatan Kedungkandang. Dengan demikian, terdapat sejumlah desa di kawasan Gunung Buring yang menyimpan jejak sejarah masyarakat Malang pada masa Hindu-Buddha. Bukan saja pada dukuh Kabalan, namun amat boleh jadi juga terdapat di desa-desa atau dukuh-dukuh tetangganya.
Keberadaan situs Kabalon, dan situs-situs lain di sekitarnya, yang merupakan tapak-tapak budaya masa lampau pada wilayah kota Malang, tidak bisa tidak segera di selamatkan dari ancaman pemusnahan. Tulisan ini akan diakhiri dengan sisa permasalahan yang sulit untuk dipecahkan, yaitu adanya desa bernama Kebalen, yang namanya juga dekat dengan Kabalon maupun Kabalan. Bahkan, S. Wojowasito (1968) pernah mengemukakan bahwa desa Kebalen, yang terletak berseberangan dengan desa Kutobedah, dahulu merupakan mandala atau panepen, yang bernama Kabalon. Dengan demikian, terdapat dua kemungkinan tempat yang bisa diidentifikasikan dengan yang dibicarakan di atas, yaitu dukuh Kabalon di desa Cemorokandang dan desa Kebalen . Di antara dua kemungkinan tersebut, manakah yang tepat untuk dipilih?
Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum, Mimbar Malangkuseswara: Desember 1996
Baca Selanjutnya ..
Kabalon dalam Lintasan Sejarah Jawa Kuna
Label: Malang Raya
Tokoh Bhima dalam Arkeologi Klasik
aywa lumampah yan turung wruh ing lampah,
aywa met-met yan tan wruh rasaning pinet,
aywa mangan yan turung wruh ing bojana,
awya nembah yan turung wruh ing sinembah.
Artinya:
Janganlah bepergian kalau belum mengetahui tujuannya,
Janganlah mencari kalau belum mengetahui apa yang akan dicari,
Janganlah makan kalau belum mengetahui apa yang engkau makan,
Janganlah menyembah kalau belum mengetahui kepada siapa dan apa artinya.
(Dr.R. Ng. Poerbatjaraka: Dewa Roetji, majalah Djawa tahun 1940, h. 21)
Motto-motto
tersebut merupakan sebagian wejangan Sang Dewaruci (Sang Jinaresi)
kepada Bhima (Sang Wrekodara) setelah Bhima berhasil mengalahkan naga (bujaga) Nabanatwa dan bertemu dengan sang mahardikeng rat (Dewaruci). Setelah itu Dewaruci menyuruh Bhima (Bayusuta, Sang Ardanareswari) supaya masuk ke dalam perutnya (kinon amanjinga garba). Mula-mula Bhima merasa ragu-ragu apakah ia yang bertubuh besar bagaikan gunung (apan alo apangawak parwata) dapat masuk ke dalam perut Dewaruci yang hanya sebesar boneka dan kelihatan seperti anak kecil (satapel alit ing wayah). Tetapi setelah Dewaruci (Sang Hyang Buda Tatwaresi) menjawab: "Endi genging giri mwang lwaning buwana, sa-bubursah mandra kawet katon dengku" (Mana besar gunung dan luas dunia, seluruh alam semesta hanya kelihatan kecil bagiku, barulah Sang Baywatmaja masuk ke dalam perut Dewaruci melalui telinga kiri (karna keri). Bagaimana bunyi wejangan dan makna tafsir selanjutnya dapat dibaca di dalam kitab tersebut (Dewa Roetji) ditambah ceramah Ibu Sumarti Suprayitno dan beberapa buku atau karangan lainnya, seperti Nawaruci (Dr. Prijohoetomo), Fragmenten uit het boek Dewa Rutji (R.T. Wediodiningrat), The Book of Cabolek (Dr. S. Soebardi), dan Dewaruci Unio Mystica Bhima (Sutrisno Puspodikoro Drs. Chem). Penerbitan yang relatif lebih tua mengenai masalah Dewaruci yaitu dikeluarkan oleh penerbit Van Dorp Semarang tahun 1880 (oleh Mas Ngabehi Kramaprawira) dan penerbit Tan Khoen Swie Kediri tahun 1922 (oleh Mas Ngabehi Mangoenwidjaja).
Tokoh Bhima memang dapat ditinjau dari bermacam-macam segi. lebih-lebih tanya jawab antara Bhima dan Dewaruci merupakan sumber kawruh kasampurnan (ilmu kesempurnaan) bagi orang Jawa. Sekarang ini Ibu Sumarti Suprayitno menguraikan tokoh Bhima dalam kaitannya dengan masyarakat sastra dan budaya Jawa. Uraian atau ceramah ini sangat menarik karena tokoh Bhima memang sudah dikenal sejak jaman dahulu, khususnya dalam sastra Jawa Kuno, baik di dalam wiracarita Mahabharata maupun di dalam cerita Nawaruci. Demikian pula ibu Sumaryati Suprayitno telah berhasil membanding cerita Bhima-Dewaruci dengan motif yang sama dalam Wanaparwa, saat Markandeya mengunjungi Pandawa di hutan dan memberi berbagai wejangan kepada mereka. Markandeya menceritakan pengalamannya ketika ia masuk ke dalam perut seorang anak kecil yang duduk di atas dahan pohon beringin dan kemudian mengeluarkannya melalui mulutnya dan menyatakan bahwa ia sebenarnya adalah dewa Narayana atau Wisnu. Di dalam perut anak kecil tersebut Markandeya dapat melihat seluruh alam semesta.
Menanggapi makalah Ibu Sumarti Suprayitno saya akan mencoba mengupas secara singkat dari segi lain, yaitu masalah Bhima dalam arkeologi klasik. Jadi tanggapan ini hanya merupakan penambahan data belaka. Tetapi terlebih dahulu perlu saya jelaskan bahwa pada hakekatnya pemujaan (kultus) kepada tokoh Bhima pada jaman dahulu kerapkali sama atau identik dengan pemujaan kepada lingga. Mengenai masalah pemujaan kepada Bhima, Dr. W.F. Stutterheim telah menulis sebuah karanganyang sangat menarik berjudul Een oud-Javaansche Bhima-cultus (Djawa, 1935: 37-64). Seperti telah diketahui Bhima merupakan salah satu nama (eppitheta) dewa Siwa seperti disebut di dalam kitab Brahmandapurana. Demikian pula sudah diketahui bahwa lingga (phallus) adalah lambang dewa Siwa. Bagaimana awal terjadinya pemujaan lingga dewa Siwa (linggapuja) telah dijelaskan di dalam kitab Linggapurana. Demikian pula di dalam cerita Dewadarumahatmya dikatakan bahwa lingga dewa Siwa jatuh menghunjam ke dasar bumi karena kutuk (sapatha) seorang pendeta (rsi). Peristiwa ini terjadi karena dewa Siwa yang menyamar sebagai seorang pemuda tampan bertelanjang bulat menampakkan diri di dekat sebuah asrama putri yang mengakibatkan kekacauan di dalam asrama. Karena itu pendeta sakti pimpinan asrama tersebut mengutuk agar lingga pemuda tampan itu (dewa Siwa) jatuh masuk ke dasar bumi. Maka terjadilah gara-gara disertai gempa bumi yang hebat, sehingga para dewa lainnya memohon, agar dewa Siwa yang tidur di dasar bumi karena malu, berkenan memasang kembali lingganya dan gempa bumi lenyap. Dewa Siwa menyanggupinya asal semenjak saat itu umat manusia bersedia memuja atau menghormati lingganya.
Cerita lain mengatakan bahwa lingga dewa Siwa yang jatuh kemudian ditampung oleh dewi Parwati yang merubah bentuk menjadi yoni. Selain itu perlu juga diketahui bahwa dewa Siwa dalam bentuknya yang demonis (krodhamurti), yaitu sebagai Siwa Bhairawa, juga digambarkan dengan tanda kelaki-lakiannya (lingga) yang jelas. Demikian pula tokoh Bhima selain diketahui dengan tanda pengenalnyayang khas berupa kuku pancanakha, gelung, gada, dan kain poleng, juga terkenal dengan tanda kelaminnya (phallus) yang digunakan untuk menggali (membuat) sungai Serayu.
Selanjutnya kalau diteliti lebih seksama, kultus phalistik sudah berkembang sejak jaman prasejarah. Pada jaman kebudayaan batu besar (megalithikum) nenek moyang kita banyak menghasilkan benda-benda megalith, antara lain batu tegak (menhir) yang dipahat dengan gambar seorang laki-laki telanjang dengan tanda kelaminnya yang tegak (di puncak Gunung Pojoktilu, Kabupaten Brebes) dan peti mati (sarkofag) yang digambar dengan gambar wanita telanjang dengan tanda kelaminnya yang jelas (di Batutering, Sumbawa). Sudah cukup jelas bahwa lambang kelamin tersebut mula-mula merupakan lambang kesuburan dan penolak malapetaka. Ketika agama Hindu masuk ke Indonesia, pemujaan kepada phallus tersebut kemudian berkembang menjadi pemujaan kepada lingga dewa Siwa. Perlu ditambahkan di sini bahwa di Pura Pusering Jagat di Pejeng Bali, tersimpan dua benda purbakala dari batu yang menggambarkan phallus (lingga) dan vulva (yoni) dalam bentuk alami (naturalistis). Kedua benda purbakala itu disimpan di dalam sebuah bangunan disebut gedong purus (gedong kelamin laki-laki) dan dikeramatkan oleh penduduk setempat.
Dari segi ilmu purbakala (arkeologi) tokoh Bhima dapat diteliti berdasarkan beberapa sumber, antara lain sumber berupa naskah (manuskrip), arca purba (ikonografi), arsitektur (relief), prasasti (epigrafi), dongeng (cerita, mitologi). Karena sebagian sumber tersebut telah diuraikan oleh Ibu Sumarti Suprayitno, maka di bawah ini saya hanya akan menambah beberapa data secara singkat sebagai berikut:
1. Sumber Berupa Naskah
Sumber naskah sebetulnya sudah diuraikan oleh Ibu Sumarti Suprayitno yang mengambil contoh terutama kitab Nawaruci. Dikatakan dalam kolofonnya bahwa kitab Nawaruci dikarang oleh Pu Siwamurti (apusira mpu Siwamurti). Menurut Dr. Prijohoetomo nama itu merupakan nama samaran (pseodoniem) pengarang sesungguhnya. Namun kebenarannya diragukan oleh Dr. Poerbatjaraka. Bahkan Poerbatjaraka mengatakan sebagai berikut: "Zooals Dr. Prijohoetomo zelf heeft opgemerktn(blz. 13), is de Nawaroetji van geprononceerd Siwaitisch karakter. Naar het mij voorkomt, is dit echter ontstaan door de verknoeiing (opzettelijke vervalsching, zou ik bijna zeggen) door den Balischen omwerker, die een Swaiet moet geweest zijn (Djawa, 1935: 32). Dibanding dengan kitab Dewa Roetji yang telah diterjemahkan oleh Poerbatjaraka, kitab Nawaruci rupa-rupanya lebih muda usianya. Tetapi bahasa kitab Nawaruci sangat indah. Bagian penutup kitab itu berbunyi sebagai berikut: "Warnanen punang madhyaratri, sang Pandawa samaguling, arum sumirit ikang sarwakusuma, aganti swara ning cucur mwang tadah harsa, lwir kady anurunuru ring sang Pandawa. Ucapen tikang bangbang wetan, matramatra swara nikang anggentang kalawan swara ning sata. Saksana rahina, umijil sang hyang diwangkara, sumeno apadang sang hyang raditya. Atangi sira sang Pandawa, sama masuci sira ring tirtha maening. Muwah bhattari Kunti kulawan sang Dropadi sampun sira sama amepek pahyas. Iwir puputren ing ringgit yan tiningalan, mantyanta ayu ning rupanira".
Menarik perhatian yaitu kitab Dewa Roetji yang telah diuraikan panjang lebar oleh Dr. Poerbatjaraka di dalam majalah Djawa tahun 1935. Menurut Poerbatjaraka bahasa naskah Dewa Roetji sangat muda dan termasuk bahasa Jawa Baru. Masa pembuatannya diperkirakan pada jaman peralihan (Overgangstijd) masuknya agama Islam di pulau Jawa. Tetapi anehnya Poerbatjaraka sendiri tidak menemukan pengaruh bahasa Arab (agama Islam) di dalam naskah tersebut. Karena itu Poerbatjaraka menduga bahwa naskah Dewa Roetji digubah di daerah terpencil yang belum terkena pengaruh agama Islam, kira-kira pada paruh pertama abad XVI Masehi.
Apabila Poerbatjaraka belum dapat menentukan secara pasti kapan naskah Dewa Roetji digubah, maka Dr. W.F. Stutterheim kemudian menjelaskan di dalam karangannya De Ouderdom van Dewaruci (Djawa, 1935: 131-132), bahwa cerita Dewaruci sudah terkenal pada tahun sekitar 1450 M. Pendapat Stutterheim itu berdasarkan data arkeologi, yaitu sebuah relief menggambarkan Bhima masuk ke dalam lautan dengan tanda-tanda berkumis panjang, mata bulat, gelung yang khas, kalung, kuku pancanakha, dan bertubuh besar. Relief itu terdapat di Gunung Penanggungan (Jawa Timur), yaitu di situs purbakala atau kekunoan No. LXV. (Djawa, 1935, Fig. 1 dan 2). Ternyata pendapat Stutterheim lebih tepat dibanding perkiraan Poerbatjaraka. Maka itu sudah selayaknya kalau di dalam naskah Dewa Roetji tidak terdapat pengaruh agama Islam (bahasa Arab), karena lakon (naskah) Dewa Roetji (menurut ejaan Poerbatjaraka) berasal dari sekitar tahun 1450 M. Dengan demikian kerjasama yang erat antara ahli bahasa kuno (Sanskerta dan Jawa Kuno) dan ahli arkeologi memang sangat mutlak. Stutterheim sendiri mengartikan: "Heeft Dr. Poerbatjaraka vroeger meermalen met succes de hulp van de Oud-javaansche letteren ingeroepen bij de verklaring van onbegrepen archaeologische raadsels, thans zijn wij in staat dit te vergelden en de archaeologie een woordje te laten meespreken bij de oplossing van literaire problemen als die van den ouderdom der Dewaruci" (Djawa, 1935: 131).
Selain masalah sejak kapan lakon (cerita) Dewaruci dikenal oleh masyarakat (Jawa), di dalam naskah itu juga terbukti bahwa cerita Dewaruci berkaitan pula dengan masalah sinkretisme (perpaduan) antara agama Hindu (Siwa) dan Buddha. Di dalam naskah Dewa Roetji tokoh Dewaruci (Hyang Wisesa) sendiri disebut dengan nama-nama yang bernafaskan agama Buddha, yaitu Sang Jinaresi, Budatatwaresi, Adibudaresi, Budarsi, Paramabudengrat, Sri Werocana, dan hanya sekali disebut Hyang Janardana (sama dengan Wisnu). Sebaliknya Bhima di dalam itu disebut Sang Wrekodara, Baywatmaja, Bimasena, Gandarwamaja, Bayusuta, dan Ardanareswari. Nama terakhir menarik perhatian karena Ardhanasari dalam pantheon agama Hindu menggambarkan perpaduan antara unsur dewa (Siwa) dan dewi (Parwati). dalam sebuah arca. Arca Ardhanari (ardha = separuh, nari = wanita) mudah diketahui melihat bagian pinggul dan buah dadanya yang berlainan. Di dalam naskah itu juga dikatakan bahwa Bhima sebenarnya adalah keturunan dewa Brahma atau Caturmuka (berkepala empat buah).
Membaca kedua naskah tersebut maka sekarang dapat disimpulkan bahwa naskah Nawaruci bernafaskan agama Hindu (cf. Mpu Siwamurti), sedangkan naskah Dewa Roetji (Poerbatjaraka) bernafaskan agama Buddha, yaitu berupa wejangan Sri Werocana (Dewaruci) kepada Bhima (epitheta Siwa dan keturunan Brahma). Perlu ditambahkan di sini bahwa menurut pendapat Dr. Th.Pigeaud nama dhyanibuddha Wairocana (penguasa zenith) yang sanggup memberikan maharddhika (kemakmuran dan kebahagiaan) kepada umat manusia, kemudian berubah ucapannya menjadi Erucakra (Herucakra) dalam masyarakat Jawa. Demikian pula apabila kitab Dewaruci (Bimasuci) sekarang dianggap berisikan filsafat (kawruh kasampurnan, manunggaling kawula lan gusti [unio mystica]), maka naskah Dewa Roetji juga melambangkan perpaduan (sinkretisme) antara agama Hindu (Siwa) dan Buddha, dan nama Ardaneswari (Bhima) juga melambangkan manunggaling jalu (priya) lan wanita. Dengan kata lain perkataan bersatunya unsur purusa (laki-laki) dan pradhana (wanita). Apabila diperluas juga bersatunya unsur buwana agung (macro cosmos) dan buwana alit (micro cosmos), karena kedua buwana (jagat) tersebut masing-masing mempunyai lima unsur yang disebut panca mahabhuta (lima unsur yang besar), yaitu akasa (ether), bayu (angin), teja (cahaya, sinar), apah (air, zat cair), dan prthiwi (bumi, zat padat).
2. Sumber Berupa Arca (Ikonografi)
Di dalam karangan W.F. Stutterheim berjudul Een Oud-Javaansche Bhima-cultus (Djawa, 1935), sudah diuraikan panjang lebar temuan-temuan arca Bhima di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Demikian pula dalam ceramah Ibu Sumarti Suprayitno beberapa temuan arca Bhima tersebut sudah disinggung. Dengan demikian saya hanya akan mengupas secara singkat arca Siwa-Bhairawa (Bhima-Bhairawa) di Pura Kebo Edan di Pejeng (Bali). Berlainan dengan arca Bhima yang berasal dari Candi Sukuh, arca di Pura Kebo Edan berdiri dengan sikap alidha (Jawa: mbregagah, Bali: ningkang), kedua belah tangannya di atas pinggang, memakai topeng, menginjak mayat, dan kelaminnya (phallus) mencuat keluar dari celah-celah cawatnya ke arah kiri. Di bagian ujung kelamin, yaitu di sekitar glans penis terdapat beberapa buah bulatan yang mirip dengan lingga di Pura Pusering Jagat dan phallus arca Bhima yang tersimpan di museum Jakarta dan Leiden.
Arca Siwa Bhairawa (Bhima Bhairawa) yang setinggi 3,6 m itu mungkin menggambarkan seorang raja Bali yang memerintah sekitar tahun 1337-1342 M bernama Astasura-ratna-bumi-banten. Astasura berarti 8 orang raksasa, dan nama itu mengingatkan kita kepada delapan nama dewa Siwa (astasanjna), yaitu: 1. Rudra, 2. Bhawa, 3. Sarwa, 4. Isa, 5. Pasupati, 6. Bhima, 7. Ugra, 8. Mahadewa; dan juga delapan Bhairawa yang terkenal di Nepal dan bertempat tinggal di kuburan, yaitu 1. Asitangga-Bhairawa, 2. Krodha-Bhairawa, 3. Ruru-Bhairawa, 4. Kapala-Bhairawa, 5. Unmatta-Bhairawa, 6. Samhara-Bhairawa, 7. Sukra-Bhairawa, 8. Bhisana-Bhairawa. Juga di desa Pejeng, tidak jauh dari Pura Kebo Edan, terdapat arca Bhima dalam bentuk Chatuhkaya. Pertanyaan mengapa phallus arca Siwa-Bhairawa tersebut membelok ke arah kiri, mungkin berkaitan dengan sekte agama Tantrayana yang dianut oleh raja Astasura-ratna-bumi-banten (banten: Bali). Seperti telah diketahui sekte agama Tantrayana dibedakan menjadi dua aliran, yaitu aliran kiri (left-hand path) dan aliran kanan (right-hand path). Aliran kiri (niwrtti) melakukan praktek panca-ma sebanyak-banyaknyasedangkan aliran kanan (prawrtti) berusaha mencegahnya atau tidak melakukannya. Panca-ma (ma lima) terdiri atas: 1. matsya (ikan), 2. mamsa (daging), 3. mudra (padi-padian, sikap tangan), 4. mada (minuman keras yang memabukkan), 5. maithuna (cinta kasih, coitus). Nama Pura Kebo Edan (Kerbau Gila) sendiri juga menunjuk ke arah upacara mabuk-mabukan dengan minum-minuman keras (mada) sehingga menjadi gila (edan). Perkataan mada yang berarti minuman keras (Sanskerta) dapat dibandingkan dengan mad (Inggris) yang berarti gila. Lebih lanjut mengenai masalah Pura Kebo Edan dan raja Astasura dapat dibaca di dalam karangan saya berjudul Betulkah Astasura-ratna-bumi-banten seorang raja Bali yang murka dan hina? (Seminar Sejarah Nasional III di Jakarta, 1981) dan Mengapa phallus arca Siwa-Bhairawa di Pura Kebo Edan menghadap ke arah kiri? (Berita Arkeologi, Maret 1983).
3. Arsitektur (Relief)
Sebetulnya sampai sekarang belum pernah diketemukan bangunan candi yang khusus digunakan untuk memuja Bhima sendiri. Bangunan candi yang ada hingga sekarang umumnya dihubungkan dengan candi agama Hindu (untuk memuja Siwa) dan candi agama Buddha (untuk memuja Buddha) atau untuk memuja kedua-duanya (misalnya Candi Jawi). Di Candi Sukuh dan Candi Ceta memang terdapat arca tokoh Bhima, tetapi candi itu terutama digunakan untuk memuja Siwa dalam bentuknya sebagai lingga (phallus). Hanyalah karena lambang kelamin laki-laki di Candi Ceta yang berbentuk alami (naturalistis) lebih banyak mendekati bentuk phallus Bhima dibanding dengan lingga dewa Siwa, maka candi itu mungkin dapat dikatakan sebagai bangunan candi untuk memuja Bhima, phallus, dewa Siwa, dan dewa setempat (local deities) lainnya. Demikian pula di bagian sekitar glans penis phallus Candi Ceta terdapat bulatan-bulatan yang mirip dengan phallus dari Pura Pusering Jagat, Pura Kebo Edan (Bhima Bhairawa) dan kelamin arca Bhima yang tersimpan di Museum Jakarta dan Leiden.
Relief Bhima dengan dua raksasa Kalantaka dan Kalanjaya
Seperti telah diketahui sebuah lingga lambang dewa Siwa terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian bawah segi empat (Brahma-bhaga), tengah segi delapan (Wisnu-bhaga) dan bagian atas berbentuk bulat atau silinder (Puja-bhaga atau Rudra-bhaga). Memang di dataran tinggi Dieng terdapat sebuah bangunan kuno disebut Candi Bimo, tetapi candi itu digunakan untuk memuja dewa Siwa, sama halnya dengan Candi Arjuno, Candi Semar, Candi Sembodro dan lain-lainnya. Demikian pula nama wayang bangunan candi di Pegunungan Dieng bukannya nama asli, melainkan nama baru yang diberikan kemudian. Perlu ditambahkan di sini bahwa tokoh Bhima memang dipahat pada relief tertentu, misalnya cerita Sudhamala di Candi Sukuh yang melukiskan Bhima sewaktu membunuh (ngruwat) seorang raksasa bernama Kalantaka. Di bagian atas relief sebelah kiri terpahat angka tahun 1361 Saka (1439 M).
4. Sumber Berupa Prasasti (Epigrafi)
Prasasti hanya menyinggung nama Bhima secara singkat, misalnya menyebut sebuah cerita yang berkaitan dengan Bhima sewaktu masih anak-anak (muda), yaitu cerita Bhimakumara (macarita bhima ya kumara). Di dalam prasasti Randusari II yang berangka tahun 885 M juga disebut seorang pejabat marhyang (petugas keagamaan) bagian utara bernama pu Bhima (marhyang lor pu bhima). Kemudian di dalam prasasti raja Kretarajasa yang bertahun 1296 M (Prasasti Sukamrta) juga disebut ketangkasan seorang pejabat rakryan kanuruhan ing Daha bernama pu Iwar yang pandai berperang menggunakan gada bagaikan Bhima (gada-dhara-bhimatulya-ranati-sura).
5. Dongeng (Cerita)
Dongeng atau cerita yang berkaitan dengan tokoh Bhima (Bimo) banyak terdapat di kalangan masyarakat Jawa, Bali dan di beberapa pulau lainnya. Di pulau Jawa penduduk mengenal pahatan telapak kaki yang disebut tapak Bimo, sebuah mata air di Pegunungan Dieng yang merupakan tuk (sumber) Sungai Serayu disebut tuk Bimo lukar. Demikian pula cerita terjadinya Sungai Serayu dikaitkan dengan Bhima yang menggalinya dengan menggunakan phallusnya. Gugusan bintang di angkasa raya oleh orang Jawa disebut lintang Bimosakti. Selanjutnya nama sebuah kota di Pulau Sumbawa, yaitu kota Bima, yang dikaitkan dengan tokoh Pendawa Lima Sang Bimo. Selain itu Candi Ijo (sebelah tenggara Candi Prambanan di atas bukit) yang merupakan bangunan lingga (linggaheiligdom) dari sekitar tahun 900 M, oleh penduduk setempat dikaitkan dengan danyang penunggu Candi Ijo bernama Kyahi Poleng. Seperti telah diketahui kain poleng erat kaitannya dengan pakaian Bhima.
Demikianlah tanggapan singkat saya mengenai tokoh Bhima dipandang dari segi arkeologi klasik. Sebagai penutup perlu saya jelaskan bahwa tokoh Bhima (Bimo) yang terkenal di dalam masyarakat sebagai tokoh pembebas (pangruwat), pendobrak, penolak malapetaka, dan lambang seksualitas yang luar biasa (phallus Bhima untuk menggali Kali Serayu), di dalam naskah Nawaruci juga terkenal sebagai seorang pertapa bernama Angkusprana yang bertapa di Prthiwijati dan mampu mengalahkan segala godaan para bidadari yang cantik.
M.M. Sukarto K. Atmodjo, Berkala Arkeologi September 1986
Karangan singkat ini merupakan tanggapan terhadap ceramah Ibu Dra. Sumarti Suprayitno 'Tokoh Bhima dalam Masyarakat Sastra dan Budaya Jawa' di Lembaga Javanologi, Yayasan Panunggalan pada tanggal 25 Juli 1986. Baca Selanjutnya ..
Label: Zaman Kuno
AIRLANGGA
Ceramah inaugrasi Prof. Dr. J.G. de Casparis, guru sejarah Indonesia Lama dan Bahasa Sanskerta pada Perguruan Pendidikan Tinggi Guru Universitas Airlangga di Malang yang diadakan di Malang pada bulan April 1958.
Dalam ceramah ini kami akan berusaha melukiskan Airlangga sebagai seorang tokoh yang mahabesar dalam sejarah kita. Bertalian dengan waktu yang terbatas, maka terutama akan ditaruh perhatian kepada beberapa aspek pemerintahan Airlangga, seperti bahan-bahan baru atau penafsiran baru tentang bahan-bahan yang diketahui sejak lama, lalu penentuan cita-cita Airlangga dan arti pemerintahannya dalam usaha kita untuk mengerti dengan sedalam-dalamnya akan sejarah kita. Berkenaan dengan itu, sebaiknya lebih dahulu kita tinjau garis-garis besar perkembangan Jawa Timur sebelum Airlangga.
Jika keadaan geografis di Jawa Timur dibandingkan dengan Jawa Tengah, maka ada perbedaan yang sangat menyolok. Di Jawa Tengah daerah-daerah yang paling subur terletak di sebelah selatan, seperti lembah Sungai Serayu, daerah Kedu, Jogjakarta dan Surakarta. Lembah-lembah tersebut letaknya agak terpisah dengan Laut Jawa, tidak hanya karena pegunungan, yang pada zaman yang silam merupakan rintangan untuk perhubungan, melainkan terutama karena ketiadaan sungai-sungai besar yang mengalir ke utara; pada zaman lama, seperti di Kalimantan sampai dewasa ini sungai besar merupakan urat lalu lintas yang paling penting. Letaknya yang sedemikian tentu memberikan perlindungan kepada Jawa Tengah di sebelah selatan. Keadaan geografis menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang sangat baik untuk pertahanan daerah itu terhadap musuh dari luar. Sejarah baru pun menunjukkan beberapa contoh yang jelas tentang kuatnya posisi devensif di daerah Selatan di Jawa Tengah (perjuangan Diponegoro, perlawanan terhadap Clash Belanda yang kedua). Akan tetapi, perlindungan itu pun juga merupakan rintangan dalam perhubungan dengan Laut Jawa. Dibandingkan dengan Jawa Tengah, Jawa Timur ternyata terbuka di sebelah Utara, sedangkan sungai-sungai seperti Sungai Brantas dan Bengawan Solo memungkinkan lalu lintas jauh ke pedalaman. Sebaliknya, pusat-pusat besar di Jawa Timur lebih mudah diserang oleh musuh yang datang dari seberang laut. Tidak perlu ditambah bahwa faktor-faktor geografis itu ternyata jauh lebih penting pada zaman lama daripada dewasa ini. Faktor geografis tersebut tidak boleh diabaikan dalam setiap usaha untuk memahami sejarah Pulau Jawa sebaik-baiknya. Maka tidak mengherankan bahwa peninggalan-peninggalan dari fajar manusia kita dapati di Jawa Timur atau dekat lembah-lembah Bengawan Solo dan Sungai Brantas, seperti di Trinil, Wajak, dan Mojokerto. Pusat-pusat pertama berkembang di tempat-tempat terlindung melalui jalan-jalan lalu lintas yang menghubungkan tempat-tempat itu dengan dunia luar.
Ternyata pula bahwa pengaruh India pada abad-abad pertama Masehi nampak di Jawa Barat (Rengasdengklok) dan di Jawa Timur, di mana di daerah Jember ditemukan sebuah patung kesenian Amarawati. Di Jawa Tengah pengaruh kebudayaan India masuk beberapa abad kemudian. Akan tetapi, di daerah terlindung itu pengaruh India melahirkan sebuah kebudayaan yang demikian tinggi sehingga masih mengagumi kita dan menarik pelawat dari seluruh dunia. Perlindungan tersebut memungkinkan berkembangnya kebudayaan yang sangat tinggi, tetapi sebaliknya tidak menimbulkan suatu pusat politik yang memperluas hubungannya politik dan perniagaan dengan pulau-pulau lainnya apalagi dengan luar negeri. Tentang dinasti Sailendra kita yakin sekarang, bahwa rajakula itu baru mencapai kedudukan penting di lapangan politik dan ekonomi pada waktu menduduki tahta negara Sriwijaya.
Selama masa kebesaran di Jawa Tengah, yakni abad VIII dan IX, tidak ada kerajaan yang besar di Jawa Timur. Meskipun demikian, di Jawa Timur timbul beberapa pusat yang mungkin tidak sepenuhnya berdaulat, tetapi perlu menarik perhatian kita karena beberapa faktor. Berkat sebuah prasasti yang berasal dari Dinoyo, dekat kota ini (Malang) dan berangka tahun 760, kita tahu bahwa di daerah ini timbullah satu pusat kerajaan pada abad VIII. Kami telah menunjuk bahwa nama kerajaan itu ialah Kanuruhan; sehingga nama tersebut hidup terus sebagai gelar seorang pegawai tinggi sampai dengan masa Majapahit. Kira-kira pada zaman itu pun juga sebuah prasasti dari daerah Pare membuktikan bahwa pengaturan jalan Sungai Brantas dan anak sungai itu mendapat perhatian besar. Guna mengurangi bahaya banjir, yang sudah beberapa kali menimpa penduduk di daerah itu, maka atas inisiatif sebuah biara aliran Sungai Srinjing diperbuat dengan tanggul dan mungkin diperbuat bendungan dan digali danau, ke mana air dapat dikendalikan pada waktu hujan deras. Rupanya pekerjaan itu dilaksanakan dengan jalan gotong royong oleh sekalian penduduk di daerah itu. Sesudah abad VIII, pengaturan Sungai Srinjing itu mendapat perhatian dua kali lagi pada awal abad X. Selain itu, sumber sejarah tidak banyak memberikan keterangan tentang perkembangan Jawa Timur pada abad VIII dan IX. Rupanya, pusat-pusat kecil seperti Kanuruhan yang tadi kami sebutkan tetap ada, tetapi artinya sangat terbatas.
Perhubungan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur baru mengalami perubahan besar pada kira-kira tahun 900, pada waktu raja Balitung naik tahta di Medang di Jawa Tengah. Kita tahu bahwa Balitung mendapat kekuasaan berkat perkawinannya dengan seorang putri dari rajakula di Jawa Tengah, sedangkan ia sendiri bukan seorang anggota rajakula itu. Artinya ialah bahwa Balitung berasal dari rajakula yang lain, jadi dari daerah yang lain. Telah dikemukakan bahwa kemungkinan namanya mencerminkan asalnya dari pulau Balitung, akan tetapi selain nama itu tidak ada bahan yang dapat memperkuat persangkaan tersebut. Menurut penafsiran yang lain, yang sangat menarik hati, Balitung berasal dari suatu kerajaan setempat di Jawa Timur. Bagaimanapun juga, wilayah kekuasaan Balitung meliputi baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Balitung dan pengganti-penggantinya sampai dengan Wawa terus berkeraton di Jawa Tengah, tetapi makin lama makin banyak perhatian dicurahkan kepada Jawa Timur.
Pada hemat kami, sikap itu terutama disebabkan oleh karena timbulnya perniagaan dengan Timur Tengah dan Eropa melalui Timur Tengah. Antara hasil bumi yang dicarikan pedagang Arab dan Parsi termasuk rempah-rempah dari Maluku dan berbagai-bagai jenis kayu (antara lain cendana) dari Nusa Tenggara Timur. Dalam perdagangan itu, letaknya pelabuhan-pelabuhan di Jawa dapat dikatakan sangat baik, karena kira-kira di tengah jalan antara pulau-pulau penghasil rempah-rempah dan kayu harum dan Sriwijaya (Palembang), yang tetap merupakan pusat perdagangan internasional. menurut hipotesis kami, pedagang-pedagang Jawa Timur membawa beras dan lain hasil bumi Jawa ke Maluku dan Nusa Tenggara, di mana beras itu ditukar dengan rempah-rempah dan kayu harum. Hasil bumi tersebut lalu mereka angkut ke Sriwijaya guna menjualnya kepada pedagang-pedagang asing. Pada akhirnya, perahu-perahu Jawa kembali ke Jawa Timur dari Sriwijaya dengan muatan yang berharga untuk daerah mereka seperti emas, tembikar, dan sutera dari Tiongkok, kain dari India, dupa dari Arab dan lain-lain. Perdagangan tersebut memperkaya Jawa Timur dan meberikan kedudukan penting kepada Jawa Timur. Kedudukan itu menimbulkan iri hati Sriwijaya. Sebelumnya pusat perniagaan yang besar hanya Sriwijaya saja. Sungguh pun pusat di Jawa Timur bukan pusat perdagangan antar negara, namun para pemimpin di Sriwijaya menjadi sadar bahwa lama-kelamaan pedagang-pedagang Jawa Timur akan menarik saudagar asing ke pelabuhan-pelabuhan mereka dengan tidak lagi menyalurkan barangnya melalui Sriwijaya. Pemimpin-pemimpin itu berpendapat bahwa sebaiknya diambil tindakan terhadap kerajaan di Jawa Timur sebelum kedudukannya menjadi lebih kuat lagi.
Dengan itu dibuka suatu bab baru dalam sejarah Indonesi, yakni masa pertentangan antara Sriwijaya dan Jawa Timur, yang masing-masing berusaha merebut kedudukan utama di dunia Nusantara. Perjuangan itu dimulai kira-kira pada tahun 925 M dan berlangsung kira-kira seabad lamanya sampai zaman Airlangga. Baru pada waktu itu dicapai sejenis keseimbangan kekuasaan antara Sriwijaya dan Jawa Timur. Dalam babak pertama perjuangan itu, inisiatif dipegang oleh Sriwijaya. Pada tahun 928 atau 929, atau satu dua tahun kemudian, pasukan dari Melayu, ialah daerah Jambi yang patuh kepada Sriwijaya, mendarat di Jawa dalam suatu usaha untuk membasmikan pusat-pusat di Jawa Timur. Pasukan-pasukan itu sampai dekat Nganjuk, tetapi di sana menderita kekalahan oleh laskar Jawa yang dipimpin pu Sindok. Peristiwa yang penting itu kita ketahui dari sebuah prasasti Sindok yang berangka tahun 937(?). Prasasti tersebut mengenai pendirian sebatang tugu kemenangan (jayastambha) bertempat di Anjukladang, beberapa kilometer di sebelah selatan kota Nganjuk sekarang. Peristiwa itu dapat menjelaskan dua soal yang sebelumnya tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan. Yang pertama mengenai kedudukan pu Sindok, yang oleh penyelidik lebih dulu dianggap sebagai teka-teki. Maklumlah nama Sindok sudah kita temui dalam beberapa prasasti sebelum pemerintahannya sebagai seorang pegawai tinggi (Rakai Halu dan Rakai Hino), tetapi tidak lazim di Jawa bahwa seorang prabu digantikan oleh menterinya.
Akan tetapi, penggantian luar biasa memang mungkin dalam keadaan luar biasa. Andaikata kita berpendapat bahwa Sindok-lah yang menjadi penyelamat negara selaku panglima perang, maka dapat dimengerti bahwa tahta kemudian diserahi kepadanya. Sebenarnya, kejadian yang sedemikian sering kita saksikan dalam sejarah Barat dan Timur. Suatu contoh yang terkenal dari sejarah Timur adalah Candragupta Maurya yang memimpin pasukan raja Nanda terhadap Yunani tetapi menjadi raja sendiri setelah mengusir Yunani dari wilayah India. Soal yang lain yang sekarang dapat dimengerti, ialah sebab pemindahan keraton ke Jawa Timur. Dalam kitab-kitab sejarah kita, pemindahan tersebut masih diselubungi dalam rahasia dan kebanyakan hipotesis tentangnya menitikberatkan kemungkinan suatu bencana alam yang besar di Jawa Tengah, seperti banjir, meletusnya Gunung Merapi, atau penyakit menular. Tetapi sekarang ternyata bahwa pemindahan tersebut dapat kita pahami sepenuhnya, Dalam taraf pertama raja-raja Mataram Lama seperti Balitung sampai dengan Wawa lebih mementingkan Jawa Timur daripada Jawa Tengah karena keinsafan akan pentingnya perniagaan antar pulau. Dalam taraf yang kedua, pemimpin-pemimpin Jawa menghadapi serangan oleh Sriwijaya dan memutuskan untuk hanya membela bagian kerajaan yang dipentingkan itu; lembah rendah Sungai Brantas dipertahankan, tetapi seluruh daerah itu di sebelah barat dari itu, termasuk Jawa Tengah, dibiarkan saja.
Babak yang kedua dalam perjuangan terjadi pada akhir abad X. Raja Dharmawangsa Teguh masih merasa terancam oleh Sriwijaya dan ia berpendapat bahwa pembelaan yang terbaik ialah penyerangan. Maka ia mengirimkan ekspedisi ke Sumatera Selatan dan berhasil menduduki beberapa bagian daerah itu selama beberapa tahun. Hal itu menunjukkan dengan jelas betapa besarnya perkembangan alat-alat kekuasaan Jawa Timur. Dalam jangka waktu kurun waktu kurang dari 70 tahun kerajaan di Jawa Timur telah berhasil membangun angkatan laut yang cukup besar untuk dapat melancarkan serangan terhadap Sriwijaya. Selain itu, Dharmawangsa Teguh membuka hubungan resmi dengan Tiongkok dengan jalan mengirim perutusan ke Tiongkok. Pentingnya peristiwa itu ternyata dari hal bahwa tidak ada perutusan Jawa yang lain setelah abad VII, yakni setelah timbulnya Sriwijaya. Meskipun Dharmawangsa Teguh memasukkan pasukannya di Sumatera Selatan, namun ia tidak berhasil memperlemah, apalagi menghancurkan Sriwijaya. Setelah pengalaman yang pahit itu, Sriwijaya memperkuat tentaranya dan memperkokoh hubungannya dengan Tiongkok dan India. Dengan 'India' dimaksutkan suatu kerajaan besar lagi kuat di India Selatan, yang dipimpin oleh raja-raja dari raja Cola.
Dulu, negara tersebut adalah kecil dan tidak berpengaruh di luar dengannya yang asli, ialah pantai timur India, selatan kota Madras sekarang, akan tetapi mulai dari awal abad X kerajaan tersebut berangsur-angsur memperluas wilayahnya dan mencapai puncak kekuasaannya pada akhir abad X dan sepanjang abad XI. Perkembangan itu terutama disebabkan oleh politik Rajaraja Cola I (985-1012 M) dan Rajendra Cola (1012-1044 M). Mereka membawa pasukannya sampai ke lembah Sungai Gangga dan menduduki Pulau Sailan. Selain itu, kedua raja tersebut sangat mementingkan angkatan laut, rupanya dengan maksud untuk menguasai jalan-jalan perniagaan. Maka Sriwijaya menginsyafi bahwa peperangan di dua pihak --India dan Jawa-- akan menimbulkan keadaan yang sangat berbahaya. Maka syarat utama untuk dapat melancarkan serangan balasan terhadap negara di Jawa Timur ialah jaminan untuk tidak diserang oleh pihak Cola. Maka kira-kira tahun 1000 Sriwijaya mengirim perutusan ke istana Cola bermaksud untuk mengadakan persekutuan dengan Rajaraja I Cola. Persekutuan itu diperkuat dengan pendirian sebuah biara agama Buddha oleh Sriwijaya di negeri Cola, yakni di Nagipattan. Baru setelah itu Sriwijaya merasa siap untuk menunjukkannya ke Jawa Timur, dan dengan itu dimulai fase ketiga dalam hubungan antara Sriwijaya dan Jawa Timur.
Pasukan Sriwijaya itu dipimpin oleh seorang raja vasal Sriwijaya, ialah Raja Wurawari dari Semenanjung Malaya. Tentang tahun dilancarkan serangan itu belum ada kepastian yang mutlak. Itu disebabkan karena tempat dalam Prasasti Calcutta, di mana serangan itu diceritakan, sudah sedikit rusak, pada khususnya angka puluhan dalam angka tahun. Kebanyakan pengarang masih ragu-ragu tentang penafsiran angka tersebut; karena itu ada yang membaca tahun tersebut 1006, ada pula yang membacanya sebagai 1016. Krom telah membaca 1006 dan angka tahun itu diambil oper dalam kitab-kitab pelajaran sejarah. Empat tahun yang lalu kami mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Calcutta, tempat disimpan batu yang bersangkutan. Berkat pemeriksaan batu tulis yang asli saya yakin sekarang bahwa angka-angka tersebut sebenarnya berbunyi 1017.
Itulah tahun yang penting dalam sejarah kita. Pasukan yang dipimpin Haji Wurawari memasuki Jawa Timur dan menuju ke keraton Dharmawangsa Teguh. Rupanya serangan itu tidak disangka lebih dahulu, sehingga tidak ada persiapan benar dan tidak diberi perlawanan semestinya. Maka serangan Wurawari berakibat penghancuran keraton dan seluruh pusat negara Jawa Timur. Dalam laporan tentang kejadian tersebut akibatnya dilukiskan dengan istilah pralaya. Istilah tersebut sangat terkenal dari agama Hindu, di mana artinya ialah penghancuran alam semesta pada akhir masa Kaliyuga. Dalam mythologi Hindu perkembangan alam semesta dibayangkan meliputi empat masa, yang masing-masing ribuan-ribuan tahun lamanya. Setelah penciptaan alam oleh Dewa Brahma timbul sejenis zamannya emas, dalam mana sekalian makhluk hidup dengan damai dan kemakmuran tanpa kekurangan manapun juga. Akan tetapi, masa itu tidak abadi lamanya; karena makhluk sekalian makhluk berdosa, maka lama kelamaan alam semesta mesti memburuk. Pada masa keempat, yakni Kaliyuga, manusia tidak lagi mengutamakan undang-ndang yang ditetapkan Dewa, melainkan semata-mata mengejar kepentingan dirinya dengan jalan yang tidak senonoh. Dosa manusia bertimbun-timbun, sehingga pada akhirnya dicapai suatu taraf, dalam mana dunia itu tidak dapat diselamatkan lagi. Maka pada ketika itu, Dewa Siwa berpendapat bahwa hanya tinggallah satu jalan saja, yakni menghancurkan alam semesta dengan segala-galanya. Penghancura itulah yang dinamakan pralaya. Meskipun dunia pada waktu itu seluruhnya musnah, namun itu belum menjadi akhir kehidupan di dunia. Setelah beberapa waktu --dalam mythologi waktu itu ribuan tahun lamanya-- akan diciptakan dunia yang baru. Seperti dulu halnya, dunia baru itu dimulai lagi dengan zaman masa yang lama kelamaan akan memburuk pula dan seterusnya.
Konsepsi itu telah kami uraikan dengan panjang lebar sebab merupakan kunci guna memahami sepenuh-penuhnya arti kekalahan itu pada tahun 1016. Kekalahan itu diperbandingkan dengan pralaya, oleh karena di Jawa Timur pun serangan Haji Wurawari berakibat penghancuran negara. Akan tetapi seperti Dewa Brahma kemudian akan menciptakan dunia baru dari abu dunia yang lama, maka seperti itu Airlangga-lah yang akan menciptakan negara baru dari abu negara lama.
Kehidupan Airlangga
Pada waktu serangan Raja Wurawari Airlangga baru berumur enambelas tahun dan sedang merayakan pernikahannya dengan putri raja Dharmawangsa Teguh. Justru karena perayaan besar itu tidak diberi perhatian sewajarnya kepada pertahanan pusat negara. Oleh karena serangan itu sebenarnya terjadi pada tahun 1016, bukan 1006, maka tahun lahirnya Airlangga perlu ditinjau kembali; berdasarkan koreksi tersebut. Airlangga dilahirkan pada tahun 1016 kurag 16 jadi pada tahun 1000, tahun yang dapat dihafalkan oleh pemuda kita dengan mudah. Menurut silsilah dalam prasasti Calcutta ia turun dari pu Sindok, tetapi tidak secara langsung, melainkan melalui putri Sindok dan ibu Airlangga. Silsilah itu sudah membuktikan bahwa kedudukan Airlangga tidak semata-mata disebabkan karena keturunannya dari Sindok melainkan terutama karena ia telah menjadi menantu raja Dharmawangsa Teguh. Mungkin raja itu tidak mendapat keturunan lelaki, mungkin juga putranya sekaliannya menemui ajalnya pada tahun 1017. Orang tuanya memerintah di Bali. Ayahnya yang bernama Udayana, mungkin seorang pangeran Bali, yang menikahi Mahendradatta keturunan Sindok; akan tetapi, menurut suatu hipotesis yang baru, Udayana harus disamakan dengan seorang raja Kamboja. Udayadityawarman namanya, yang diusir dari Kamboja kira-kira tahun 1000 oleh Suryawarman I. Hipotesis tersebut yang berasaskan gambar-gambar timbul, angka tahun 977 dan nama Udayana yang tertulis di Jalatunda, menimbulkan beberapa kesukaran kronologis, sehingga belum dapat diterima baik.
Bagaimanapun juga, pada waktu penghancuran keraton Airlangga bersama-sama dengan sejumlah pembesar kerajaan berhasil menyelamatkan diri dan menyembunyikan diri dalam hutan. Tempat yang ditempuhnya ialah sebuah asrama, di mana Airlangga dan pengikutnya hidup sebagai pertapa. Dalam kebanyakan buku sejarah, kediaman Airlangga dalam asrama ditafsirkan sebagai usaha guna menyamarkan diri dan, dengan jalan demikian, mengelakkan pengejarnya. Kami setuju bahwa mngkin sekali itulah yang menjadi pertimbangannya yang pertama, pada waktu ia terpaksa meninggalkan ibukota. Akan tetapi, dalam kehidupan Airlangga kediamannya di asrama mendapat arti yang sangat berlainan, yang mungkin sebaiknya dinamakan 'masa persiapan rohani', yakni persiapan rohani untuk perjuangan yang dihadapinya untuk membangun kembali negaranya.
Pada masa itu Airlangga dan para pengantarnya hidup selaku pertapa dan mentaati segala kewajiban yang ada pada kedudukan itu. Batu Calcutta memakai istilah valkaladhara, yakni berpakaian kain dari kulit pohon. Pada umumnya, kewajiban tersebut antara lain meliputi yoga, yaitu latihan-latihan jasmani dan rohani guna dapat mengatasi segala jenis hawa nafsu dan rintangan lainnya dan memusatkan pikirannya semata-mata kepada cita-cita yang luhur. Lain daripada itu, Airlangga memberi perjanjian dengan sumpah bahwa ia terus akan mementingkan nilai-nilai rohani apabila ia berhasil mengusir musuh dan mempersatukan kembali negaranya. Maka masa persiapan itu sangat penting untuk memahami tindak laku Airlangga yang kemudian.
Dari perjuangan Airlangga beberapa tahun kemudian kita dapat memperoleh bayangan, bagaimana keadaan di Jawa Timur selama Airlangga tinggal dalam pertapaan. Kesan itu secara singkat, ialah bahwa negara-negara menjadi pecah belah. Rupanya maksud Sriwijaya bukan untuk menaklukkan Jawa Timur, melainkan memperlemahnya sehingga tidak lagi akan menjadi penyaing untuk kekuasaan tertinggi dalam perairan dan hubungan luar negeri nusantara. Sikap itu sesuai dengan teori lama yang termuat dalam kitab Arthasastra di India; itulah teori tentang 'mandala' dalam mana diutamakan paham divide et impere. Seorang raja sebaiknya berusaha (dengan empat jenis alat, yang "upaya"namanya) supaya antara tetangganya ada 'keseimbangan dalam kekuatan mereka'. Dalam ilmu politik Barat digunakan istilah balance of power. Maka kekuasaan di Jawa Timur dibagi-bagikan atas sejumlah pembesar yang masing-masing mengurus wilayah yang terbatas besarnya; kepada pemimpin laskar Sriwijaya pada tahun 1017 diserahi suatu wilayah yakni Haji Wurawari. Pada hakekatnya, politik tersebut tidak membawa hasil yang diharapkan, karena kepada Airlangga kemudian memberi kesempatan untuk memukul musuhnya satu demi satu.
Dua tahun setelah Airlangga masuk pertapaan, ia didatangi perutusan yang kepadanya menyampaikan permintaan supaya Airlangga rela mengepalai negara. Dengan menyimpang dari penafsiran biasa, kami berpendapat bahwa itu mungkin sekali merupakan tindakan sesuai dengan politik yang tadi kami sebutkan. Menurut jalan pikiran itu, tidak dianggap bijaksana jikalau anggota-anggota dinasti yang mengalami kekalahan dibiarkan menjadi terus bermusuhan. Sebaiknya kepada mereka pun dikembalikan satu bagian kerajaan asli, supaya merasa puas dan tidak akan menjadi inti pembrontakan di kemudian hari. Pertimbangan itu masuk akal dan mungkin dalam kebanyakan hal akan memberikan hasil yang diharapkan dari itu. Akan tetapi bagi Airlangga gagal karena ia tidak mementingkan kedudukan dirinya saja.
Pada awal tahun 1019 Airlangga meninggalkan asramanya sesuai dengan permintaan yang disampaikan kepadanya dan beberapa bulan kemudian ia diresmikan sebagai raja dalam upacara yang dilakukan oleh para kepala ketigamazhab agama. Pada waktu itu kerajaan yang dikuasainya masih sangat terbatas wilayahnya; kita tahu bahwa kota Pasuruan yang sekarang letaknya di wilayah itu. Pada tahun 1019 juga Airlangga berkunjung ke candi Isanavajra, tempat penyimpanan abu jenazah pu Sindok. Dari keterangan Prapanca dalam Nagarakretagama, ternyata bahwa Isanavajra tersebut letaknya di sebelah selatan kota Pasuruan. Maksud Airlangga dengan perkunjungan itu tidak semata-mata untuk memberikan hormat kepada Sindok selaku pembangun negara Jawa Timur yang pertama; pada hemat kami, maksudnya terutama untuk menunjukkan kepada khalayak ramai bahwa ia keturunan pu Sindok yang sah. Usaha yang sedemikian ternyata pula dari perumusan permulaan prasasti Calcutta.
Dengan jalan demikian Airlangga telah meletakkan dasar untuk kerajaannya di kemudian hari, tetapi pelaksanaan perjanjiannya pada waktu ia singgah di pertapaan masih jauh. Jawa Timur masih berbagai atas sejumlah kerajaan kecil. Bagi Airlangga tidaklah mungkin memerangi tetangganya dalam usaha menuju kepengembalian kerajaan asli. Memang Sriwijaya tidak akan mengijinkan perubahan dalam status quo yang ditimbulkannya, dan akan mengambil tindakan seperlunya. Tetapi Airlangga pada masa pertapaan sudah menginsafi bahwa kesabaran ialah kebajikan utama. Dengan penuh kepercayaan bahwa dharma akan menang pada akhirnya, ia menantikan saat yang baik untuk melaksanakan cita-citanya.
Biarpun sumber-sumber tentang pemerintahan Airlangga pada masa tersebut hampir tidak ada, namunkami yakin bahwa Airlangga terutama menggunakan masa tersebut untuk memperkokoh kedudukannya dalam wilayah yang masih terbatas itu sambil mengatur pemerintahan dan tentaranya dengan sebaik-baiknya. Sudah masa itu, Airlangga memperbaiki hubungan dengan Sriwijaya; hal itu ternyata dari sebuah prasasti dari tahun 1023 tempat disebutkan seorang putri sebagai Rakai Hino, yakni kedudukan yang tertinggi setelah sang prabu. Memang agak mengherankan bahwa jabatan setinggi itu dipegang oleh seorang wanita, karena itu tidak lazim di Jawa. Sudah tentu bahwa keistimewaan itu harus berdasar pada keadaan luar biasa. Kita bertanya, apakah alasan Airlangga untuk mengangkat seorang wanita dalam kedudukan tersebut? Jawaban atau alternatif antara dua jawaban, ternyata dari gelar yang dipegang putri yang bersangkutan, yakni Sri Sanggramawijaya Dharmaprasadottunggadewi. Tidak dapat disangkal bahwa nama tersebut mengingatkan kita kepada nama raja Sriwijaya yang memerintah justru pada waktu itu,yakni Sri Sanggramawijayottunggawarman. Sebenarnya kedua nama itu sama untuk lebih dari separuhnya. Jika kita mengesampingkan kemungkinan bahwa persesuaian itu kebetulan saja --jumlah nama-nama yang mungkin menurut adat raja-raja di Indonesia adalah sangat besar-- maka kita terpaksa berpendapat bahwa ada hubungan erat antara raja Sriwijaya dan pembesar tertinggi di bawah raja Airlangga. Penafsiran yang diusulkan Krom adalah bahwa Sri Sanggramawijaya Dharmaprasadottunggadewi adalah putri Airlangga; kepadanya Airlangga memberi nama tersebut guna memuji raja Sriwijaya dan dengan jalan demikian memperbaiki hubungannya dengan negara tersebut.
Akan tetapi, sudah jelas bahwa penafsiran Krom itu berdasarkan pendapatnya bahwa pernikahan Airlangga, yang masih dirayakan pada waktu ibukota diserang Haji Wurawari, diadakan pada tahun 1016. Jika demikian halnya, maka Airlangga pada tahun 1023, dapat mempunyai seorang putri remaja, yang dapat memegang kedudukan yang tinggi.Akan tetapi, di atas telah kita lihat bahwa angka tahun pralaya itu perlu ditinjau kembali, menjadi bukan 1006, melainkan 1016. Maka dengan itu seorang putri Airlangga tidak mungkin berumur lebih dari enam tahun pada tahun 1023. Kami insaf bahwa ada contoh yang lain, yang menunjukkan bahwa kepada anak kecil pun dapat diberikan jabatan yang tinggi --memang secara formil saja-- akan tetapi pada hal itu ada alasan yang sangat kuat, yang sesungguhnya hanya berlaku padahal seorang putra lelaki. Maka sebab pendirian Krom itu tidak dapat dipertahankan lagi, kita harus menyetujui alternatif yang lain, yakni pendapat bahwa Sri Sanggramawijaya ialah seorang putri raja Sriwijaya yang bernama Sri Sanggramawijayottunggawarman; maklumlah di Indonesia, seperti juga di bagian dunia yang lain, kerapkali kepada anak-anak diberi nama yang menyerupai nama orang tuanya. Jika itu kita setujui, maka kita bertanya lebih lanjut bagaimanakah mungkin seorang putri Sriwijaya memperoleh kedudukan yang setinggi itu di istana Jawa Timur? Pada hemat kami, hanya satu jawaban saja yang dapat diberikan, ialah bahwa putri raja Sriwijaya itu menjadi permaisuri Airlangga. Maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada tahun 1023 atau sedikit sebelumnya Airlangga. Maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada tahun 1023 atau sedikit sebelumnya Airlangga mengawini putri prabu Sriwijaya. Tidak perlu ditegaskan bahwa pernikahan itu tidak semata-mata berdasarkan percintaan; memang itu perkawinan politik yang dilangsungkan demi kepentingan kedua pihak. Tentang Airlangga, tidak perlu penjelasan lebh lanjut, memang Airlangga dalam keadaan yang sempit itu menyadari bahwa penyatuan negara tidak dapat dilaksanakannya, selama Sriwijaya meneruskan politik pecah belah di Jawa Timur.
Tetapi, mengapa Sriwijaya pun ingin memperbaiki hubungan dengan Jawa Timur? Untuk memahami perubahan politik Sriwijaya perlu kita tinjau perkembangan hubungannya dengan negara Cola di India Selatan. Di atas telah kita lihat bahwa hubungan itu baik sekali pada pemerintahan Rajaraja I Cola. Aka tetapi, raja itu mangkat pada tahun 1012 dan digantikan oleh Rajendracola. Mula-mula Ranjendracola meneruskan politik ayahnya; ia berperang dengan raja-raja India dan Sailan tetapi menghargai hubungan yang baik dengan Sriwijaya. Buktinya ialah bahwa Rajendracola memperluas hak-hak istimewa yang oleh ayahnya berikan kepada biara yang didirikan di Nagipattana oleh Sriwijaya. Selama Rajendracola masih sibuk di India, ia mengutamakan persahabatan dengan Sriwijaya. Akan tetapi, pada waktu ia tujuannya di India sudah tercapai, ia memandang lebih jauh. Untuk mengerti aka perubahan itu, perlu kita insafi bahwa negara Cola di pantai timur India Selatan adalah daerah miskin, karena tanahnya pada umumnya tidak subur. Sekarang pun sejumlah besar penduduknya mencari nafkah penghidupan dengan perikanan dan perniagaan, dan banyak di antara mereka meninggalkan daerahnya untuk bekerja di Singapura dan Malaya sebagai kuli (sepintas lalu kata kuli dalam bahasa kita bahasa kita berasal dari bahasa Tamil). Sudah pada zaman lama, perkapalan dan perdagangan sangat dipentingkan di sana. Tetapi Rajendracola bahwa perniagaan itu tidak dapat diperluas sehingga meliputi Asia Tenggara juga, selama Sriwijaya memegang monopoli perniagaan di situ.
Jadi, guna mengejar politik yang sedemikian, Sriwijaya harus diperlemah lebih dahulu. Memang perubahan sifat politik Cola tidak tersembunyi untuk Sriwijaya. Rupanya sudah sebelum 1020 Rajendracola melancarkan serangan terhadap Sriwijaya, tetapi tanpa hasil yang diharapkannya dari itu. Meskipun serangan pertama itu ditangkis Sriwijaya, namun pemimpin negara dapat menduga bahwa Cola itu akan memperkuat alat kekuasaannya bermaksud memperlemah kedudukan Sriwijaya. Pun serangan itu yang kedua dilakukan Rajendracola pada tahun 1023/1024. Akibat serangan tersebut tidak perlu kami bicarakan dengan panjang lebar; serangan berakibat penghancuran pangkalan-pangkalan yang dikuasai Sriwijaya, sedangkan raja Sanggramawijayottunggawarman ditawan dan diangkut ke India. Diketahui juga, bahwa Sriwijaya, biarpun mengalami pukulan hebat, ternyata masih cukup vital untuk bangkit lagi, meskipun tidak seperti sebelumnya. Dipandang dari sudut mata itu, ternyata bahwa bagi Sriwijaya sudah sebelum 1020 ada alasan yang kuat guna mencari persahabatan dengan Jawa Timur. Mungkin sekali inisiatif diambil oleh Sriwijaya dan disambut dengan gembira oleh Airlangga. Tidak lama kemudian persahabatan yang baru diperkuat dengan pernikahan. Dapat dipersoalkan mengapa oleh Sriwijaya dipilih Airlangga dan bukan seorang raja yang lain yang pada waktu itu berkuasa di suatu bagian Jawa Timur. Pada hemat kami, itu disebabkan karena di antara sekalian mereka hanya Airlangga yang memerintah dengan sah dan berkat kedudukannya itu mempunyai persige besar. Sebaliknya bagi Airlangga persahabatan dengan Sriwijaya berarti pengakuan haknya oleh Sriwijaya. Meskipun kedudukannya sangat diperkuat, nama Airlangga belum mengambil tindakan terhadap lawannya. Sebabnya tidak dapat dipastikan, karena prasasti Calcutta mendiamkan kejadian-kejadian antara tahun 1019-1028. Barangkali Airlangga masih membutuhkan waktu, barangkali juga ia lebih dulu menempuh jalan lain untuk memperlemah lawannya.
Bagaimana pun juga, baru pada tahun 1028 dimulai perjuangan Airlangga, yang berlangsung terus sampai tahun 1035. Tidak perlu di sini kami daftarkan segala fase dalam perjuangan itu, cukuplah garis-garis besar saja. Ternyata bahwa keadaan di Jawa Timur berkembang sedemikian rupa sehingga musuhnya yang terpenting menjadi seorang yang bergelar Raja Wengker dan bernama Wijaya. Pusatnya di wilayah Madiun, dekat Ponorogo yang sekarang. Hal yang mengherankan ialah kedudukan Haji Wurawari, penyerbu pada tahun 1017; ia pun diperangi Airlangga, tetapi peperangan terhadapnya hanya dibicarakan secara pintas lalu. Kesan yang kita peroleh ialah bahwa dari raja-raja kecil di Jawa Timur ada yang memihak untuk Airlangga dan ada pula yang memihak untuk Wengker, sehingga pada hakikatnya ada dua pihak saja, Airlangga dan raja Wengker masing-masing dengan sekutunya.
Penafsiran itu dapat menjelaskan mengapa Airlangga menunggu begitu lama sebelum mulai memerangi musuh-musuhnya; lebih dulu ia berunding dengan lawan-lawannya masing-masing. Ternyata bahwa ada yang menggabungkan diri dengan dia, ada pula yang menolak tangan yang diulurkan kepada mereka. Taktik itu berakibat timbulnya dua golongan. Lalu Airlangga memerangi raja Wengker secara tidak bermaksud mengalahkannya pada waktu itu, melainkan menunjukkan kepada sekutunya bahwa ia teguh pada rencananya untuk meruntuhkan Raja Wengker. Dengan jalan demikian ia berharap supaya beberapa sekutu Wengker akan memihak kepadanya atau mengambil sikap netral. Dalam babak kedua, pada waktu musuhnya tidak bersatu padu lagi, ia mendapat kesempatan untuk memukul sekutu-sekutu Wengker satu demi satu. Baru dalam babak ketiga, ketika Wengker sudah disendirikan, ia mengerahkan seluruh bala tentaranya terhadap Raja Wengker, yang terpaksa meninggalkan keratonnya. Ia lalu dikejar dan, pada akhirnya, dikhianati oleh pasukan yang dipimpinnya. Itu terjadi pada tahun 1035 setelah tujuh tahun perjuangan.
Dalam bagian prasasti Calcutta yang mengenai perjuangan Airlangga banyak disebutkan nama tempat-tempat di Jawa. Bagi kita masih sangat sukar untuk menetapkan di mana letaknya. Kesulitan-kesulitan itu terutama disebabkan karena di Jawa ada banyak nama dusun yang terdapat di hampir setiap kabupaten. Dalam pada itu, ada terutama satu soal yang patut kita periksa ialah apa perjuangan Airlangga terbatas kepada Jawa Timur, apa meliputi bagian-bagian Jawa yang lain juga? Dalam hubungan ini, nama-nama yang terutama menarik perhatian ialah Barat dan daerah Galuh, tempat pertempuran terakhir dengan Raja Wengker, sebelum ia dikhianati oleh pasukannya. Maka tidak dapat dibantah bahwa baik Barat maupun daerah Galuh kedua-duanya menunjukkan ke Jawa Barat, biarpun Barat dan Galuh didapati di Jawa Timur juga sebagai nama-nama dusun. Sebaliknya, Galuh sebagai nama daerah rupanya terbatas kepada Jawa Barat. Memang Wijaya, setelah ia meninggalkan keratonnya di Ponorogo dan lari disusul oleh pasukan Airlangga menuju ke arah Barat, karena daerah utara dan timur sudah dikuasai Airlangga; jadi kemungkinan bahwa ia dikejar sampai ke Jawa Barat tentu ada, tetapi segala sesuatu itu belum tentu merupakan buktinya. Akan tetapi, selain itu, pada hemat kami, ada petunjuk yang kurang diperhatikan sampai sekarang ialah isi prasasti-prasasti Raja Jayabhupati di Jawa Barat. Prasasti-prasasti tersebut pada umumnya dianggap sebagai bukti bahwa Jawa Barat tidak termasuk wilayah kerajaan Airlangga. Lalu beberapa tahun yang lampau prasasti-prasasti tersebut diselidiki dengan lebih mendapat dengan hasil yang sangat berlainan. Bahasanya ialah bahasa Jawa Kuno, bukan bahasa Sunda Kuno, sedangkan perumusannya tentu dipengaruhi oleh prasasti-prasasti di Jawa Timur. Itu ternyata terutama dari sumpah, sedangkan raja memakai istilah wisnumurti seperti Airlangga. Selain itu, perlu kita perhatikan bahwa prasasti-prasasti dari Jawa Barat antara waktu Purnawarman (abad V atau VI) dan Pajajaran (abad XIV) sangat jarang sekali, tetapi prasasti yang ada pada kita dipermaklumkan justru dari masa perjuangan Airlangga. Sekalian petunjuk tersebut, pada hemat kami, merupakan argumen bahwa harus ada hubungan antara pemerintahan Jayabhupati dan perjuangan Airlangga. Mungkin sekali Jayabhupati harus kita pandang sebagai seorang vazal Airlangga. Juga tentang Jawa Tengah, pada khususnya pegunungan Dieng, ada petunjuk yang demikian. Pendek gambar yang sekarang kita peroleh dari perjuangan Airlangga agak berbeda dengan bagian kitab Krom tentang perjuangan tersebut. Krom menekankan bahwa sepanjang tahun seluruh perjuangan Airlangga terbatas kepada bagian kecil dari daerah Jawa Timur. Pendapat itu yang dirumuskan hampir tigapuluh tahun yang lalu masih diambil oper dalam semua kitab-kitab sekolah, meskipun tidak lagisesuai dengan taraf pengetahuan kita yang sekarang.
Setelah kemenangan atas Raja Wengker pada tahun 1035, segala akibat dari pralaya sudah dihapuskan dan negara diciptakan kembali. Akan tetapi, negara yang baru tidak sama dengan negara yang dihancurkan itu. Pada tahun 1035 tercapai keadaan stabil di Indonesia yang tidak akan mengalami perubahan essenstiil dalam hampir dua setengah abad yang kemudian. Masa pertentangan antara Jawa Timur dan Sriwijaya telah berakhir dan tercapailah suatu keadaan yang dapat kita namakan ko-eksistensi; seluruh dunia Nusantara, termasuk Semenanjung Malaka, terbagi atas dua suasana besar. Bagian barat (antara lain Sumatera, Semenanjung Malaka, dan Kalimantan Barat) tetap di bawah pengaruh Sriwijaya, sedangkan bagian timur (antara lain Pulau Jawa, Kalimantan Timur dan semua pulau yang di sebelah timur dari itu) termasuk suasana Jawa Timur. Sebenarnya yang sudah dibayangkan Dharmawangsa Teguh pada akhirnya dan setelah perjuangan selama hampir 50 tahun terlaksana berkat keteguhan hati Airlangga, yang tidak menyimpang dari cita-cita yang dirumuskan pada waktu pelaksanaannya rupanya mustahil menurut pertimbangan-pertimbangan rasional. Kami yakin bahwa dengan perjuangan Airlangga tercapai selangkah besar pada jalan menuju ke kesatuan Indonesia.
Sesudah tahun 1035 Airlangga memerintah dengan damai atas negara yang diciptakannya dan berusaha sekuat tenaga guna memberi isi kepada apa yang diperjuangkannya. Prasasti-prasasti dari masa antara 1035-1042 memberi kesan dari usaha-usahanya guna memajukan kemakmuran rakyat. Tindakan-tindakannya antara lain mengenai pengairan, perhubungan melalui darat dan laut, perniagaan, dan kehidupan rohani. Tentang pengairan --atau sebaiknya pengaturan sungai-sungai pada umumnya-- diberikan beberapa keterangan penting dalam sebuah prasasti yang berjangka tahun 1037. Telah kita lihat bahwa Sungai Brantas sudah ada pada zaman sebelum Airlangga banyak menimbulkan kesukaran. Maka pada pemerintahan Airlangga tanggul sungai itu tidak tahan lagi dan sungai membanjiri tanah-tanah di daerah Kelagen yang sekarang. Lebih dulu, rakyat yang ditimpa bencana itu mencoba memperbaiki tanggul sungai, tetapi dengan sia-sia. Ketika sudah jelas bahwa tugas yang sebesar itu tidak dapat dipikul oleh beberapa dusun saja, disampaikan sepucuk surat permintaan kepada sang Prabu. Maka kemudian Airlangga mempertimbangkan apa pusat wajib bertindak dalam kejadian yang sedemikian. Pertimbangan-pertimbangan tersebut berdasarkan filsafat negara pada waktu itu; pendek kata, sungguh pun sang Prabu harus melindungi sekalian penduduknya namun mereka itu harus lebih dulu menolong dirinya; baru pada hal usaha mereka tidak berhasil, maka sang Prabu wajib mengambil segala tindakan yang perlu. Tetapi pada hal itu, tindakan-tindakan negara harus diambil sedemikian rupanya sehingga bencana-bencana tidak akan terjadi lagi. Selain itu, tidak dilupakan pertimbangan-pertimbangan yang sangat praktis sifatnya, karena penderitaan rakyat pajak pun tidak akan masuk dalam kas negara, sehingga negara itu menjadi korban jika tidak diambil tindakan.
Prasasti itu pun juga memberikan keterangan yang penting mengenai perkapalan dan perniagaan. Disebutkan lebih lanjut bahwa pengaturan sungai itu dijalankan juga demi kepentingan kaum pedagang yang sekarang dapat berlayar terus sampai pelabuhan Hujunggaluh, mereka itu membawa benda-benda perniagaan dari pulau-pulau yang lain dan memperdagangkannya di Hujunggaluh tersebut. Sebelum pulang ke pulau-pulaunya masing-masing mereka memuat hasil-hasil bumi dalam kapal mereka guna membawanya kembali. Dengan kata-kata lain, Hujunggaluh itu menjadi suatu pelabuhan pusat untuk perniagaan antar pulau. Tentang letaknya Hujunggaluh tersebut pada umumnya dikatakan bahwa bertempat di Surabaya yang sekarang. Kami berpendapat bahwa itu tidak mungkin. Karena dalam prasasti Kelagen dikatakan bahwa pengaturan sungai itu sangat menngembirakan para pedagang dari pulau-pulau yang lain yang sekarang dapat berlayar terus sampai ke Hujunggaluh, jadi Hujunggaluh tersebut tentu letaknya lebih di sebelah hulu sungai dari Kelagen. Tempatnya mungkin tidak jauh dari Mojokerto yang sekarang.
Sedangkan Hujunggaluh menjadi pelabuhan utama untk perniagaan antar pulau, maka pelabuhan antar negara bertempat di Kambang Putih, yakni di atau dekat Tuban yang sekarang. Oleh Airlangga diambil sejumlah tindakan untuk memajukan perniagaan di sana antara lain pembebasan dari beberapa jenis pajak. Orang-orang asing yang berdagang di sana berasal dari jauh. Menurut daftar yang terdapat beberapa kali dalam prasasti-prasasti Airlangga, termasuk pedagang dari India Utara, India Selatan, Sailan, Burma, Kamboja, dan Campa. Hal yang menarik perhatian kita ialah ketiadaan orang-orang Cina, di mana perniagaan luar negeri menjadi urusan pemerintah, semata-mata berdagang dengan Sriwijaya seperti dulu. Memang penggunaan pelabuhan di Tuban menuntut pengaturan jalan-jalan, yang menghubungkan pelabuhan itu dengan pusat negara yang mungkin sekali letaknya agak di pedalaman, menurut keyakinan kami di daerah Mojokerto. Sejumlah prasasti dari zaman Airlangga yang didapati di daerah Babat, Ngimbang, dan Ploso menunjukkan bahwa justru daerah melalui jalan dari Tuban ke sebelah selatan menuju ke Jombang mendapat perhatian besar dari Airlangga.
Perhatian Airlangga kepada agama sebagai dasar kehidupan sangat besar sekali. Hal itu ternyata dari semua prasastinya, Airlangga setelah mangkat didewakan sebagai dewa Wisnu dan patungnya yang masyhur, yang menggambarkannya sedang duduk di atas burung Garuda, telah menjadi lambang universitas kita. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa Airlangga menjadi penganut mazhab Wisnu; sebenarnya pendewaannya sebagai Wisnu disebabkan karena persamaan antara Dewa Wisnu dan Prabu Airlangga dalam menyelamatkan dunia dari segala penghancur. Perhatian Airlangga diberikan kepada ketiga mazhab besar yaitu agama Siwa, agama Buddha, dan agama Resi, ialah agama kaum pertapa. Ketiganya sama haknya untuk mendapat perlindungan dari pemerintah; pun dari prasasti-prasasti tidak ternyata bahwa Airlangga memihak untuk salah satu dari ketiga mazhab tersebut. Mungkin sekali Airlangga, seperti setiap manusia, mempunyai kepercayaannya tetapi selaku prabu ia menganggap kewajibannya untuk tidak memilih secara resmi.
Untuk memahami cita-cita Airlangga kita harus menginsafi bahwa ia seorang manusia yang hidup pada abad XI, buka abad XX. Cita-cita Airlangga, dalam garis besarnya selaras dengan kewajiban raja menurut kitab-kitab tentang ilmu negara di India Lama dan sepenuhnya dapat dimengerti hanya atas dasar itu. Di India, alam semesta dipandang sebagai suatu kosmos, suatu keseluruhan yang teratur, dalam mana setiap dewa, setiap orang, setiap binatang dan segala sesuatu yang tidak bergerak mempunyai tempatnya. Tempat itu ditetapkan oleh hukum karman sebagai daya yang menggerakkan segala-galanya. Hukum karman itu berarti antara lain bahwa segala sesuatu yang diperbuat membawa akibatnya yang tidak dapat ditiadakan dengan cara bagaimanapun juga. Dewa-dewa pun patuh kepada hukum itu, karena karman itu abadi sifatnya. Kewajiban utama bagi dewa, manusia, dan hewan ialah untuk hidup sesuai dengan svadharma, dharma bagi dirinya; svadharma untuk harimau ialah membunuh binatang dan manusia dan memakan dagingnya, jadi tidak menjadi dosa. Dunia manusia pun terbagi atas sejumlah golongan yang masing-masing mempunyai svadharmanya, yang tidak boleh diabaikan. Seorang Brahmana wajib mempelajari kitab-kitab agama dan ilmu pengetahuan dan mengajarnyadan ia dilarang untuk misalnya mengerjakan tanah atau berdagang. Sebaliknya seorang Sudra harus mengerjakan tanah tetapi dilarang mempelajari kitab-kitab suci. Mereka yang menepati segala kewajiban itu, tentu akan dilahirkan kembali dalam bentuk yang lebih tinggi. Siapa yang mengabaikannya akan direndahkannya. Kewajiban-kewajiban yang sedemikian berbeda-beda untuk setiap kasta, dalam kasta berbeda untuk lelaki dan perempuan, lalu berbeda-beda menurut umur tersebut. Seorang prabu wajib untuk berturut-turut hidupnya dalam tiga asrama atau tiga masa kehidpan. Dalam asrama yang pertama ia mempelajari kitab-kitab agama, hukum dan sebagainya, dalam asrama yang kedua ia memerintah dan dalam masa yang ketiga, yang dimulai pada waktu tanggung jawab atas pemerintahan dapat diserahkan kepada putra yang sudah dewasa, ia mengundurkan diri dari dunia untuk hanya mengutamakan selamat dunia dengan jalan pikiran. Dalam masa kedua itu, ia seakan-akan menjadi personifikasi dari Dharma; ia mengatur negara sedemikian rupa sehingga setiap orang dapat hidup sesuai dengan dharmanya; supaya Brahmana sempat mempelajari kitab-kitab, supaya petani selalu dapat mengerjakan tanah dan sebagainya. Ia senantiasa harus waspada, agar kewajiban tersebut ditepati dan harus menghukum mereka yang melanggarnya. Jika pelanggaran itu banyak dan tidak dihukum seperlunya, baik raja maupun negara akan menjadi korban.
Maka isi prasasti-prasasti Airlangga membuktikan bahwa ia senantiasa berusaha memerintah dan hidup sesuai dengan kewajiban tersebut. Haji Wurawari telah bertindak dengan engan jalan yang tidak sesuai dengan tata tertib itu, sehingga dharma itu terganggu, maka kemudian Airlangga terus mengejar tujuan untuk menyelamatkan dharma, yakni menciptakan kembali negara yang dimusnahkan Wurawari itu. Dalam prasasti tentang kejadian-kejadian di Kelagen, diuraikan bahwa dalam keadaan darurat itu sang prabu wajib bertindak dengan memperkuat tanggul tersebut. Hanya dengan jalan demikian petani terus dapat melakukan kewajibannya, ialah menanam padi dan pedagang terus dapat membawa benda-benda perniagaan ke Hujunggaluh. Pun telah kita lihat bahwa Airlangga menepati kewajiban untuk hidup berturut-turut dalam tiga asrama. Masa yang pertama ialah masa pelajaran, selama Airlangga hidup di kalangan kaum pertapa; yang kedua masa pemerintahan sebagai prabu. Bagaimana tentang masa ketiga? Jika kita berpegang teguh kepada sumber sejarah dalam arti sempit, maka sebenarnya tidak dapat dibuktikan bahwa Airlangga jadi meninggalkan keratonnya untuk mengakhiri kehidupannya sebagai seorang pertapa. Menurut perjanjian pada masa ia bertapa, ia wajib membangun asrama yang indah apabila ia berhasil meruntuhkan musuhnya dan menciptakan kembali negaranya. Tetapi dalam perjanjian tersebut tidak dirumuskan bahwa Airlangga sendiri berniat menempatinya. Tetapi, petunjuk bahwa demikian halnya ada banyak. Yang paling terkenal ialah tradisi yang terkandung dalam kitab Calon Arang, yang disungguhkan oleh beberapa petunjuk lainnya. Maka sesungguhnyapun bukti yang exact tidak dapat diberikan namun bagi kita tidak ada alasan untuk meragu-ragukan kebenaran tradisi.
Yang paling menarik perhatian dalam kehidupan Airlangga ialah kepercayaan mistis bahwa ia dipilih dewa-dewa untuk meniadakan pralaya dan membangun negara yang baru yang berasaskan perikeadilan. Kepercayaan yang teguh itu nampak dalam prasastinya. Ia senantiasa merasa dipimpin oleh dewa-dewa, yang mencintainya dan menugaskannya untuk menghilngkan penjahat dari bumi, memulihkan kemakmuran dan kegembiraan rakyat dan menghidupkan kembali Hukum Suci sebagai sendi masyarakat. Kepercayaan itu tidak pernah meninggalkannya, bahkan dalam keadaan yang paling genting ia terus percaya bahwa kebenaran akan menang pada akhirnya. Kepercayaan itulah yang senantiasa membangkitkan semangatnya dan menjadi kekuatannya guna terus teguh pada cita-citanya.
Itulah sebabnya utama maka kita yang sekarang, 900 tahun kemudian terus menghormati Airlangga. Maka kami mengakhiri pidato ini sambil mengucapkan harapan agar kita sekalian, apabila anggota keluarga Universitas Airlangga ternyata patut memegang nama Airlangga dan senantiasa menjunjung tinggi cita-citanya. Baca Selanjutnya ..
Label: Zaman Kuno
BHATTARA NARAPATI
Pendahuluan
Sejarah Majapahit setelah meninggalnya raja Hayam Wuruk sekitar tahun 1389, diwarnai dengan bermacam-macam peristiwa pertikaian di kalangan keluarga kerajaan. Pertikaian itu bersumber pada masalah perebutan tahta pemerintahan di antara para penguasa daerah (raja vassal) yang sebagian besar merupakan kerabat raja. Pertikaian ini mencapai puncaknya pada masa pemerintahan raja Wikramawardhana alias Bhre Hyang Wisesa melawan Bhre Wirabhumi. Peperangan yang lazim disebut dengan nama Paregreg berakhir dengan hancurnya keraton timur serta terbunuhnya Bhre Wirabhumi pada tahun 1406 (Pararaton: 31, 5-15; Groeneveldt: 37). Kejadian ini ternyata belum mengakhiri pertikaian yang telah berlangsung lama tersebut karena pada tahun 1433 Bhre Narapati juga dibunuh atas tuduhan telah menghilangkan nyawa Bhre Wirabhumi. Banyaknya pertentangan dan peperangan ternyata makin memperlemah kewibawaan Kerajaan Majapahit. Akhirnya pada sekitar tahun 1486-1513 kerajaan ini mendapat serangan dari kerajaan Daha yang ternyata juga merupakan keluarga Majapahit. Serangan ini berakibat pindahnya pusat pemerintahan Majapahit ke Daha, meskipun tidak secara keseluruhan (Noorduyn 1978: 271).
Di antara sekian banyak tokoh yang terlibat di dalam persengketaan tersebut di muka maka yang menarik perhatian adalah tampilnya tokoh Bhra Narapati. Baik di dalam prasasti masa itu maupun di dalam kitab Pararaton dan Nagarakrtagama sangat sedikit menyebut mengenai tokoh ini. Akan tetapi ternyata Bhra Narapati merupakan tokoh yang penting dalam perang Paregreg karena dialah yang berhasil membunuh Bhre Wirabhumi. Demikian juga melihat jabatan yang dipegangnya yaitu sebagai patih Daha sekaligus sebagai Angabhaya serta gelar yang disandangnya yaitu Bhra, memberikan kesan bahwa dia adalah keluarga raja. Oleh karenanya tidak aneh bila ia sangat berperan dalam peperangan antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawarddhana. Usaha yang dilakukan dengan membunuh Bhre Wirabhumi mungkin berambisi untuk menggantikan kedudukan Bhre Wirabhumi. Akan tetapi usaha-usahanya itu ternyata gagal karena akhirnya ia sendiri juga dibunuh.
Sumber Tentang Bhra Narapati
Di dalam Pararaton disebutkan bahwa akibat perang Paregreg pada tahun 1406 adalah hancurnya kerajaan timur serta tewasnya Bhre Wirabhumi. Disebutkan di sini bahwa:
"Kalah kedaton wetan. Bhre Daha ingemban denira bhra Hyang Wisesa bhinakta mangilen. Bhra Wirabhumi lungha ring wengi, tumulumpak ing parahu, tinut denira raden Gajah bhiseka ratu angabhaya, bhra Narapati. Katututan ing parahu, minoktan tur pinok bhinakta dateng ing Majapahit, dhinarma ta sira ring Lung, dharmmabhiseka ring Gorisapura i saka duk paregreg agung naga-laranahut-wulan 1328. (Pararaton: 31, 10-15).
Yang artinya kurang lebih demikian:
Kerajaan timur dikalahkan. Bhre Daha diboyong oleh bhra Hyang Wisesa dibawa ke kedaton barat. Bhra Wirabhumi pada malam hari pergi dengan naik perahu,dikejar oleh Raden Gajah atau ratu angabhaya yang bergelar bhra Narapati. Ia tertangkap selanjutnya dibunuh dan kepalanya dipenggal dibawa ke Majapahit, didharmakan di Lung di Gorisapura nama candi pendarmaannya, perang besar paregreg itu berlangsung pada tahun saka naga-laranahut-wulan 1328.
Akan tetapi rupa-rupanya perbuatan Bhra Narapati ini beraibat pula bagi dirinya. Pada tahun 1433 ia sendiri juga dibunuh atas tuduhan telah menghilangkan nyawa Bhre Wirabhumi. Peristiwa peperangan ini tampaknya sangat terkenal di dalam roman Jawa sehingga terdapat cerita roman tentang Menak Jingga-Damarwulan. Isi pokoknya ialah peperangan antara Damarwulan (Bhra Narapati) melawan Menak Jingga alias Urubhisma (Wirabhumi) penguasa kerajaan Blambangan. Akhir cerita Minak Jingga dapat dibunuh oleh Damarwulan dan kepalanya dibawa ke Majapahit. Sumber lain yang menyebut tentang peperangan itu dapat ditemukan di dalam berita Cina yang menyebutkan tentang peperangan antara keraton barat dan keraton timur. Peperangan ini berakhir dengan kekalahan dipihak keraton timur serta rajanya ikut terbunuh. Bahkan dapat diketahui pada saat terjadi perang itu, sekitar 170 orang Cina tewas (Groeneveld: ibid). Akan tetapi sayang di dalam keterangan ini tidak disinggung sedikit pun mengenai tokoh bhra Narapati. Sumber lainnya tentang bhra Narapati ditemukan di dalam kitab Nagarakrtagama pupuh 12. Di sini disebutkan sebagai berikut:
"nkakeng uttara lor sakeng pken ageng kuwwu ahalp/sobhita, sang saksat ari de nareswara ri wengker sang makuww apagoh, satyasih ri narendradira nipuneng nityapatih ring daha, kyating rat/mangaranbhattara narapaty ande halp ning praja" (Nagarakrtagama 12, 3a-d).
Yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
Di sebelah utara, utara pasar, terletak rumah bagus dan anggun, di situlah menetap patih Daha, yang bagaikan adik baginda Wengker. Sangat setia, taat kepada raja, ulet dan ahli dalam tata pemerintahan, yang termasyhur dengan gelar bhattara Narapati, sangat tangkas dan bijaksana.
Dari keterangaan tersebut di atas jelas bila Bhra Narapati ialah patih kerajaan (otonom) Daha, yang dianggap sebagai/ bagaikan adik bhre Wengker dan juga yang menjabat sebagai ratu angabhaya. Oleh karenanya tidak aneh bila kedudukannya sebagai patih di Daha, sebagai ratu angabhaya di Majapahit dan yang bergelar bhra itu mempunyai peranan yang sangat penting pada masa itu. Demikian juga mengenai kedudukannya sebagai patih di Daha rupa-rupanya juga merupakan kedudukan yang tinggi karena apabila dilihat dalam sistem pemerintahan saat itu ternyata banyak raja atau patih yang sebelum menduduki jabatan di Majapahit terlebih dahulu harus menjadi patih atau raja muda di Daha. Demikan pula halnya dengan kedudukannya sebagai ratu angabhaya, ternyata gelar/kedudukan semacam itu dipegang oleh orang yang mempunyai hubungan dekat dengan raja. Sebagai contoh misalnya "Tumuli sira Rangga Wuni angadeg ratu, Kadi naga roro saleng lawan sira Mahisa Campaka dadi ratu angabhaya abhiseka bhattara Narasinga" (Pararaton: 18, 5-10). Di sini nampak bahwa hubungan antara Ranggawuni dengan Mahisa Campaka ternyata dekat sekali yaitu saudara satu nenek (Ken Dedes) tetapi lain kakek. Ranggawuni cucu Tunggul Ametung sedangkan Mahisa Campaka cucu Ken Arok. Apabila hubungan ini juga berlaku bagi Bhra Narapati dengan Bhre Wengker, maka mungkinkah Bhra Narapati itu juga saudara dengan Bhre Wengker. Lalu apakah motivasi pembunuhan atas Bhre Wirabhumi itu?
Penafsiran Tentang Bhra Narapati
Bersumber dari dua buah kitab yaitu Pararaton dan Nagarakrtagama untuk memecahkan masalah identifikasi seorang tokoh seperti Bhra Narapati memang sangat sulit. Lebih-lebih lagi tokoh tersebut sangat sedikit disebut dalam sejarah pada masa itu. Akan tetapi mengingat peranannya pada masa Majapahit terutama saat timbulnya perang Paregreg maka dapat diduga bahwa kedudukannya dalam pemerintahan dan keluarga Majapahit sangat penting.
Seperti disebut di dalam Nagarakrtagama bahwa hubungan antara Bhra Narapati dengan Bhre Wengker alias Wijayarajasa yaitu pamanda Hayam Wuruk dinyatakan dengan istilah sang saksat ari. Pigeaud menerjemahkan kalimat tersebut "the honoured one who manifestly is younger brother to the Prince in Wengker", sedangkan Slametmuljana menerjemahkan dengan "adinda bagnda di Wengker" (Pigeaud:III,12, 3b; Slametmuljana 1979: 279 pupuh 12, 3b). Penggunaan istilah sang saksat di sini lebih mendekatkan pikiran kita pada pengertian bagaikan atau ibarat. Dengan demikian Bhre Narapati itu rupa-rupanya bukanlah adik kandung melainkan adik dalam pengertian adik sepupu atau adik misan atau adik tiri dan lain sebagainya. Mengingat bahwa gelar Bhra atau Bhre atau Bhattara itu adalah gelar kehormatan sekaligus gelar jabatan para keluarga raja Majapahit, maka dapat dikatakan bila Bhra Narapati adalah keluarga raja. Lebih lanjut Pigeaud juga telah menunjukkan tentang kedudukan yang tinggi dari Bhra Narapati dibandingkan dengan kedudukan Gajah Mada sendiri (Pigeaud: Vol.IV, 12, 3-4).
Jabatan mantri adalah gelar yang lebih rendah dan tidak untuk seseorang pangeran seperti bhattara Narapati atau ratu angabhaya Narapati menurut Nagarakrtagama ialah di sebelah utara peken ageng atau pasar besar. Kedudukan semacam ini mengingatkan kita pada gelar yang disandang oleh putra Kyai Ageng Pamanahan yang bernama Raden Bagus alias Sutawijaya. Ia diambil sebagai anak angkat oleh Prabu Hadiwijaya di Pajang yang akhirnya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar (Babad Tanah Djawi: 49). Lebih lanjut Maclaine Pont pernah menunjukkan bahwa apabila denah kraton Majapahit itu mirip dengan keraton Jogja atau Solo maka lokasi tempat tinggal Ngabehi Loring Pasar itu letaknya di sebelah utara pasar (Maclaine Pont 1924: 15). Dengan demikian terdapat kesan bahwa bhra Narapati yang kedudukannya di sebelah utara peken ageng itu sama juga dengan Ngabehi Loring Pasar pada masa Mataram Islam. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapatlah sekarang dirumuskan sebagai berikut:
- Bhra Narapati adalah tokoh yang bagaikan adik Bhre Wengker. Ia bukan adik kandung tetapi dari garis lain misal adik sepupu dan lain-lainnya.
- Ia adalah pati Daha sekaligus sebagai ratu angabhaya. Dengan demikian ia menduduki jabatan yang penting dan lebih terhormat dibanding Gajah Mada.
- Sebagai Ngabehi Loring Pasar, ia sangat tahu tentang seluk beluk dan peristiwa yang terjadi di lingkungan keraton pada masa itu. Oleh karenanya tidak mengherankan seandainya ia juga berambisi untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi.
Rupa-rupanya peristiwa kemelut yang terjadi sejak meninggalnya Hayam Wuruk hingga pecahnya perang Paregreg itu tidak hanya melibatkan Wikramawarddhana dan Bhre Wengker saja, tetapi juga dimanfaatkan oleh pihak ketiga. Kedudukan Bhra Narapati sebagai yang sudah disebutkan di muka ternyata mempunyai peluang untuk memenuhi tuntutannya. Sebagai orang yang tahu betul suasana di dalam lingkungan istana, terlebih tentang hubungan antara Bhre Wirabhumi dengan Bhre Daha, maka kesempatan iti dmanfaatkan. Bhre Wirabhumi disingkirkan sehingga ia dapat menggatikan kedudukannya. Akan tetapi rupa-rupanya ia salah perhitungan karena yang menggantikan menjadi raja setelah Wikramawarddhana meninggal adalah Suhita (1429-1447). Dapat diketahui pula bahwa Suhita ialah putri Wikramawarddhana dari perkawinannya dengan seseorang yang belum diketahui. Rupa-rupanya peristiwa pembunuhan atas diri Bhre Narapati yang dicatat di dalam Pararaton "Raden Gajah ingilangaken pinidosa ameki bhre Wirabhumi" pada tahun Saka 1355, ada kaitannya dengan identitas ibu Suhita. Ia adalah mungkin putri atau salah satu putri Wirabhumi (Krom 1931: 446; Soekmono 1961: 71).
Dengan demikian kemungkinan besar bahwa kemelut yang terjadi antara Bhre Wirabhumi dengan Wikramawarddhana itu tidak hanya karena benih yang telah lama ada tetapi juga karena hasutan pihak ketiga yang sedikit banyak ingin menggunakan kesempatan itu untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi. Akan tetapi sebelum usaha yang dirintis tersebut memperoleh hasil, ia sendiri diganyang hingga akar-akarnya.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di muka jelaslah bahwa Bhra Narapati yang menjabat sebagai patih di Daha yang bergelar pula sebagai ratu angabhaya ternyata adalah juga masih keluarga raja. Kedudukannya yang tinggi serta status sosialnya yang tinggi pula memungkinkan ia untuk menuntut kedudukan yang lebih tinggi kendati pun hal itu adalah bukan haknya. Usaha untuk memperoleh kedudukan tersebut dilaksanakan dengan cara mengobarkan benih pertentangan antara Wikramawarddhana dengan Bhre Wirabhumi lawan utamanya dengan tujuan untuk dapat menguasai Bhre Daha. Akan tetapi belum lagi dapat mengenyam hasil jerih payahnya itu rupa-rupanya niat jahatnya diketahui sehingga ia sendiri juga mengalami nasib yang sama.
Oleh Soeroso Mp, Berkala Arkeologi September 1985 Baca Selanjutnya ..
Label: Zaman Kuno
DYAH MUNGPANG PENGUASA MALANG KUNO 915-935 MASEHI
Bisakah peristiwa yang telah terjadi sepuluh abad silam diungkapkan kembali? Bagi orang awam, tampaknya mustahil untuk mengetahui sejarah Malang yang telah melalui kurun waktu lebih dari seribu tahun silam. Pertanyaan yang mungkin muncul berikutnya adalah bagaimana kita dapat mengetahui keadaan di abad itu, sementara kita sekarang sudah berada lebih dari sepuluh abad meninggalkan peristiwa-peristiwa itu. Pertanyaan-pertanyaan itu dapat diupayakan jawabannya dengan bantuan arkeolog atau sejarawan berspesalisasi studi masa silam. Seorang arkeolog atau sejarawan, khususnya yang menggeluti bidang sejarah kuno dapat memberikan jawaban atas pertanyaan itu melalui kemampuannya mendayagunakan sumber-sumber sejarah khususnya sumber tertulis. Sekalipun bila ada sumber tidak tertulis seperti benda-benda peninggalan masa kuno (artefak), antara lain candi dengan segala atributnya, arca-arca, bekas pemukiman kuno, dapat juga memberikan informasi tambahan yang kadang tidak kalah penting artinya di samping sumber tertulis.
Dalam tulisan pendek ini hendak disajikan contoh pendayagunaan salah satu sumber tertulis yang berupa prasasti. Adapun pemilihan prasasti sebagai satu-satunya sumber tulisan ini disebabkan unutk membedah tabir sejarah kota Malang Kuno sesuai dengan judul di atas, hnya prasastilah yang dapat diandalkan. Adapun dalam proses mendapatkan informasi atau data yang dibutuhkan, seorang sejarawan tidak dapat secara gegabah mencomot teks prasasti kemudian diterjemahkan. Sebabnya, prasasti bukan sekedar catatan atau dokumen peristiwa dari masa silam melainkan di dalamnya terdapat simbol-simbol yang mutlak dipahami terlebih dahulu sebelum menanggapnya sebagai data. Hal seperti ini yang orang awam tidak mampu melakukannya.
Kiranya sangat menarik membicarakan kehidupan Malang di waktu yang (sangat) silam. Berbagai pertanyaan dapat muncul da memenuhi benak kita karena ingin mengetahui apa yang terjadi pada masa-masa itu. Pikiran semacam ini menggelitik penulis untuk menyajikan sekelumit kisah yang menarik tentang seorang tokoh penting yang hidup pada awal abad X di Malang. Tokoh itu bernama Dyah Mungpang, lengkapnya Rakryan Kanuruhan Dyah Mungpang. Ia adalah seorang rake atau rakryan, penguasa tunggal suatu ke-rake-an (watek).
Nama Dyah Mungpang setidaknya disebut di dalam empat buah prasasti, yaitu Prasasti Limus 915, Prasasti Gulung-gulung 929, Prasasti Linggasuntan 930, dan Prasasti Kanuruhan 934. Penggunaan nama dyah di muka nama tokoh ini dari sudut pandang sosiologi Jawa Kuno menunjukkan bahwa ia adalah seorang bangsawan. Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa pemilik nama ini adalah seorang pejabat lokal yang menjadi penguasa tunggal di wilayah Malang Kuno yang pada waktu itu masih bernama watek Kanuruhan. Adapun pengertian watek adalah sepadan dengan propinsi dalam pengertian sekarang. Seorang penguasa watek tidak ubahnya seorang raja dari suatu kerajaan yang menjadi bagian dari kerajaan lain yang jauh lebih besar. Dengan lain perkataan, suatu watek dapat dianggap sebagai atau dapat berasal dari kerajaan bawahan.
Menurut J.G. de Casparis, seorang ahli epigrafi, munculnya nama Kanuruhan adalah akibat proses perubahan bunyi dari Kanjuruhan. Nama yang terakhir ini adalah nama kerajaan kuno yang pernah hidup di Malang sekitar abad VIII Masehi. Keberadaan kerajaan kuno ini diketahui dari satu-satunya prasasti yang ditinggalkan oleh salah seorang rajanya bernama Gajayana, yaitu Prasasti Dinoyo 760 Masehi. Bila pernyataan atau dugaan Casparis ini benar, dapat dikatakan bahwa pada saat Dyah Mungpang berkuasa di Kanuruhan, wilayahnya telah menjadi daerah bawahan dari kerajaan lain. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Ketika masih bernama Kanjuruhan, kerajaan ini berdiri sendiri tanpa ikatan apalagi sebagai negara bawahan dari kerajaan lain. Sementara itu setelah menyandang nama Kanuruhan, wilayah ini tidak lagi menjadi kerajaan yang merdeka ditandai dengan perubahan status menjadi watek. Artinya, menjadi bagian dari suatu kerajaan lain yang tentunya lebih besar. Sebaliknya bila dugaan itu salah dapat muncul kemungkinan lain, yaitu tidak ada hubungan antara nama Kanuruhan dengan Kanjuruhan. Artinya sejak semula telah ada suatu wilayah yang bernama Kanuruhan.
Dari sejumlah prasasti yang dikeluarkan pada awal abad X, diketahui bahwa wilayah Kanuruhan pada waktu itu telah menjadi bagian dari kerajaan Mataram yang berpusat di Jawa Tengah. Sejak tahun 929, Kerajaan Mataram telah memindahkan pusat pemerintahannya ke Jawa Timur dengan mendirikan kraton di tepian Sunagi Brantas di sekitar Jombang, yaitu Watu Galuh dan Tamwlang. Raja yang memindahkan pusat pemerintahan itu adalah Pu Sindok. Dyah Mungpang setidaknya berkuasa di Kanuruhan selama 20 tahun (915-935). Selama berkuasa, ia menjadi salah satu tangan kanan Raja Sindok dan mendapatkan kedudukan politis yang strategis di dalam sistem pemerintahan Karajaan Mataram. Hal ini terlihat dari keterangan sejumlah prasasti dari Pu Sindok yang menyebut rakryan kanuruhan sebagai pejabat utama dalam Dewan Penasihat Raja (tanda rakryan ri pakirankiran). Kedudukannya itu kiranya sesuai dengan status asalnya sebagai seorang penguasa lokal di Kanuruhan yang merdeka.
Wilayah kekuasaan Dyah Mungpang dengan kedudukan penguasa watek kurang lebih sama dengan wilayah Kabupaten Malang dewasa ini. Adapun sentra pemerintahan ditempatkan di sekitar Singosari sekarang. Dasar asumsi ini adalah ditemukannya sejumlah prasasti di wilayah Singosari yang berhubungan dengan Rakryan Kanuruhan Dyah Mungpang. Dari Prasasti Balingawan 891 diketahui bahwa pendahulu Dyah Mungpang yang bernama Pu Huntu selaku penguasa watek Kauruhan, telah membawahi wilayah Kecamatan Pakis sekarang. Informasi ini diperoleh melali pemahaman adanya perubahan bunyi toponim Balingawan menjadi Mangliawan, salah satu desa di Kecamatan Pakis. Di desa ini terdapat sejumlah situs arkeologis yang berasal dari abad X, antara lain situs Wendit Lanang (sekarang makam Islam Mangliawan) dan Wendit Wadon (pemandian Wendit).
Pada masa pemerintahan Dyah Mungpang di Kanuruhan pernah dibangun sebuah taman atau kebun bunga yang istimewa berlokasi di sekitar Desa Bunulrejo sekarang. Keistimewaan taman bunga itu terdapat pada fungsinya sebagai pemasok bunga untuk penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan di wilayah Kanuruhan. Di mana lokasi tepatnya taman bunga itu sekarang, kiranya tidak mudah untuk diketahui. Sitidaknya masih terekam dalam benak masyarakat Desa Bunul akan mitos Mbah Beji Sari. Dari nama ini masih dapat diwarisi kata sari yang berarti bunga. Hal ini memberikan petunjuk ke arah identifikasi lokasi taman bunga itu, mengingat mitos Mbah Beji Sari ini kiranya memiliki hubungan erat dengan isi Prasasti Kanuruhan. Dengan alasan itu dapat diajukan dugaan bahwa lokasi taman bunga itu adalah sekitar bekas kekeramatan Mbah Beji Sari di Bunul. Keterangan yang menarik ini tersimpan dalam teks Prasasti Kanuruhan 934 yang sekarang berada di Taman Senaputra Malang.
Hal-hal positif yang dapat diteladani dari tokoh Dyah Mungpang ini antara lain komitmennya yang kuat akan terhadap profesi dan ketaatannyayang tinggi dalam beragama. Hal ini terbukti dengan diserahkannya jabatan strategis kepadanya untuk waktu yang lama, dan besarnya perhatian yang diberikan untuk masalah-masalah keagamaan sebagaimana disinggung terdahulu.
Oleh Ismail Lutfi, Mimbar Malangkuseswara Februari 1997
Baca Selanjutnya ..
Label: Malang Raya