Bajralepa Ramuan Misterius Pelapis Candi

Dengan keterbatasan ilmu dan teknologi, nenek moyang kita di sekitar abad XII mampu melahirkan sejumlah adikarya di bidang arsitektur sekaligus seni dan budaya. Candi Borobudur contohnya, bangunan candi tidak didirikan di atas sembarang lahan.

       Kalau suatu saat berkesempatan mengunjungi Candi Borobudur, misalnya, apa yang pertama kali Anda rasakan? Kebanggaan, kekaguman, atau justru kebingungan? Kalau belum menemukan jawaban, cobalah amati susunan batu demi batu dari bawah sampai ke puncak candi, lalu tarik angan-angan Anda ke suatu masa ratusan tahun silam saat monumen sakral itu dibangun. Sosok candi berupa tumpukan batu tanpa perekat, tetapi mampu tegak menengadah ke langit hingga kini, tak pelak mengundang decak kekaguman berikut sejuta tanda tanya. Salah satu dari sekian banyak pertanyaan itu, "Bagaimana dulu nenek moyang kita membangunnya?" Lalu Anda membanding-bandingkan pembangunannya dulu dengan proyek renovasinya sekitar 27 tahun lalu. Pelaksanaan renovasi itu saja membutuhkan waktu yang tidak singkat dan dana yang tidak sedikit, itu pun masih ditopang bantuan dana dan tenaga dari UNESCO. Di dalamnya pun berbagai disiplin ilmu terlibat saling mendukung, belum lagi pemakaian berbagai peralatan berteknologi mutakhir. Meski segala daya dan upaya telah dikerahkan, proyek renovasi masih menyisakan berbagai permasalahan rumit yang tak gampang dipecahkan begitu saja. Padahal itu hanya pekerjaan memperbaiki. Maka bisa dibayangkan bagaimana dulu nenek moyang kita membuatnya. Pertanyaannya kemudian, apakah pada masa 12 abad silam sudah dikenal ilmu tanah, geologi, matematika, mekanika teknik, ataupun perangkat bantu macam kompas, komputer, buldoser, crane, serta perkakas canggih lainnya yang biasa dipakai untuk mendirikan bangunan raksasa? Jawabannya tentu belum ada.
       Sebagian dari kita, karena keterbatasan pengetahuan, lalu mengira bangunan-bangunan candi tidak dibuat oleh manusia melainkan oleh makhluk halus. Karena itu lahirlah mitos Loro Jonggrang dan Bandung Bondowoso di sekitar berdirinya kompleks Candi Prambanan atau Candi Loro Jonggrang di Yogyakarta. Konon, menurut mitos tersebut, candi itu dibuat hanya dalam semalam oleh Bandung Bondowoso dibantu oleh sejumlah makhluk halus, sebagai syarat agar cintanya diterima oleh Loro Jonggrang, putri yang cantik jelita. Dikenal juga tokoh sakti Gunadharma dalam mitos di sekitar Candi Borobudur, atau mitos Kyai Poleng di lereng Gunung Kawi. Mitos memang jawaban prahistoris yang penuh makna simbolis. Candi Borobudur yang gagah, Candi Prambanan yang indah, maupun candi-candi lainnya, sebenarnya dibuat oleh nenek moyang kita dengan ilmu dan teknologi yang sederhana.

                                                      Penampang Candi Borobudur

Harus Dekat Sungai
       Pembangunan sebuah candi sudah pasti diprakarsai oleh raja atau seorang penguasa yang disebut yajamana. Sebagai langkah pertama sebelum candi dibangun, raja menggelar sidang pleno. Selain para pejabat kerajaan, sidang dihadiri para pejabat daerah yang juga membawa serta para seniman pahat, ahli sastra, ahli bangunan dan lain-lain. Setelah mengutarakan maksud dan tujuan membangun candi, raja menunjuk seorang brahmana kepercayaannya, yang nanti bertindak sebagai stapaka, kira-kira sama artinya dengan arsitek perencana. Di pundak arsitek pendeta yang memang mahir dalam kitab-kitab serta seni bangunan suci inilah seluruh proses pembangunan candi dibebankan.
      Membangun candi tentu bukan tugas ringan. Karena itu dalam operasionalnya stapaka selaku otak perencana utama dibantu oleh 4 orang dengan keahlian yang berbeda. Sthapati berfungsi sebagai arsitek pelaksana pembanguan candi, sutragrahin adalah pemimpin umum teknis di lapangan, taksakha merupakan ahli pahat-memahat arca, dan vardhakin ialah seniman ukir yang bertugas membuat ukiran ornamen dan relief cerita pada dinding-dinding candi. Para arsitek dan seniman itu bekerja dengan berpegang pada pedoman seperti yang tertuang dalam kitab Vastusastra, Silpasastra, dan Silpaprakasa. Setelah seksi-seksi terbentuk dan para hadirin paham akan maksud raja membangun candi, pimpinan sidang diambil alih oleh stapaka. Yang pertama kali dibahas dalam sidang ini adalah soal bhumisamgraha, yaitu pemilihan lokasi tempat candi akan didirikan. Lokasi ini dianggap sangat vital karena harus memenuhi persyaratan tertentu, misalnya harus dekat dengan sungai. Pujangga menulis kitab Silpaprakasa memperingatkan, "Jangan mendirikan candi di lahan tanpa sungai karena air memiliki sifat mensucikan sekaligus menyuburkan." Sejauh mana fatwa pujangga itu dipraktekkan oleh para pelaku pembangunan candi di masa lalu, Mundardjito dalam disertasinya (1993) antara lain menyatakan, keterkaitan lokasi candi dengan keberadaan sungai sangatlah erat. Dari 218 situs candi yang dia teliti di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta, 179 buah candi berada tak jauh dari aliran sungai. "Sungai pada masa lalu memang merupakan kebutuhan dasar manusia. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, juga penyedia bahan batuan untuk bangunan candi," ujar Mundardjito.
       Dalam memilih lokasi pendirian candi, sang pendeta juga mempertimbangkan segi ekologi maupun potensi sumber daya alamnya. Tidak seperti yang diduga orang kebanyakan, nenek moyang kita zaman dulu sudah paham tentang potensi maupun kemampuan lahan untuk mendukung suatu bangunan. Tidak sembarang lahan bisa dipilih untuk menegakkan bangunan candi. Jenis tanah waisya, yakni lahan dengan ciri kandungan pasirnya tinggi, berwarna kuning dan berlumpur, serta berbau garam, tidak akan dipilih. Begitu pun tanah sudra yang mengandung lumpur, berwarna gelap, dan berbau tidak enak. "Hendaknya jangan sekali-kali mendirikan bangunan suci di tempat seperti itu," demikian fatwa pujangga penulis kitab Silpaprakasa, sebuah kitab kekancingan cara membuat bangunan candi. Seperti dijelaskan dalam Silpaprakasa, ada dua macam jenis tanah yang baik untuk mendirikan candi, tanah brahmana dan tanah ksatrya. Sifat tanah brahmana konon antara lain mengandung lempung, nampak bercahaya bak debu mutiara, dan harum baunya. Sedangkan tanah ksatrya memiliki ciri warna kemerahan, nampak bercahaya mirip darah segar dan asam baunya.


                                                                Candi Prambanan


Ditentukan Lampu Minyak
       Setelah berhasil menemukan lahan yang tepat untuk mendirikan candi, tahap berikutnya adalah pengamatan di lapangan terhadap 9 unsur fisik tanah; kontur, warna, bau, rupa, rasa, sentuhan, kerataan, permukaan, dan sifat tetumbuhan. Jika kesembilan unsur fisik ini memenuhi syarat, barulah sang stapaka pendeta yang arsitek perencana melakukan bhupariksha, yaitu menguji kemampuan tanahnya. Nenek moyang kita diam-diam sudah memiliki beberapa teknik pengujian kemampuan tanah. Salah satunya dengan membuat lubang uji berbentuk persegi empat pada lahan tempat akan didirikan candi. Lubang galian yang dalamnya kira-kira sedengkul itu diisi air. Dua puluh empat jam kemudian batas permukaan air tersebut diamati oleh sang arsitek pendeta. Kalau air dalam lubang galian meresap seluruhnya ke dalam tanah, artinya tanah dianggap buruk. Sebaliknya jika air dalam lubang itu masih menggenang, maka di atas lahan itu layak didirikan candi.
       Teknik pengujian lainnya ialah dengan meletakkan lampu minyak di tengah lahan calon lokasi candi. Jika sang pendeta melihat lidah api berdiri tegak, konon tempat itu akan membawa kebahagiaan. Kalau miring ke utara, itu lambang kemashyuran. Bila condong ke selatan, katanya ini simbol kemakmuran. Sebaliknya, jika lidah api nampak bergoyang-goyang lalu mengecil, tempat itu tak layak sebagai tempat untuk menegakkan bangunan suci. Apalagi kalau lidah api sampai meliuk menyentuh permukaan bumi, "Jangan sekali-kali mendirikan candi di tempat itu. Tanah semacam itu akan mendatangkan kemiskinan," sabda pujangga penulis kitab Silpasastra.
       Setelah diperoleh data akurat hasil pengujian tanah, pembangunan fisik candi belum sah dilakukan sebelum lahan tempat berdirinya disucikan oleh brahmana. Dalam upacara penyucian ini mahapurasammandala menjadi fokus ritual sebab nantinya ia akan menjadi pusat kesakralan sebuah percandian. Mahapurasammandala itu titik sentral dari keseluruhan kompleks candi, yang terletak persis di titik potong garis-garis diagonal yang menghubungkan keempat sudut halaman. Bekas mahapurasammandala semacam itu masih dapat kita saksikan sekarang di bagian kanan pipi tangga candi induk Prambanan, yaitu berupa sebuah batu dengan goresan menyilang pada penampangnya. Begitu ketatnya peraturan pemilihan lahan sebagai lokasi candi, pakar arkeologi Prof. Dr. Soekmono dalam disertasinya menyatakan, suatu tempat suci adalah suci karena potensinya sendiri. Jadi sesungguhnya, yang utama adalah tanahnya, sedangkan kuilnya menduduki tempat nomor dua.

Tidak Diupah
       Jika tanah telah dinilai suci barulah dilakukan pembangunan candi. Lewat pejabat-pejabat wakil daerah, raja mengimbau kepada seluruh rakyat untuk memulai membangun candi. Begitu imbauan raja keluar, rakyat pun berbondong-bondong datang sambil membawa berbagai peralatan sesuai dengan profesinya masing-masing. Jika merasa diri seniman pahat, mereka segera bergabung di bawah perintah sang taksakha guna melakukan pekerjaan menatah batu untuk dibuat arca. Kalau merasa diri seniman ukir, mereka pun bergabung di bawah kepemimpinan varkhadin untuk mengerjakan ornamen hiasan atau relief cerita. Begitu pun yang merasa dirinya pujangga segera mempersiapkan adegan lakon-lakon yang bakal direliefkan. Sementara itu, mereka yang tidak punya keahlian tahu diri, lalu masuk ke dalam rombongan orang-orang yang mencari batu kali atau batu gunung, sekaligus mengangkutnya ke loksi pembangunan candi. Seperti biasa kaum wanita siap menyumbangkan tenaganya menyediakan konsumsi bagi para pekerja. Hebatnya, pekerja yang jumlahnya mencapai ribuan orang itu tidak mendapat upah. Apalagi menuntut, menerima tanggung jawab dari sang raja saja sudah merupakan suatu kehormatan yang tiada tara bagi mereka. "Raja itu titisan dewa," begitu pandangan masyarakat kala itu. Jadi segala perintah raja harus dipenuhi karena berkaitan dengan ketentraman dunia. Apalagi pendirian candi sebagai kuil pemujaan toh untuk kepentingan masyarakat banyak. Bahkan rakyat seperti berlomba karena ini kesempatan bagi mereka untuk mempersembahkan pisungsun (darma bakti) kepada sang raja, kerajaan, dan masyarakat.
        Setelah terkumpul, batu-batu pilihan dari jenis andesit atau trasit lalu dipotong-potong dengan ukuran dan bentuk yang beragam sesuai dengan perencanaan yang telah ditentukan. Jika dirasa sudah cukup, tahap berikutnya dilakukan penyusunan sesuai dengan dasar rancangan yang sudah dibuat. Sang arsitek dituntut bekerja dengan sangat cermat. Sekali salah memasang potongan balok batu, bentuk bangunan bisa berubah, dan yang lebih parah lagi bangunan itu bisa runtuh. Kita tahu, antara satu batu dengan batu lainnya itu saling terkait dan beberapa batu di antaranya merupakan kunci kekuatan bangunan. Kala itu jelas belum dikenal semen sebagai perekat. Balok-balok batu tersebut hanya ditumpuk satu demi satu dari bawah ke atas. Ketika tumpukan batu sudah tidak dapat dijangkau, maka daerah di sekelilingnya ditimbuni tanah agar orang dapat meletakkan lagi susunan batu di atasnya. Begitu seterusnya hingga lama kelamaan jadi tampak seperti bukit yang memanjang. Lewat bukit buatan itulah mereka kembali memasang batu-batu candi bagian atas sampai akhirnya batu terakhir di puncak candi terpasang.

Lapisan Misterius
       Sampai di sini pekerjaan membangun candi belum selesai. Sebab, bangunan calon candi berupa tumpukan batu itu masih tertimbun tanah urukan yang membukit. Maka di bawah pimpinan dan bimbingan sang vardhakin, kelompok para seniman ukir mulai tampil unjuk keahlian. Tugas mereka mengukir ornamen ataupun relief cerita di dinding candi. Tentu saja mereka harus berkonsultasi dan bekerja sama dengan para pujangga yang paham ihwal adegan atau lakon pada relief cerita yang akan dipahatkan. Kebalikan dengan tukang menyusun balok-balok batu, tugas para pengukir diawali dari puncak sampai ke dasar candi. Sebelum mereka membuat ukiran atau relief, timbunan tanah yang membungkus susunan batu mesti dikupas lebih dulu selapis demi selapis. Selesai mengukir, mungkin sembari istirahat mereka menunggu lagi timbunan tanah berikutnya selesai dikupas. Begitu seterusnya hingga mencapai batu-batu yang paling bawah. Dengan begitu sosok candi yang sudah berornamen dan berelief pun sudah nampak tegak berdiri.
       Ketika bukit hasil timbunan tanah itu dikupas dan seniman membuat ornamen atau relief, muncul pula sekelompok tukang yang bertugas memoles dinding candi dengan semacam lapisan perekat berwarna kuning kemerahan. Lapisan perekat bernama bajralepa itu berfungsi melindungi kulit luar batu supaya tahan terhadap korosi. Sebab, bajralepa itu konon kedap air, mampu melindungi dinding candi dari guyuran hujan dan teriknya matahari, selain juga memiliki fungsi estetika karena lapisan ini akan memantulkan sinar sehingga candi akan nampak gemerlapan. Bekas-bekas lapisan bajralepa itu masih dapat kita saksikan di dinding dalam Candi Kalasan dan Candi Sari di Yogyakarta. Pada tahun 1960 lapisan misterius ini pernah diteliti secara laboratoris oleh peneliti bangsa asing. Hasilnya, bajralepa terbuat dari bahan lokal ramuan berbagai unsur seperti lerak, gamping, dan putih telur. Tetapi bagaimana ramuan itu dibuat berikut komposisinya, masih merupakan misteri.
       Masih banyak misteri pembangunan candi yang belum terkuak. Yang jelas, pembangunan candi merupakan megaproyek yang menyerap ribuan tenaga kerja dan tak terhitung besarnya dana. Pakar epigrafi Sukarto Kartoatmodjo berkali-kali menyatakan, semua itu tidak mungkin dapat terlaksana tanpa sistem pemerintahan yang baik, sistem organisasi yang rapi, perencanaan yang matang, kemampuan berpikir yang hebat, dan dukungan perekonomian yang kuat. "Jadi, ratusan tahun silam, bangsa Indonesia terbukti pernah maju dan tampil di panggung ilmiah internasional," tutur Sukarto.

Oleh B. Soelist, Intisari Februari 1997 Baca Selanjutnya ..

Kisah-kisah Jenaka dari Kaki Candi Mendut

Kisah kera menghitung buaya atau cerita kambing menipu harimau mungkin sudah pernah Anda dengar. Cerita rakyat? Bukan. Siapa menyangka kisah jenaka ini dari Candi Mendut

                                 Relief kera menghitung buaya


       Panil-panil batu yang terdapat pada kaki atau sepanjang dinding sebuah candi, selalu menarik perhatian. Ukurannya sekitar 1,5 x 0,5 meter, terbentuk dari bongkah-bongkah batu kali yang masif. Yang menarik dari batu panil itu adalah gambaran relief yang mengisi ruang panil. Di sana digambarkan berbagai adegan cerita yang diambil dari ajaran kitab suci agama Budha dan Hindu. Ada yang berisikan cerita kepahlawanan, propaganda agama, kisah kehidupan orang-orang suci, dan juga kisah fabel (cerita dengan tokoh-tokoh hewan yang bisa berbicara dengan tema ajaran moral atau kritik). Pada kaki sebuah candi Budha di Jawa Tengah, yaitu Candi Mendut, didapati beberapa panil batu yang menggambarkan berbagai adegan lucu dari bermacam-macam hewan. Relief itu menceritakan suatu kisah yang bukan sembarang kisah, karena dipetik dari kisah fabel yang terdapat dalam kitab Jataka dan Tantri Kamandaka yang berisi tamsil ibarat dan falsafah kehidupan yang dalam. Marilah kita ikuti beberapa di antaranya.


Kisah Kura-kura Terbang
       Ada suatu gambar relief yang tampak agak ganjil dan lucu. Pada panil yang berukuran 1,5 x 0,75 meter dipahatkan seekor kura-kura yang sedang menggigit sepotong kayu, dan kayu itu dibawa terbang oleh dua ekor angsa dengan cara memegangi kedua ujungnya dengan cakar mereka. Sementara itu di bawahnya dilukiskan beberapa orang yang sedang berteriak-teriak dan dua ekor anjing yang sedang menengadahkan kepalanya ke atas mungkin sedang menggonggong. Di bagian lain, masih di dalam bingkai panil yang sama, tampak orang-orang dan anjing sedang memperebutkan kura-kura yang rupanya telah terjatuh ke tanah.
Cerita kura-kura terbang dipetik dari kitab Tantri Kamandaka, sebuah kitab fabel berbahasa Jawa Kuno. Ceritanya ringan menarik dan penuh amsal, perlambang, dan pendidikan. Ringkas ceritanya sebagai berikut.
        Di sebuah danau yang permai dan jernih airnya, tinggallah seekor kura-kura. Kura-kura itu bersahabat dengan dua ekor angsa laki bini bernama Cakrangga dan Cakranggi. Persahabatan mereka telah lama dibina. Suatu ketika di musim kemarau, saat air danau mulai berkurang, Cakrangga dan Cakranggi minta diri pada sahabatnya itu untuk mengungsi ke sebuah telaga di Gunung Himawan. Air di telaga itu tidak pernah kering walau pada musim kemarau sekali pun. Sekali ini kura-kura rupanya ingin turut mengungsi. Katanya: "Bawalah aku serta. Di sini aku akan sengsara karena kurang air." Masalahnya adalah bagaimana cara kedua angsa itu membawa si kura-kura. Akhirnya mereka mengusulkan agar kura-kura menggigit sepotong kayu dan kedua angsa itu akan mencengkeram kedua ujung kayu sambil terbang. Ada satu pesan dari angsa yang harus diingat dan ditaati kura-kura selama perjalanan nanti. "Kami akan membawa terbang dirimu, kura-kura, dan kamu harus memagut kuat-kuat batang kayu itu. Ingat, janganlah berbicara apa pun. Jika ada yang menegur janganlah dijawab," demikian pesan Cakrangga dan Cakranggi.
       Segeralah mereka terbang. Kura-kura merasa kagum pada keindahan alam yang dilihatnya dari atas. Tak terasa sampailah mereka di atas sebuah ladang yang bernama Wilanggala. Di ladang itu ada dua ekor anjing jantan dan betina yang sedang bermain. Ketika mereka menengadah, tampaklah sesuatu yang ganjil, yaitu seekor kura-kura yang bergelayutan pada sepotong kayu yang sedang dibawa terbang oleh dua ekor angsa. Maka berkatalah anjing betina: "Hai, lihatlah! Ada kura-kura dibawa terbang oleh dua ekor angsa!" Menjawablah si anjing jantan: "Aneh, ya! Tampaknya ada kura-kura tolol sedang belajar terbang pada angsa. Mungkin itu bukan kura-kura, tapi kotoran kerbau kering yang berisi cacing untuk makanan anak-anak angsa." Marahlah si kura-kura mendengar percakapan kedua anjing itu. Mulutnya mulai berdenyut-denyut menahan amarah. Karena gusarnya ia tidak ingat lagi pesan angsa sahabatnya. Ia ingin menjawab ejekan itu dan dibukalah mulutnya untuk berbicara. Akibatnya bisa diduga. Tubuh gemuk si kura-kura melayang jatuh berdebam di tanah. Kedua anjing itu segera melompat memburu si kura-kura. Keduanya makan besar menikmati daging kura-kura.

                                                        Relief kura-kura terbang

        Kesimpulan kisah ini dalam kitab Tantri Kamandaka adalah demikian: "Mangkana puhara ning tan yatna ring warah maring rahayu, tan wruh kalinganya, mandeya ala, pisaningun ika masiha. Kewala ikang ujar ing mitra haywa gya-gya wawarengon." Artinya kira-kira demikian: "Demikianlah akhirnya jika tidak memperhatikan nasihat dari kawan baik, dan tidak memahami maksud yang tersirat. Hal itu akan membuat celaka. Dan perlu pula diingat jangan cepat-cepat menerima kata-kata orang begitu saja untuk ditanggapi."
 
Muslihat Seekor Kambing
       Pada bagian kaki candi Mendut ada sebuah panil relief yang menggambarkan adegan ganjil yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Di situ tampak seekor harimau yang lari menghindari seekor kambing. Sementara di pinggang harimau melilit seutas tali yang menyambung dan terikat pada pinggang seekor monyet. Monyet itu terseret berguling-guling terbawa lari harimau. Mimik wajah harimau sangat ketakutan sambil menoleh ke arah kambing. Si kambing digambarkan sedang berdiri dengan tenangnya. Di sekitar binatang-binatang itu digambarkan tanaman sulur-suluran yang berdaun lebat, juga ada burung yang sedang terbang. Agaknya hendak menunjukkan suasana hutan di mana adegan itu berlangsung. Gambaran yang ada pada relief itu diambil dari kitab Jataka yang mempunyai padanan yang sama dalam kisah dalam kitab Tantri Kamandaka.
       Tersebutlah ada seekor kambing betina bernama Mesaba dengan anaknya. Mereka sedang bercengkerama di tepi hutan menghirup udara segar, sambil menikmati rumput muda. Tanpa sepengetahuan mereka, ada sepasang mata buas harimau yang telah lama mengawasinya. Harimau itu bernama Warani. Ia telah lama berkeliaran di dalam hutan mencari binatang yang akan dimangsanya. Sampai akhirnya ia melihat seekor induk kambing dengan anaknya sedang merumput dengan asyik. Pikir harimau: "Hai, ini dia makanan bagiku." Untuk beberapa lama ia mengintai mengatur strategi. Lalu mendekatlah harimau itu sambil berkata: "Eh, sedang apa kalian berkeliaran di wilayah kekuasaanku? Akan kuhukum kau dan kuantarkan ke kerajaan Sang Yama (Dewa Maut) karena telah sembarangan datang ke tempat ini." Namun si induk kambing tidak tampak takut, bahkan ia berani menjawab: "Harimau, tak tahukah engkau, bahwa telah sepuluh ekor macan yang yang kumakan? Aku dapat mengeluarkan api setinggi menara dan membakar matahari terik itu. Apalagi cuma seekor macan macam kau. Tunggulah, rasakan kesaktianku ini." Mendengar bualan kambing itu, harimau merasa ngeri, dan akhinya buru-buru lari menghindar.
       Seekor kera melihat harimau itu lari ketakutan, lalu bertanya: "Mengapa kau lari terbirit-birit, Warani?" Diceritakan oleh Warani bahwa ia bertemu dengan seekor kambing yang sakti, meski tidak sesakti Siwa (Dewa tertinggi penguasa alam), tapi cukup membuatnya keder. Tahulah si kera bahwa kedua kambing itu adalah bekas sahabatnya, Maseba beserta anaknya. Kera menganjurkan kepada Warani untuk mendatangi Maseba lagi dan membuktikan kesaktian Maseba, tapi harimau menolak. Akhirnya kera berkata: "Jika kau takut, aku akan menemanimu. Ambillah tali untuk mengikat pinggang kita berdua. Dengan demikian segala bahaya akan kita hadapi bersama." Demikianlah mereka berdua berjalan berlambat-lambat mendatangi kedua kambing itu. Kedatangan mereka segera diketahui Maseba dan anaknya. Anak kambing itu sangat ketakutan, namun induknya dapat membujuknya agar tetap tenang. "Eh kera, selamat datang! Untunglah engkau masih ingat akan janjimu dahulu ketika kau kalah taruhan denganku. Katamu kau sanggup menyerahkan dua ekor harimau untuk santapanku. Sekarang kau datang hanya membawa seekor. Tak apalah. Bawa kemari biar cepat kukunyah habis!" Dengan sangat ketakutan harimau berpikir: "Oh, rupanya aku dibawa kemari untuk membayar hutang. Lebih baik aku segera menyelamatkan diri!" Maka larilah harimau itu. Kera yang terikat pinggangnya terbawa terseret-seret. Karena terburu-buru, harimau terperosok ke dalam jurang, terbanting pada dasar jurang. Si kera pun turut terbawa masuk jurang sehingga matilah mereka berdua. Mesaba segera mengajak anaknya pergi dari tempat itu, takut bersua dengan harimau lain yang lebih ganas dan tidak mudah ditipu.

Kisah Kutu dan Kepinding
       Ada seekor kutu yang gemuk bernama Asada. Dia tinggal di tilam seorang raja dan merasa betah di sana sehingga tidak pernah terpikir untuk meninggalkan tempat itu. Sementara itu di celah-celah dinding kamar tempat Sang Raja beristirahat, terdapat seekor kepinding, Candila namanya. Candila merasa heran melihat hidup Asada yang tampaknya makmur. Maka didatangilah si Asada, dan katanya: "Wahai Asada, ingin saya bertanya kepadamu, mengapa hidupmu begitu makmur? Tubuhmu gemuk sehat, tampaknya kamu banyak makan. Coba lihat diriku yang kurus kering karena selalu kekurangan makan. Makanan hanya kuperoleh jika ada orang yang bersandar di dinding. Itu pun hanya sekejap. Tolonglah, Asada, beritahukan rahasia kemakmuran hidupmu." Menyahutlah kutu Asada: "Hai kepinding, rahasia kemakmuran hidupku sebenarnya tidak ada, hanya aku mencari makan dengan memperhatikan prinsip kaladesa (waktu dan tempat). Karena aku tinggal di kasur Raja, tentunya yang kuhisap adalah darah Raja. Tapi dalam mencari makan itu, aku selalu berpegang pada ketentuan tadi. Desa berarti tempat, maksudnya tempatku sekarang ini sudah cukup baik untuk mencari makan dan tidak mau meninggalkan tempatku, yaitu peraduan Sang Raja. Kala artinya waktu, aku akan memilih waktu yang tepat dalam menjalankan aksi mencari makan. Waktu Sri Baginda sudah lelap tidur, nah, saat itulah aku mulai beraksi menghisap darahnya sepuasnya. Namun jika kesempatan itu tidak ada, lebih baik aku tidak makan, sampai satu malam, dua malam, bahkan lebih lagi. Aku selalu menunggu kesempatan yang terbaik dan tidak terburu-buru menuruti hawa nafsu."
       Demikianlah uraian hidup makmur si Asada kepada Candila. Akhirnya diperbolehkannya Candila bertempat tinggal di tilam sang Raja. Pada suatu hari Raja berkesempatan untuk beristirahat pada siang hari. Si kepinding merasa telah mendapat kesempatan yang baik. Dilihatnya paha raja yang keputih-putihan menimbulkan hasratnya untuk segara menggigit dan menghisap darahnya. Tetapi maksud itu dicegah oleh kutu. "Jangan tergesa-gesa sahabat, bukan kesempatan baik saat ini. Sabarlah sampai nanti malam dan saat itu kau boleh makan sepuasnya." Nampaknya Candila tidak mengindahkan nasihat sahabatnya. Jiwanya telah dipenuhi nafsu terburu-buru. Ia bersikeras pada kehendaknya, karena sangat lapar. Maka digigitlah paha Sang Raja. Sang Raja terkejut dan terbangun lalu diperintahkannya para pengawal untuk mencari kepinding yang menggigit pahanya. Dicarilah tempat persembunyiannya, tapi tidak ditemukan, karena ia dengan cepat telah menyelinap ke celah-celah anyaman. Malahan yang ditemukan adalah kutu Asada lalu dibunuhlah kutu itu. Si kepinding terus dicari, tak berapa lama ia pun ditemukan dan dibunuh.
       Akhir cerita itu dicatat dalam kitab Tantri Kamandaka dalam bahasa Jawa Kuno sebagai berikut: "....ikang wang pamasrayan, tan wruh abecikan ing amarasraya, wyakti anemu dukha satata..." (....barang siapa memberi perlindungan tanpa mengetahui baik buruknya yang dilindungi, pasti menemukan kesusahan....). Tapi tamsil ibarat yang nyata dalam cerita ini adalah prinsip kaladesa tersebut, yaitu dalam mencari rezeki atau mencari kehidupan, hendaknya diperhatikan tempat dan waktu yang memungkinkan.


                                                      Candi Mendut



Relief sebagai Sarana Pendidikan
       Ajaran yang bersifat mendidik itu telah lama dikenal oleh nenek moyang kita. Agar segala ajaran baik tentang kecerdikan, tingkah laku, dan nasihat-nasihat mudah diserap oleh masyarakat, maka dipahatkanlah pada dinding candi-candi tempat beribadat. Kisahnya dibuat beragam, antara lain fabel yang bisa diterima oleh anak-anak maupun orang dewasa. Kisah-kisah yang mengambil tokoh hewan tidak saja dijumpai pada panil candi, tetapi juga digambarkan pada benda-benda lain. Di Museum Nasional Jakarta terdapat suatu koleksi berupa lencana pajangan terbuat dari lempengan emas yang berukuran lebar 12 cm, ditemukan dari daerah Kediri dan diperkirakan berasal dari abad ke-14. Salah satu lencana menggambarkan dua ekor monyet yang sedang menyeberangi genangan air sambil mengangkut batu-batu di atas kepala mereka. Namun kegiatan mereka terganggu dengan munculnya kepiting yang hendak menjepit mereka. Kedua ekor monyet itu menjerit sambil meloncat-loncat. Adegan itu tampak lucu. Kisahnya dipetik dari epik Ramayana, ketika para kera membantu usaha pembuatan jembatan yang menghubungkan Jambhudwipa (India) dengan Alengka (Srilangka). Sedangkan kisah Ramayana yang lengkap dipahatkan pada candi Prambanan (Jawa Tengah) dan candi Penataran (Jawa Timur). Kemungkinan besar lencana pajangan itu diperuntukkan bagi anak-anak bangsawan Jawa Kuno dulu. Moral yang diajarkannya adalah tentang kisah kegagahan bala tentara monyet dalam membela pihak yang benar, yaitu Rama yang berusaha merebut kembali istrinya yang dilarikan Rawana ke Alengka.
        Demikianlah salah satu cara nenek moyang kita dalam mengajarkan moral kepada masyarakat dan keturunannya, yaitu dengan memahat relief-relief pada dinding candi-candi dan benda-benda lain.

Oleh Agus Aris Munandar
Baca Selanjutnya ..

Peranan Adat dalam Masalah Hukum pada Masa Majapahit


                                                                               I

       Tidak dapat diingkari lagi bahwa pengaruh budaya India sangat meresap dalam pelbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa Kuno. Pengaruh India ini pun sangat terasa sekali dalam mengatur kehidupan kemasyarakatan yang berpedoman kepada kitab perundang-undangan yang berlaku pada masa itu. Di dalam naskah Nagarakrtagama, pupuh LXXIII:1 dikemukakan bahwa Raja Hayam Wuruk berusaha keras agar bertindak dengan bijaksana untuk tercapainya kesejahteraan rakyat. Dalam melaksanakan peradilan tidak boleh bertindak serampangan, tetapi harus mengikuti segala apa yang tercantum dalam kitab agama. Segala keputusan yang diambil harus seadil mungkin sehingga semua pihak merasa puas.
       Naskah perundang-undangan Jawa Kuno yang isinya berkenaan dengan astadasawyawahara (18 jenis pelanggaran) sampai saat ini baru ada dua naskah yang diterbitkan, yaitu naskah perundang-undangan Agama dan Sarasamuccaya, sedangkan naskah perundang-undangan Jawa Kuno lainnya seperti Nawanatya, Rajapratigundala, Purwadigama, dan Praniti Raja Kapa-kapa dapat dijumpai dalam buku Literature of Java karangan Dr. Th.Gh.G.Th. Pigeaud. Semua naskah perundang-undangan Jawa Kuno itu merupakan cuplikan dari kitab Manawadharmasastra dan kitab-kitab Hindu lainnya yang berasal dari India. Kitab-kitab itu diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno oleh pujangga-pujangga Jawa yang mahir bahasa Sansekerta serta mengalami perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan kebudayaan Jawa (van Naerssen 1941).
       Sebagai bahan pembanding antara perundang-undangan Jawa Kuno dan kitab Manawadharmasastra dari India, akan dibahas sebagian dari pasal-pasal naskah perundang-undangan Agama dan Kutaramanawa. Menurut J.C.G. Jonker, naskah perundang-undangan agama selain memuat pelbagai pasal dari kitab Manawadharmasastra juga memuat pasal-pasal yang langsung diambil dari hukum-hukum Hindu (Jonker 1885:17-18). Timbulnya perbedaan redaksi atau isi antara pasal-pasal asli dan pasal-pasal saduran menurut Slametmulyana disebabkan oleh yang menyadur tidak bersikap asal menyadur atau menerjemahkan, tetapi ia memilih pasal-pasal yang dapat diterapkan dalam masyarakat Jawa Kuno. Jika perlu, diadakan sekedar perubahan sehingga pasal-pasal yang bersangkutan sesuai dengan keinginan raja atau dengan keadaan masyarakat (Slametmulyana 1967: 14-15).

                                                                            II

       Dari sekian banyak perbedaan antara kitab Manawadharmasastra antara naskah perundang-undangan agama, perbedaan yang paling menyolok adalah pasal mas kawin atau tukon. Kata tukon berasal dari kata tuku (beli). Jadi secara harfiah tukon berarti 'pembelian', sedangkan dalam pengertian umum tukon sejumlah uang atau benda yang diserahkan oleh pihak mempelai laki-laki kepada orang tua mempelai wanita sebelum perkawinan dilangsungkan sebagai uang pembelian mempelai wanita. Penerimaan tukon ini adalah sebagai tanda pengikat bahwa perkawinan antara gadis yang telah dibeli dan pemuda yang telah membayar tukon kepada ayah gadis itu akan dilaksanakan pada hari yang telah ditetapkan. Sampai saat ini tukon masih merupakan salah satu ciri kebudayaan bangsa Indonesia yang masih umum dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan, walaupun telah banyak mengalami perubahan.
      Dalam masyarakat Jawa sekarang, pada waktu pertunangan pemuda memberikan hadiah pertunangan yang disebut peningset, sebagai tanda ikatan. Biasanya berwujud perhiasan atau 'kain pakaian sapengadeg' yaitu bahan pakaian lengkap dari ujung kaki sampai ke atas, antara lain, kain dan kebaya. Pemberian peningset ini diartikan sebagai alat beli atau tukon, karena seolah-olah anak gadis itu dibeli oleh pihak keluarga laki-laki (Wajong 1974: 29). Sebagai ukuran mas kawin atau tukon yang paling penting adalah hubungan dengan kelompok kekerabatan, kedudukan sosial yang tinggi, kekuasaan politik, kedudukan ekonomi, dan sebagainya. Jumlah tukon terutama ditentukan oleh kedudukan sosial dari keluarga si gadis. Aturan adat mengenai perbedaan jumlah tukon didasarkan atas perbedaan kedudukan sosial yang tidak seragam di berbagai daerah (Borahima 1977: 26). Misalnya, di daerah Minahasa, pada pertemuan-pertemuan antara keluarga mempelai laki-laki dan perempuan antara lain membicarakan soal tukon. Juru bicara dari kedua belah pihak melakukan tawar menawar sambil mengunyah pinang, sekarang lebih banyak sambil minum teh, sampai tercapainya persetujuan mengenai jumlah uang atau barang-barang yang akan dierahkan kepada orang tua mempelai wanita (Adam 1976: 36).

                                                  Salah satu lontar dari Bali

       Dalam perundang-undangan agama terdapat sembilan pasal yang isinya khusus mengatur tukon (Slametmulyana 1967: 142-144). Isi dari kesembilan pasal itu adalah:
  1. Jika seorang gadis telah menerima barang yang dimaksud sebagai tukon, kemudian kawin dengan laki-laki lain karena menaruh cinta kepada laki-laki lain, sedangkan orang tuanya tinggal diam, bahkan mengawinkannya, perbuatan itu disebut: mengawinkan gadis larangan. Segala tukon pelamar pertama harus dikembalikan dua kali lipat. Ayah si gadis dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa. Hal itu disebut amadal tukon (menolak tukon). Suami-istri yang menikah, masing-masing dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa.
  2. Barang siapa memberikan tukon kepada seorang gadis, sedangkan gadis itu kemudian meninggal, tukon itu tidak usah dikembalikan. Peristiwa itu disebut kematian tukon.
  3. Seorang gadis berhak membatalkan perkawinannya setelah di tempat tidur mengetahui bahwa suaminya menderita penyakit (yang mengurungkan perkawinan), seperti sakit kuning, impoten, banci; mempunyai penyakit buduk pada perut, pada paha, pada pantat; menderita penyakit ayan atau gila. Dalam hal yang demikian gadis berhak untuk membatalkan perkawinannya. Ia wjib mengembalikan tukon dua kali lipat.
  4. Jika seorang gadis bangsawan telah menerima tukon dari seorang pemuda, kemudian pemuda itu berkata bahwa ia ikan menjalankan dharma (keagamaan), atau berkata bahwa ia akan mencari uang, tukon pemuda itu tetap pada gadis itu. Namun, jika ternyata ucapan pemuda itu bohong, terutama jika pemuda itu seorang guru, akan dikatakan kematian dharma (maksudnya tidak mengenal darma); jika demikian, gadis itu dipermainkan. Tukon akan menjadi milik si gadis, tidak usah dikembalikan kepada pemberinya. Tukon itu disebut stridhana (harta milik istri) dalam undang-undang.
  5. Jika seorang pemuda telah memberikan peningset atau pengikat (panglarang) kepada seorang gadis dengan diketahui oleh orang banyak, setelah lima bulan lamanya (perkawinan belum dilaksanakan), maka pemuda itu tidak mempunyai hak atas pengikat itu. Gadis yang demikian oleh orang banyak disebut walanjar (janda yang belum kawin, belum mempunyai anak). Ayah gadis itu berhak menawinkannya dengan orang lain.
  6. Jika seorang pemuda telah memberikan tukon kepada seorang gadis, kemudian meninggal, sedangkan pemuda itu mempunyai adik laki-laki, maka gadis boleh dikawinkan dengan adik laki-laki dari pemuda yang telah mati yang disebut wereh-wereh jika ia menerima perkawinan itu.
  7. Jika orang tua gadis telah menerima tukon dari pelamar sebagai tanda bahwa gadisnya telah laku dan telah menyetujui waktu berlangsungnya perkawinan, sedangkan jejaka patuh menanti janji orang tua gadis, tetapi ketika sampai pada waktunya gadis itu dikawinkan dengan orang lain oleh bapaknya, maka jumlah tukon harus dikembalikan dua kali lipat. Di samping itu, orang tua gadis itu dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa.
  8. Jika seorang gadis telah kawin, tetapi belum bercampur dengan suaminya, karena tidak suka kepada suaminya, karena tidak suka pemuda itu, tukon harus dikembalikan dua kali lipat. Perbuatan itu disebut .... sanggama (menolak percampuran).
  9. Jika seorang gadis telah menerima tukon dari seorang pemuda dan ayah gadis itu telah menetapkan hari yang baik untuk melangsungkan perkawinannya, tetapi sebelum janji itu tiba, gadis itu telah ditiduri oleh pemuda yang menyerahkan tukon, perbuatan pemuda itu disamakan dengan merampas kehormatan karena ia tidak sanggup menanti janji. Demikianlah undang-undangnya: tukon itu tidak berguna dan hilang. Ayah si gadis tidak usah mengembalikan tukon. Pemuda itu dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa. 
         Demikianlah ajaran Bagawan Bargawa.
        Di dalam kitab Manawadharmasastra, tukon itu disebut Sukla yang dimasukkan ke dalam stridhana (kekayaan seorang istri). Salah satu pasal yang terdapat dalam kitab Manawadharmasastra, yaitu Pasal 98 pada Bab VIII dikemukakan bahwa "Adaditana cudro 'picuklam duhitaram dadana, cuklam hi grhinankurute channam duhitr wikrayam" ('Bahkan orang Sudra sekalipun tidak boleh menerima mas kawin itu bila ia mengawinkan anaknya karena ia yang menerima mas kawin itu berarti menjual anaknya termasuk acara jual-beli dengan istilah lainnya). Selain itu, Pasal 90 bab yang sama terdapat keterangan bahwa "Nanucucruma jatwetat purwespati hi janmasu, cuklasmjena mulyena channamduhitri wikrayam" (Pun demikian pula belum pernah terdengar baik pada zaman dahulu kala hal tentang penyimpangan itu, seperti misalnya memperjualbelikan anaknya dengan harga yang pasti yang dapat dikatakan sebagai mas kawin).
       Dari kedua pasal itu dapat diketahui betapa berbeda pengertian mas kawin atau tukon dalam masyarakat Jawa Kuno dengan kitab undang-undang yang berlaku di India. Pada masyarakat Jawa Kuno tukon merupakan suatu hal yang wajar; demikian pula halnya jika orang tua si gadis menentukan besarnya tukon. Hal ini bukanlah hal yang terlarang atau hal yang mengaibkan seperti yang disebutkan dalam kitab Manawadharmasastra melainkan juga menyangkut status sosialnya di dalam masyarakat. Selain tukon masih ada beberapa pasal dari naskah perundang-undangan agama yang berbeda dengan kitab Manawadharmasastra. Misalnya, pasal mengenai paradara ('perbuatan yang kurang senonoh terhadap istri orang lain atau terhadap seorang gadis') dan pasal utang-piutang.
       Mengenai paradara, di dalam naskah perundang-undangan agama terdapat pasal yang berbunyi, "Barang siapa yang berbicara dengan wanita di tempat sepi, meskipun katanya akan berutang, dikenakan denda selaksa. Itu adalah larangan. Jangan berbicara dengan wanita di tempat sepi karena nafsu birahi susah dikendalikan. Meski seorang pendeta sekali pun, dilarang menegur seorang istri di tempat sepi karena nafsu indria sangat kuat dan susah dilawan. Jika tidak dapat menjaga indranya, tetapi mengumbarnya, hilanglah kependetaannya. Demikianlah bunyi undang-undangnya" (Slametmulyana 1967: 150), sedangkan dalam kitab Manawadharmasastra tercantum pasal yang berbunyi, "Seorang seperti itu dahulu dipersalahkan berbuat kesalahan yang bercakap-cakap dengan istri seseorang dengan sembunyi-sembunyi, diancam dengan hukuman denda terendah", dan pasal lainnya berbunyi, "Tetapi orang yang bicara seperti di atas dengan beralasan, tidak bersalah, karena tidak ada pelanggaran baginya" (Pudja dan Sudarta Tjokorda Rai 1977/1978: 510). Selain itu, di dalam naskah perundang-undangan agama terdapat pasal yang berbunyi, "Barang siapa memegang seorang gadis, kemudian gadis itu berteriak menangis, sedangkan banyak orang yang mengetahuinya, buatlah orang-orang itu saksi sebagai tanda bukti. Orang yang memegang itu dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa" (Slametmulyana 1967:151). Mengenai kasus demikian di dalam kitab Manawadharmasastra disebutkan, "Ia yang memperkosa wanita yang tidak mau dihukum jasmani langsung, tetapi seseorang yang menikmati dengan kemauan wanita itu, tidak diancam hukuman jasmani bila dilakukan dengan wanita segolongan" (Pudja dan Sudarta Tjokorda Rai 1977/1978: 152) dan "Laki-laki yang menodai wanita yang sama-sama suka tidak dihukum dengan pemotongan jari-jari tangannya tetapi diberi denda sebanyak duaratus pena agar tidak lagi mengulangi perbuatan yang sama". Dari kedua pasal paradara yang terdapat di dalam naskah perundang-undangan agama dengan kitab Manawadharmasastra dapat dilihat perbedaannya, hukuman bagi orang yang melakukan paradara di India tidak seberat hukuman yang berlaku bagi orang yang melakukan paradara di dalam masyarakat Jawa Kuno.
       Sehubungan dengan utang-piutang, dalam naskah perundang-undangan Agama ada peraturan khusus yang berlaku bagi orang yang akan berutang, yaitu harus keramas dan mencuci muka agar badannya bersih. Setelah membersihkan badan barulah boleh pergi berutang. Hari-hari untuk melakukan transaksi utang-piutang, tidak boleh lain daripada hari Senin dan Kamis (Slametmulyana 1967: 130; Jonker 1885: 50), sedangkan dalam kitab Manawadharmasstra tidak ada peraturan demikian.

                                                                         III

       Dari pasal-pasal hukum yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa ada perbedaan hukum yang diterapkan di dalam masyarakat Jawa dan India walaupun sebagian besar pasal-pasal dari naskah perundang-undangan agama diambil dari kitab Manawadharmasastra dari India. Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan bagi kita, yaitu mengapa perundang-undangan yang berlaku pada masa itu tidak diambil begitu saja dari kitab Manawadharmasastra? Selain seperti yang telah dikemukakan oleh Slametmulyana bahwa pasal-pasal yang diambil disesuaikan dengan keadaan masyarakat pada masa itu, mungkin dapat kita ambil prasasti Bendosari atau prasasti Manah i Manuk (Brandes 1913:207-210; Yamin 1962:109-115; Pigeaud 1960:104-107) dan prasasti Parun (Stuart 1875:26-27) yang berasal dari zaman Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (abad ke-14 Masehi) untuk menjelaskan persoalan di muka. Di dalam kedua prasasti itu dikemukakan tentang bagaimana para tanda rakryan rin pakirankiran memutuskan suatu persengketaan. Dikemukakan di sini, "pinametaken sastradrsta. desadrsta. udaharana guru kaka. makatangwan rasagama ri san hyan kutaramanawadi. mananukara prawrttyacara san pandita wyawaharawicchedaka rin puhun palama" ('digambarkan dalam kitab hukum, pendapat umum, kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya dan guru kaka (?). Berpegang teguh kepada inti riwayat sanghyang/kitab Kutaramanawadi, mengikuti kebiasaan sang pendeta yang menyelesaikan/memutuskan persengketaan --yang telah dilakukan-- sejak dahulu kala.
      Adapun ikhtisar si kedua prasasti itu adalah sebagai berikut:
1. Prasasti Bendosari/Manah i Manuk
      Di dalam prasasti dikemukakan ada dua pihak yang bersengketa. Pada satu pihak, Aki Santana Mapanji Sarana dengan kawan-kawannya, yaitu Ki Karnna Mapanji Manakara, Ajaran Reka, Ki Siran dan Ki Jumput; pada pihak lain samasanak di Sima Tiga yang dipimpin oleh Apanji Anawun Harsa. Aki Santana Mapanji Sarana menyatakan bahwa ia dan kawan-kawannya mempunyai tanah di Manah i Manukdan di tempat lain sebanyak 67 lirih. Tanah itu merupakan milik turun-temurun sejak tahun Saka 919 atau 997 Masehi. Selain itu, tidak ada sawah-sawah milik samasanak di Sima Tiga yang terletak lewat batas desa Pakandanan, sedangkan pihak Apanji Anawun Harsa mengaku bahwa tanah seluas 67 lirih itu dahulu digadaikan kepada canggahnya seharga satu setengah taker perak pada saat tanah Jawa tidak memiliki senjata dan tahil.
      Pihak Aki Santana Mapanji Sarana maupun pihak Apanji Aawun Harsa sama-sama yakin atas kebenaran masing-masing. Lalu mereka menghadap kepada tanda rakryan rin pakirankiran. Oleh para tanda rakryan pakirankiran kedua kesaksian itu dipertimbangkan berdasarkan kitab-kitab hukum, pendapat umum, kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya, guru kaka (?), inti kitab Kutaramanawadi, dan mengikuti kebiasaan pejabat-pejabat kehakiman yang ahli sejak dahulu kala. Di samping itu, tanda rakryan rin pakirankiran memerintahkan untuk menanyakan kepada penduduk desa-desa di sekitarnya yang tidak memihak untuk memperoleh keterangan mana yang benar dan mana yang tidak benar.
       Penduduk desa di sekitarnya menyatakan bahwa menurut pendengaran mereka memang tanah itu merupakan tanah perdikan gadaian, tetapi sumber keterangannya tidak diketahui. Oleh karena itu, pihak Aki Santana Mapanji Sarana dimenangkan dan mereka mendapat surat jayasong untuk melindungi hak mereka, sedangkan pihak samasanak di Sima Tiga dinyatakan kalah karena tidak ada bukti bahwa canggahnya pernah menggadai tanah-tanah itu dan tidak seorang pun yang mengetahui tentang hal itu.

2. Prasasti Parun
       Pada prasasti disebutkan bahwa ada dua pihak yang bersengketa, yaitu para pejabat desa Parun di satu pihak dan para pejabat desa Plan di pihak lain. Akan tetapi, kasus persengketaan ini tidak jelas karena prasasti Parun hanya ditemukan sebagian. Oleh para tanda rakryan kesaksian kedua belah pihak dipertimbangkan berdasarkan kitab-kitab hukum, pendapat umum, kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya, guru kaka (?), inti kitab Kutaramanawadi, dan mengikuti kebiasaan pejabat-pejabat kehakiman yang ahli sejak dahulu kala.
       Persengketaan ini dimenangkan oleh pejabat-pejabat desa Parun karena mereka berani menanggung akibat terkena kutukan paduka bhatara ri Parun. Kemudian, para pejabat desa Parun mendapat surat jayasong agar masalahnya tidak diungkit-ungkit lagi.
       Dari kedua prasasti itu dapat diambil kesimpulan bahwa para pejabat kehakiman jika hendak memutuskan suatu perkara, di samping harus menguasai kitab-kitab hukum, seperti Harmasastra dan Agama, juga harus mengindahkan hukum adat yang telah menjadi tradisi sejak dahulu kala. Selain itu, dari kitab Purwwadhigama didapatkan penjelasan tentang syarat-syarat bagi seorang pragwikaka, yaitu selain menguasai kitab-kitab sastra juga harus mampu memberi keputusan dalam pengadilan atas persengketaan yang terjadi serta tidak bingung dalam menghadapi kesulitan untuk mencari persesuaian antara astadasawyawahara dengan adat beserta ajarannya (van Naerssen 1941:359).

                                                                              IV

       Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam masyarakat Jawa Kuno walaupun telah diresapi oleh budaya India, tetapi masih berakar kepada tradisi masyarakat yang lebih tua lagi, yaitu hukum adat. Dalam masyarakat yang sederhana, hukum adat tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Secara tidak sadar pengaruh hukum adat masuk dan diterima dalam kehidupan masyarakat. Memang harus diakui pula bahwa hukum adat sudah mendarah daging dalam kebudayaan tradisional, yaitu sebagian besar merupakan hukum kebiasaan dan sebagian lagi merupakan hukum agama; dan seperti yang kita ketahui, salah satu sumber hukum nasional bangsa Indonesia adalah hukum adat. Hukum adat inilah yang sampai saat ini menguasai dan mengatur pelbagai bidang kehidupan rakyat Indonesia. Walaupun tidak jarang berbagai masalah timbul sehubungan dengan dipakainya hukum adat sebagai sumber bagi pembangunan hukum nasional. Di antara masalah-masalah itu ialah tidak pastinya hukum adat karena beraneka ragamnya sistem dan isi ketentuan-ketentuan hukum adat, sesuai dengan masing-masing daerah di Indonesia.

CATATAN
  1. Nagarakrtagama pupuh VXXIII:1 berbunyi:  ndan/nrpa tiktawilwapuraraja mankin atiyatna niti nin ulah,                                                                                                      rin wyawahara tan hana khasinhin in hati sapoh nin agama tinut,                                                                                            tan dadi paksapata yat aweh wibhuti saniruktya rin jama kabeh,                                                                                              kirtti ginonniran wruh in anagatadi tuhu dewamurtti sakala.                                                                                                      (Pigeaud, 1960:57)
  2. Dalam kitab Manawadharmasastra, astadasawyawahara meliputi: (1) perkara utang piutang, (2) deposito dan perjanjian, (3) penjualan barang-barang tidak bertuan, (4) perikatan antara firman, (5) pelaksanaan hibah, (6) membayar upah, (7) tidak (8) pembagian hasil dan jual beli, (9) perselisihan antara pemilik (hewan) dan buruhnya, (10) perselisihan mengenai perbatasan, (11) ancaman dengan kekerasan, (12) penghinaan, (13) pencurian/kekerasan, (14) perampokan, (15) perzinahan, (16) kewajiban-kewajiban suami istri, (17) pembagian warisan, dan (18) perjudian dan pertaruhan (Pudja dan Sudarta Tjokorda Rai, 1977/1978:417-418), sedangkan dalam naskah perundang-undangan Agama dan Kutaramanawa terdiri dari (1) astadusta, (2) hamba, (3) astacorah, (4) sahasa, (5) jual beli, (6) gadai, (7) utang piutang, (8) titipan, (9) tukon, (10) perkawinan, (11) paradara, (12) warisan, (13) parusya, (14) dandapurusya, (15) kelalaian, (16) perkelahian, (17) tanah, dan (18) fitnah/kebohongan (Slametmulyana, 1967).
  3. Naskah perundang-undangan Agama ditemukan di Bali dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno. Naskah ini pertama kali diterbitkan oleh J.C.G. Jonker sebagai disertasinya pada tahun 1885, sedangkan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia telah dilakukan oleh Slametmulyana pada tahun 1967. Naskah Sarasamuccaya telah diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia pada tahun 1979 berupa alih aksara, terjemahan, dan komentar. Naskah ini pun ditemukan di Bali dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno.
  4. Lihat: G. Pudja MA dan Sudarta Tjokorda Rai Sudarta MA, Manawa Dharmasastra, 1977/1978, hal 554.
  5. Baik prasasti Bendosari/Manah i Manuk maupun prasasti Parun tidak berangka tahun. Prasasti Bendosari/Manah i Manuk hanya ditemukan lima lempeng, yang merupakan lempeng ke-2, 3, 4, 5, dan 6. Huruf dan bahasanya adalah Jawa Kuno. Di dalam prasasti ini disebutkan nama Raja Hayam Wuruk, dengan demikian, dapat diperkirakan prasasti Bendosari/Manah i Manuk berasal dari zaman Majapahit. Prasasti Parun hanya ditemukan dua lempeng. Huruf dan bahasanya Jawa Kuno. Karena ada bagian-bagian yang sama benar formulasinya dengan prasasti Bendosari/Manah i Manuk, maka prasasti Parun pun diperkirakan berasal dari zaman Majapahit.
  6. Tanda rakryan pakirankiran merupakan sekelompok pejabat tinggi yang merupakan 'Dewan Menteri' dan berfungsi sebagai 'Badan Pelaksana Pemerintah'. Badan ini biasanya terdiri dari lima orang pejabat, yaitu: Rakryan Mapatih atau Patih Hamengkubhumi, Rakryan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga, dan Rakryan Kanuruhan (Soemadio, 1976:277). 
  7. Pragwikaka adalah pendeta yang sempurna pengetahuannya akan semua kitab-kitab sastra, terutama kitab Dharmasastra, Kutaramanawa, Sarasamuccaya, Canyaka, Kamandaka (van Naerssen, 1941:359).
Oleh Titi Surti Nastiti
Baca Selanjutnya ..

Ratu Kedaton Menjadi Pemimpin Pemberontak

Zaman baheula pemberontakan selalu dimulai dari perjuangan untuk kepentingan pribadi. Yang menarik dari cerita ini ialah bahwa pencetus ide dan pengatur siasat serta pemimpin pelaksananya adalah seorang wanita, Ratu Kedaton, putri Surya Ing Alaga.

       KETIKA Sultan Hamengkubuwana V wafat tanggal 4 Juni 1855, ia meninggalkan permaisurinya, Ratu Kedaton, dalam keadaan hamil tua. Ketika kemudian ia melahirkan seorang putra pada tanggal 17 Juni 1855 dan diberi nama R.M. Muhammad, para pangeran yang sudah lebih senior mulai melakukan intrik, sehingga menimbulkan dua isu pokok, yaitu bahwa seorang putra raja yang lahir "secara anumerta" menurut adat Jawa tidak berhak atas tahta, dan bahwa sebenarnya ayah dari si anak yang baru lahir itu, masih diragukan. Pemerintah Hindia Belanda sendiri kemudian hanya mengangkat putra yang baru lahir itu sebagai Pangeran Suryenglaga dan menunjuk adik sultan yang baru wafat menjadi Sultan Hamengkubuwana VI (1855-1877).

Kurang Cerdas
       Kejanggalan dalam cara pengangkatan dan penggantian sultan ini menyebabkan timbulnya berbagai reaksi menentang. Salah satu di antaranya adalah persekutuan yang timbul di daerah Klaten pada tahun 1864. Gerakan mereka bertujuan menghancurkan Keraton Yogyakarta dan Surakarta sekaligus, dan memindahkan pusat pemerintahan ke daerah Prambanan, serta mencalonkan Pangeran Suryengalaga sebagai raja. Tergerak oleh adanya gerakan yang mencalonkan putranya menjadi raja ini, meskpun akhirnya gerakan tadi dapat ditumpas, mulailah Ratu Kedaton melakkan usaha-usaha yang bertujuan menghimpun kekuatan untuk menjadikan putranya sebagai pengganti raja.
      Namun figur Suryengalaga sendiri tidak membantu ke arah tercapainya tujuan tersebut. Baik sumber tradisional maupun laporan pihak Belanda menyatakan bahwa sang pangeran ini berperawakan gemuk pendek, lamban, tidak lincah, kurang cerdas, dan kurang bersemangat, sehingga ia dikategorikan sebagai tokoh yang lemah dalam segala hal. Tidaklah mengherankan bila pada tahun 1872 pemerintah Hindia Belanda menunjuk putra Sultan Hamengkubuwana VI sebagai putra mahkota dan yang kemudian naik tahta sebagai Sultan Hamengkubuwana VII pada tahun 1877. Meskipun demikian Ratu Kedaton tidak berputus asa dan mulailah ia mengadakan pesekutuan dengan beberapa pihak di kalangan istana.

Karena madunya semakin menanjak
       Orang pertama yang diajaknya bersekutu adalah Ratu Kencana, istri pertama Sultan Hamengkubuwana VII. Tokoh ini memang agak tersingkirkan gara-gara ia belum juga mampu memberi putra yang diharapkan akan menjadi pengganti raja kelak, kecuali dua orang putri. Kecuali itu juga karena sultan lalu mengambil istri kedua, yang namanya semakin menanjak, karena berhasil memberi seorang putra. Ratu Kencana juga dihadapkan masalah keuangan yang serius, yang diharapkannya akan dapat teratasi dengan persekutuannya dengan Ratu Kedaton. Sumber-sumber Belanda menyebutkan bahwa Ratu Kencana ini memiliki banyak hutang yang terakumulasi semenjak ia masih remaja. Sebab, tidak sebagaimana layaknya putri bangsawan pada masa itu, semenjak remaja ia sudah banyak bergaul dengan kalangan orang Eropa dan turut pula dalam perkumpulan-perkumpulan mereka, sehingga memiliki sifat boros. Sebaliknya, Ratu Kedaton adalah seorang tokoh yang kaya raya, baik dalam bentuk uang, tanah maupun perhiasan.

                                                      Sultan Hamengkubuwana VI

      Pada tahun 1880 kedua tokoh tadi mengikat perjanjian yang intinya adalah bahwa kelak Pangeran Suryengalaga yang akan menjadi raja dengan permaisurinya salah seorang putri Ratu Kencana. Sebagai ibu dan ibu mertua raja, kelak mereka akan dapat mempergunakan kelemahan Suryengalaga dalam pemerintahan, sehingga segala kebijakan akan dapat mereka atur.

Dibantu orang-orang istana
       Namun cara resmi ini pun gagal, sebab pada tanggal 5 Maret 1883 putra Sultan Hamengkubuwana VII dari istri kedua yang baru berusia sepuluh tahun, R.M. Kadiat, diangkat sebagai putra mahkota. Keadaan inilah yang lalu memaksa Ratu Kedaton memilih jalan kekerasan, agar segala rencananya dapat berjalan sebagaimana yang diharapkannya. Untuk menempuh cara kekerasan sudah tentu diperlukan beberapa pihak lagi. Ada dua pihak yang kemudian dihubungi Ratu Kedataon. Yang pertama adalah mereka yang masih ada hubungan keluarga dengan dirinya, yaitu kakaknya sendiri, Tumenggung Sumadiningrat dan ipar anaknya, Tumenggung Gandakusuma. Namun seberapa jauh keterlibatan mereka berdua tidak pernah secara jelas terungkapkan.
       Yang menyokong gerakan ratu sepenuhnya adalah: Tarunaatmaja dan Suwindu (putra Sumadiningrat), tiga orang adik laki-laki ratu, yaitu R.M. Banteng, R.M. Sudigbyo, dan R.M. Mukaram. Selanjutnya sembilan orang dari kalangan istana yang juga membantu ratu adalah: R.M. Sumadilaga, R.M. Sumadipraja (cucu Sultan Hamengkubuwana II dan saudara sepupu ratu), R.M. Atmadilaga (mertua Pangeran Suryengalaga), R.M. Prawiramerjaya, Raden Kartareja, YUdapura, Sasramurcita, Den Bagus Sudiman, dan Raden Prawiraarja. Para bangsawan ini masih ditambah dengan sejumlah besar punggawa keraton serta pengawal yang berdiri sepenuhnya di belakang ratu.

Pernikahan Politis
       Selanjutnya, sebagaimana biasa dilakukan oleh para penggerak perlawanan di masa lampau, pihak kedua yangdihubungi ratu adalah tokoh-tokoh spiritual. Tokoh agama terpenting yang memeberikan dukungan sepenuhnya adalah Haji Istat, seorang ulama yang tinggal di Desa Wanakrama dekat Kali Opak, dekat Yogyakarta dan Imogiri. Ulama ini masih keturunan para Pangeran Kajoran, ulama besar yang amat disegani dan amat menentukan jalannya sejarah Mataram. Sebagaimana diketahui, salah seorang keluarga Kajoran, yaitu Panembahan Rama, adalah mertua Trunajaya yang berhasil menghancurkan ibukota Mataram pada tahun 1677. Begitu pula dengan pemberontakan Untung Surapati; ia amat berhasil karena adanya bantuan dan dukungan dari Patih Nrangkusuma, yang juga masih keluarga Kajoran. Cara yang ditempuh ratu adalah dengan mengikat tali perkawinan antar mereka. R.M. Atmaraja, adik ratu, dikawinkan dengan putri Haji Istat; sementara putra Haji Istat, Haji Umar, dikawinkan dengan adik perempuan R.M. Atmaraja.
       Setelah segalanya dirasa cukup, mulailah Ratu Kedaton menyusun siasat. Semula ia bermaksud mengirimkan petisi pada pihak Belanda yang menyatakan ketidaksetujuannya atas pengangkatan R.M. Kadiat sebagai putra mahkota. Namun ia segera sadar bahwa cara demikian itu tidak akan pernah berhasil. Karena itulah ratu beserta segenap pengikutnya berniat meninggalkan keraton. Ia sadar sepenuhnya bahwa tindakan demikian itu berarti pemberontakan. Namun tekadnya sudah bulat. Ia akan menyingkir ke distri Remame, yang terletak di daerah Magelang. Sejak zaman Mataram awal daerah ini diperintah oleh seorang bupati. Ketika Mataram kemudian pecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta, distrik Remame masuk wilayah Yogyakarta dan bupatinya menjadi menantu Sultan Hamengkubuwana I. Meskipun ketika Inggris berkuasa di Indonesia, Raffles mencaplok daerah Remame dan memasukkannya ke wilayah Magelang, namun keturunan para bupatinya masih banyak yang berkuasa sebagai kepala desa di daerah tersebut. Dari mereka inilah ratu berharap akan memperoleh dukungan dan bantuan kekuatan.

Dikepung Belanda dan Bupati Sleman
       Hari Senin, tanggal 2 April 1883 Ratu Kedaton mengirim instruksi pada segenap pengikutnya, agar mereka bersiap-siap untuk berangkat meninggalkan istana seminggu kemudian. Namun pada pagi buta tanggal 5 April 1883 kemenakan ratu, Tarunaatmaja, datang melapor bahwa ayahnya (yaitu Sumadiningrat, yang juga kakak ratu sendiri) mengetahui sepenuhnya rencana ratu dan melarang putranya turut melibatkan diri dalam gerakan tersebut. Ratu segera menyadari bahwa rencananya sudah bocor dan mungkin kakaknya itu akan melapor pada pihak Belanda. Karena itu ratu memutuskan bahwa pelariannya akan dilakukan pagi itu juga. Ia mengirim Tarunaatmaja kembali pada ayahnya dengan pesan bahwa ratu akan datang keesokan harinya guna membahas masalah itu. Perhitungan ratu, andaikata memang Sumadiningrat akan melapor pada Belanda, hal itu baru akan dilakukannya keesokan harinya, setelah Tarunaatmaja menghadap. Sementara itu ratu beserta segenap pengikutnya sudah berada jauh dari ibukota.
      Pagi hari tanggal 5 April 1883, tiga buah kereta kuda meninggalkan kota Yogyakarta menuju arah utara. Salah satu di antara kereta-kereta itu berisi Ratu Kedaton dan sebuah lagi ditumpangi Pangeran Suryengalaga. Kereta-kereta dipacu sekencang-kencangnya. Sesampai di dekat Sungai Winanga, rombongan bergabung dengan sejumlah pasukan bersenjata yang sudah menanti. Setelah kuda-kuda kereta diganti, rombongan yang bertambah besar itu bergerak pula ke arah Magelang. Sementara itu, tanpa diketahui oleh ratu, sejumlah 25 orang sedadu Belanda di bawah Letnan Kohn menyusul dan membututi rombongan terdahulu. Selain itu juga bupati Sleman, Suryanagara, dengan pasukannya mencegat rombongan ratu diperbatasan kabupaten. Ketika ketiga pasukan bertemu, pertempuran tak terelakkan lagi, sebab jalan maju dan mundur ratu tertutup. Namun dalam pertempuran kacau yang terjadi, ratu beserta sejumlah anggota pasukan berhasil meloloskan diri, walaupun harus meninggalkan perbekalan serta persenjataan; sedangkan di pihak Belanda dua orang sedadu tewas dan enam lainnya luka-luka. Pihak Belanda, yang semula terlampau menganggap ringan kekuatan lawan, segera mengirimkan tambahan bala bantuan dari Yogyakarta, ditambah dengan pasukan residen Kedu, yang dikerahkan dari arah utara untuk mengepung.

Di Kaki Gunung Merapi
       Keesokan harinya, 6 April 1883, Ratu Kedaton beserta para pengawalnya dapat dikepung di Desa Balerante, di kaki selatan Gunung Merapi. Namun keesokan harinya lagi, Ratu Kedaton yang telah berusia mendekati lima puluh tahun itu berikut sejumlah pengawal pribadi berhasil menembus kepungan dengan menuruni tebing sngai yang curam, menyeberangi Sungai Krasak dan tiba di Desa Sempon di distrik Remame, kira-kira sebelah timur Salam sekarang. Sedangkan Pangeran Suryengalaga dapat ditawan Belanda. Di Desa Sempon inilah Ratu Kedaton baru sadar bahwa selain jalan mundur terhalang oleh jurang dan sungai yang baru diseberangi, di seberang sungai juga menghadang pasukan Letnan Kohn, juga di hadapan mereka sudah menanti pasukan residen Kedu. Ratu Kedaton terpaksa menyerah dan keesokan harinya, 8 April 1883, rombongan ratu dan pangeran dikawal kembali menuju Yogyakarta.
      Tindakan Belanda selanjutnya adalah menyerbu Desa Wanakrama, namun Haji Istat dan putranya, Haji Umar, dapat meloloskan diri dari kepungan. Beserta sejumlah besar pengikutnya, mereka menyingkir ke Karang Semut, di tepi Kali Opak, sebelah selatan Yogyakarta. Pihak Belanda terus melakukan pengejaran. Dari Karang Semut, Haji Istat dapat pula mendobrak kepungan dan dengan jalan melingkar ia dapat menyingkir ke Desa Kembang Arum di utara, di kaki Gunung Merapi. Namun karena usianya yang sudah lanjut, Haji Istat akhirnya menyerah juga, setelah lebih dari dua minggu dikejar-kejar pasukan Belanda. Sedangkan Haji Umar beserta pengikutnya masih terus menyingkir ke daerah Bagelen.

Tertangkap Basah
       Segera setelah semua pihak yang terlibat dalam persekutuan Ratu Kedaton ditangkap, diadakan pemeriksaan dan interogasi secara maraton. Dari beria acara pemeriksaan serta laporan-laporan yang dibuat residen Yogyakarta, J. van Baak, dapatlah diketahui rentetan kejadian yang sebagian episodenya diuraikan di atas. Pihak keraton sendiri kemudian menulis kitab Babad Suryenggalan, yang mengisahkan secara terperinci jalannya peristiwa pemberontakan. Dari pemeriksaan itu pula baru terungkap bahwa sebenarnya pihak keraton dan Belanda sudah mengetahui rencana Ratu Kedaton untuk meninggalkan istana tanggal 3 April 1883. Namun baik pihak keraton maupun Belanda telah sepakat untuk membiarkan ratu dan para pengikutnya memulai gerakan mereka, sehingga mereka benar-benar "tertangkap basah". Dari interogasi yang dilakukan secara maraton dapat diketahui semua pihak yang terlibat. Hukuman yang dijatuhkan pada mereka bermacam-macam. Haji Istat yang menyerah dibawa kembali ke desa asalnya, Wanakrama. Di sini terjadi sedikit insiden dengan para pengawal yang menangkapnya. Pertempuran kecil terjadi lagi dan dalam peristiwa itu Haji Istat terbunuh. Haji Umar yang menyingkir ke daerah Bagelen, baru dapat ditangkap pada tahun 1887 dan ia pun dijatuhi hukuman mati. Ratu Kedaton dan Pangeran Suryengalaga dibuang ke Manado. Sementara itu para pemimpin gerakan lainnya ada yang diasingkan ke Bengkulu dan ada juga yang ke Pulau Banda.

A.S. Wibowo, Intisari Mei 1983    Baca Selanjutnya ..

PARARATON: Penafsiran Baru

PARARATON REVISITED
Suatu Penafsiran Baru Mengenai
Keluarga Raja-Raja Majapahit



SEJAK akhir abad ke-19, setelah penemuan naskah Pararaton yang menguraikan keluarga raja-raja Majapahit, para ahli sejarah mulai menyusun sejarah kerajaan Hindu terbesar di Jawa itu secara ilmiah, sebab data Pararaton ternyata banyak yang sesuai dengan prasasti-prasasti dari zaman Majapahit. Sayangnya, uraian Pararaton mengenai keluarga raja-raja Majapahit sering terlampau singkat, kurang lengkap, dan kadang-kadang membingungkan, sehingga para ilmuwan harus jeli dalam membaca dan menafsirkannya. Itulah sebabnya sampai awal abad ke-21 sekarang rekonstruksi sejarah Majapahit belumlah tuntas. Tulisan ini khusus membahas hubungan kekeluargaan dinasti Majapahit dan diharapkan dapat menjembatani perbedaan penafsiran naskah Pararaton di kalangan para ahli sejarah.

Terlebih dahulu kita catat daftar raja-raja Majapahit. Raja pertama, Kertarajasa Jayawardhana Dyah Sanggramawijaya yang dikenal dengan Raden Wijaya (1294–1309), digantikan putranya, Jayanagara Raden Kalagemet (1309-1328). Jayanagara digantikan adik wanitanya, Tribhuwana Wijayottunggadewi Dyah Gitarja (1328–1350). Lalu tahta kerajaan diwarisi putra Tribhuwana, Rajasanagara Dyah Hayam Wuruk (1350–1389). Hayam Wuruk digantikan keponakan dan menantunya, Wikramawardhana Hyang Wisesa (1389–1429). Setelah itu naik tahta putri Wikramawardhana, Prabhu Stri Dyah Suhita (1429–1447). Selanjutnya Suhita digantikan adiknya, Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya (1447–1451). Kemudian tahta Majapahit secara berturut-turut diwarisi oleh tiga orang putra Kertawijaya: Rajasawardhana Dyah Wijayakumara Sang Sinagara (1451–1453); Girisawardhana Dyah Suryawikrama Hyang Purwawisesa (1456–1466); serta Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa (1466–1478).

Majapahit tiga kali mengalami pertikaian tahta di antara keluarga kerajaan. Pertikaian pertama berlangsung 30 tahun (1376–1406) ketika kadaton wetan memisahkan diri dari pusat pemerintahan. Pertikaian kedua terjadi pada tahun 1453-1456 sehingga Majapahit tidak mempunyai raja selama tiga tahun. Pertikaian terakhir tahun 1468–1478 menyebabkan keruntuhan Majapahit.

Penafsiran data Pararaton harus didasari pemahaman terhadap konsep kosmogoni Siwa-Buddha yang menganggap suatu kerajaan sebagai perwujudan Gunung Mahameru tempat kediaman Bhatara Indra. Itulah sebabnya keluarga Majapahit menamakan diri mereka Girindrawangsa, dan berabad-abad sebelumnya keluarga Sriwijaya juga mengklaim sebagai Sailendrawangsa, yang sama-sama berarti ‘Keluarga Gunung Indra’.

Pusat kerajaan Majapahit (di sekitar Mojokerto sekarang) dikelilingi daerah-daerah bawahan (mandala-mandala) yang meliputi delapan penjuru (lokapala), yaitu Kahuripan, Tumapel, Paguhan, Wengker, Daha, Lasem, Pajang, dan Kabalan. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Dr. Boechari, “While the kingdom is compared with Mount Meru and Indra’s heaven, the king is thought to be Indra on earth, and that the eight Lokapala are incorporated in his nature” (MIISI, V/1, 1973). Dua mandala utama, yaitu Kahuripan (Janggala, Jiwana) dan Daha (Kadiri, Panjalu), merupakan poros yang menyangga kestabilan sistem, dan hal ini sudah dibakukan sejak zaman raja Airlangga pada abad ke-11. Itulah sebabnya kombinasi wilwatikta-janggala-kadiri (Majapahit-Kahuripan-Daha) banyak dijumpai dalam prasasti-prasasti.

Sebagai kepala pemerintahan, raja atau ratu Majapahit bergelar Bhatara Prabhu (Bhre Prabhu) atau Sri Maharaja. Para anggota keluarga kerajaan diberi gelar Bhatara (Bhre) dari mandala tertentu, misalnya Bhre Kahuripan, Bhre Daha, Bhre Tumapel, dan sebagainya. (Gelar apanage semacam ini masih berlaku di Kerajaan Inggris: suami Ratu Elizabeth diberi gelar Duke of Edinburgh, sedangkan putra mereka bergelar Prince of Wales.) Sesuai dengan keseimbangan gender, gelar Bhre Tumapel, Bhre Paguhan dan Bhre Wengker dijabat oleh pria, sedangkan gelar Bhre Lasem, Bhre Pajang dan Bhre Kabalan jatah untuk wanita. Adapun gelar Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, sebagai daerah poros (axis region), boleh disandang pria atau wanita asalkan hubungan kerabatnya dekat dengan sang prabhu. Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Bertram Johannes Otto Schrieke, “Kahuripan and Daha were the regions assigned to the most highly placed members of the royal family” (Ruler and Realm in Early Java, 1957). Jika anggota keluarga kerajaan cukup banyak, mandala diperluas menurut kebutuhan, misalnya Bhre Mataram, Bhre Matahun, Bhre Wirabhumi, dan sebagainya.


PERIODE AWAL MAJAPAHIT (1294–1375)

Kertarajasa, yang naik tahta tahun 1294, beristri empat putri Kertanagara (raja terakhir Singasari), yaitu Tribhuwaneswari, Mahadewi, Jayendradewi, Rajapatni Gayatri. Kertarajasa juga beristri Dara Petak Sri Indreswari, putri dari Malayu. Dari Gayatri, Kertarajasa memperoleh dua putri: Bhre Kahuripan(I) Tribhuwana Wijayottunggadewi Dyah Gitarja dan Rajadewi Maharajasa Dyah Wiyat. Putri-putri Kertanagara yang lain tidak berketurunan. Dari Dara Petak, Kertarajasa berputra Bhre Daha(I) Jayanagara Raden Kalagemet, yang diakui sebagai putra permaisuri Tribhuwaneswari. Setelah Kertarajasa wafat tahun 1309, Jayanagara menjadi raja Majapahit, dan gelar Bhre Daha(II) disandang oleh Rajadewi.

Ketika Jayanagara wafat tanpa keturunan tahun 1328, Tribhuwana menjadi ratu Majapahit. Dia bersuami Bhre Tumapel(I) Kertawardhana Raden Cakradhara, dan memperoleh sepasang putra-putri: Bhre Kahuripan(II) Rajasanagara Dyah Hayam Wuruk dan Bhre Pajang(I) Rajasaduhiteswari Dyah Nartaja. Kertawardhana dari selir juga berputra Raden Sotor. Adapun Bhre Daha(II) Rajadewi bersuami Bhre Wengker(I) Wijayarajasa Raden Kudamerta, dan memperoleh putri Bhre Lasem(I) Rajasaduhita Indudewi. Wijayarajasa dari selir juga berputri Sri Sudewi Padukasori.

Pada tahun 1350 Hayam Wuruk menggantikan sang ibunda di atas tahta Majapahit, dan Tribhuwana kembali bergelar Bhre Kahuripan(I). Hayam Wuruk menikahi Sri Sudewi, dan berputri Bhre Kabalan(I) Kusumawardhani. Dari selir, Hayam Wuruk memperoleh seorang putra yang tidak jelas namanya. Bhre Pajang(I) Dyah Nartaja bersuami Bhre Paguhan(I) Singawardhana Raden Sumana, memperoleh satu putra dan dua putri: Bhre Mataram(I) Wikramawardhana, Bhre Wirabhumi(I) Nagarawardhani, dan Bhre Pawanawan Surawardhani atau Rajasawardhani. Adapun Bhre Lasem(I) Indudewi bersuami Bhre Matahun(I) Rajasawardhana Raden Larang. Oleh karena pasangan ini tidak berketurunan, mereka mengadopsi putra Hayam Wuruk dari selir.

Kemudian terjadilah pernikahan antar sepupu: Kusumawardhani bersuami Wikramawardhana; Nagarawardhani bersuami putra Hayam Wuruk dari selir; dan Surawardhani bersuami Bhre Pandansalas(I) Ranamanggala Raden Sumirat, putra Raden Sotor. Setelah Bhre Daha(II) Rajadewi dan Bhre Kahuripan(I) Tribhuwana wafat antara tahun 1372 dan 1375, terjadilah rotasi gelar: Indudewi menjadi Bhre Daha(III); Nagarawardhani menjadi Bhre Lasem(II), dan suaminya menyandang gelar Bhre Wirabhumi(II). Gelar Bhre Kahuripan(III) paling layak diwarisi putra mahkota Wikramawardhana, meskipun hal ini tidak disebutkan dalam Pararaton.

Wikramawardhana dan Kusumawardhani memperoleh tiga putra dan satu putri: putra sulung Bhre Mataram(II) Rajasakusuma yang mewarisi gelar ayahnya, putra kedua yang tidak jelas namanya, putri Suhita, dan putra bungsu Kertawijaya. Ranamanggala dan Surawardhani memperoleh satu putra dan dua putri: Ratnapangkaja yang menjadi suami Suhita, putri sulung yang menjadi istri putra kedua Wikramawardhana, dan putri bungsu Jayeswari yang menjadi istri Kertawijaya. Bhre Wirabhumi(II) dan Nagarawardhani memperoleh putra Bhre Pakembangan yang wafat dalam ‘perburuan’ (ketika berburu di hutan ataukah ketika menjadi buronan politik?) serta tiga orang putri.

PERIODE KADATON WETAN (1376–1406)

Pertikaian tahta mulai terjadi ketika muncul kerajaan separatis yang dalam Pararaton disebut kadaton wetan (istana timur), untuk membedakannya dari kerajaan Majapahit yang disebut kadaton kulon (istana barat). Hal ini diungkapkan oleh Pararaton dengan kalimat tumuli hana gunung anyar i saka 1298 (“lalu terjadi gunung baru pada 1298 Saka = 1376 Masehi”). Oleh karena ‘gunung’ melambangkan tahta kekuasaan, informasi ini mengisyaratkan munculnya kerajaan baru.

Kerajaan tandingan ini tercatat dalam kronik Cina Ming-shih (Sejarah Dinasti Ming). Kronik Ming-shih menerangkan dua rombongan utusan dari Jawa tahun 1377, yang diterjemahkan Willem Pieter Groeneveldt sebagai berikut: “In this country there is a western and an eastern king. The latter is called Wu-lao-wang-chieh and the former Wu-lao-po-wu. Both of them sent envoys with tribute”. Para ahli sejarah tidak sulit mengenali tokoh kerajaan barat, Wu-lao-po-wu, sebagai ‘Bhatara Prabhu’, yaitu raja Hayam Wuruk. Akan tetapi baru pada tahun 1964 Prof. George Coedes mampu mengidentifikasi tokoh kerajaan timur, Wu-lao-wang-chieh, sebagai ‘Bhatara Wengker’.

Bhre Wengker pada zaman Hayam Wuruk adalah Wijayarajasa, suami Rajadewi bibi Hayam Wuruk. Wijayarajasa juga mertua Hayam Wuruk sebab merupakan ayah dari permaisuri Sri Sudewi. Dari kitab Nagarakretagama yang ditulis pujangga Prapanca tahun 1365 kita memperoleh gambaran bahwa Wijayarajasa memang mempunyai ambisi untuk berkuasa. Setelah Patih Gajah Mada wafat tahun 1364, lalu disusul oleh wafatnya Tribhuwana dan Rajadewi antara 1372 dan 1375, Wijayarajasa mewujudkan ambisinya sebab tokoh-tokoh yang diseganinya tidak ada lagi. Pada tahun 1376 dia memproklamasikan kadaton wetan yang lepas dari Majapahit. Tahun berikutnya Majapahit dan kadaton wetan sama-sama mengirimkan utusan kepada Dinasti Ming di Cina.


Di manakah letak kadaton wetan? Menurut Pararaton dan prasasti Biluluk, Wijayarajasa bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan (Yang Dipertuan di Pamotan). Oleh karena kata muwat bersinonim dengan nanggung, maka Pamotan (Pamuwatan) barangkali adalah Gunung Penanggungan di sebelah timur Mojokerto sekarang. Wijayarajasa agaknya sengaja memilih tempat itu menjadi pusat kerajaan sebagai pembenaran tindakan separatisnya. Daerah Penanggungan atau Pamotan merupakan tempat suci raja Airlangga, sehingga Wijayarajasa kiranya ingin menunjukkan bahwa pembentukan negara baru itu mengikuti tradisi Airlangga yang pernah membagi dua kerajaannya.



                            Saifullah Jusuf memerankan Wikramawardhana dalam sebuah film


Adanya kadaton wetan menyebabkan keluarga Majapahit pecah menjadi dua kelompok. Sebagian besar tetap setia kepada Hayam Wuruk. Akan tetapi mereka yang berkerabat dengan Wijayarajasa terpaksa hijrah memihak kadaton wetan, yaitu Bhre Daha(III) Indudewi dengan suaminya Bhre Matahun(I) Raden Larang, dan anak angkat mereka Bhre Wirabhumi(II) dengan istrinya Bhre Lasem(II) Nagarawardhani, serta tiga orang putri Bhre Wirabhumi(II). Hayam Wuruk segan bertindak tegas menghadapi negara separatis itu sebab Wijayarajasa adalah mertuanya, Indudewi adalah sepupunya, dan Bhre Wirabhumi(II) adalah putranya dari selir. Selagi tokoh-tokoh senior masih hidup, kadaton kulon dan kadaton wetan saling menenggang rasa sehingga konfrontasi terbuka dapat dihindari.



Akan tetapi keadaan seperti itu tidaklah dapat dipertahankan setelah para tokoh senior meninggal dunia. Pada tahun 1386 Kertawardhana (ayah Hayam Wuruk) wafat. Dua tahun berikutnya, 1388, wafat pula secara berturut-turut permaisuri Sri Sudewi, Dyah Nartaja (adik Hayam Wuruk) dan suaminya Raden Sumana. Dua tokoh kadaton wetan, Raden Larang dan Wijayarajasa sendiri, juga wafat. Akhirnya mangkat pula raja Hayam Wuruk tahun 1389.

Wikramawardhana menjadi raja Majapahit dan kemudian dikenal dengan Hyang Wisesa, sedangkan tahta kadaton wetan diwarisi Bhre Wirabhumi(II). Gelar Bhre Kahuripan(IV) disandang Surawardhani, dan putra kedua Wikramawardhana digelari Bhre Tumapel(II). Suhita dan suaminya, Ratnapangkaja, kiranya menjadi Bhre Pajang(II) dan Bhre Paguhan(II). Wikramawardhana bertindak konfrontatif terhadap kadaton wetan dengan memberikan gelar Bhre Lasem (yang sedang disandang adiknya, Nagarawardhani) kepada permaisurinya, Kusumawardhani. Dalam Pararaton, Kusumawardhani disebut Bhre Lasem Yang Cantik (Sang Ahayu) dan Nagarawardhani disebut Bhre Lasem Yang Gemuk (Sang Alemu).

Putra mahkota Rajasakusuma wafat tahun 1399 dan bergelar anumerta Hyang Wekas ing Sukha. Tahun 1400 wafat pula Bhre Lasem(II) Nagarawardhani, Bhre Lasem(III) Kusumawardhani, Bhre Kahuripan(IV) Surawardhani, dan Bhre Pandansalas(I) Ranamanggala. Maka terjadilah regenerasi gelar bagi yang muda. Ratnapangkaja menjadi Bhre Kahuripan(V), dan adiknya, istri Bhre Tumapel(II), menjadi Bhre Lasem(IV). Gelar Bhre Pandansalas(II) disandang oleh Raden Jagulu, adik Ranamanggala. Dua orang putra Bhre Tumapel(II) dengan Bhre Lasem(IV) masing-masing diberi gelar Bhre Wengker(II) dan Bhre Paguhan(III). Satu-satunya tokoh senior yang masih hidup saat itu adalah Bhre Daha(III) Indudewi yang mendampingi anak angkatnya, Bhre Wirabhumi(II), di kadaton wetan.

Konfrontasi antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi(II) akhirnya menimbulkan Perang Paregreg tahun 1405–1406. Kadaton wetan mengalami kekalahan dengan gugurnya Bhre Wirabhumi(II), sehingga Majapahit utuh kembali setelah pecah 30 tahun. Untuk menghilangkan benih balas dendam, tiga putri Bhre Wirabhumi(II) masing-masing dinikahi oleh Wikramawardhana, Bhre Tumapel(II) putra Wikramawardhana dan Bhre Wengker(II) cucu Wikramawardhana. Ketiga putri itu berturut-turut diberi gelar Bhre Mataram(III), Bhre Lasem(V), dan Bhre Matahun(II). Sungguh suatu pernikahan yang sangat unik: tiga putri bersaudara bersuamikan orang-orang tiga generasi!


PERIODE PASCA PAREGREG (1406–1453)
Seusai Perang Paregreg, Bhre Daha(III) Indudewi diboyong pulang oleh Wikramawardhana ke Majapahit dan dihormati sebagai sesepuh. Saudara sepupu Hayam Wuruk ini wafat tahun 1415 bersama-sama Bhre Mataram(III) dan Bhre Matahun(II). Gelar Bhre Daha(IV) paling layak diwarisi oleh Suhita meskipun tidak disebutkan dalam Pararaton, dan adiknya, Kertawijaya, kiranya menjadi Bhre Mataram(IV). Istri Kertawijaya, Jayeswari, pantas menjadi Bhre Kabalan(II).

Bhre Tumapel(II) dan putranya, Bhre Wengker(II), wafat tahun 1427. Dua tahun kemudian, 1429, mangkat pula raja Wikramawardhana, dan Suhita menjadi ratu Majapahit. Kertawijaya menjadi Bhre Tumapel(III), sedangkan gelar Bhre Daha(V) diwarisi Jayeswari. Sekitar tahun 1430 wafat pula Bhre Lasem(IV), Bhre Lasem(V), dan Bhre Pandansalas(II). Oleh karena Suhita tidak berketurunan, maka yang mewarnai sejarah Majapahit selanjutnya adalah keturunan Bhre Tumapel(II) dan Bhre Tumapel(III) Kertawijaya.

Bhre Tumapel(II) dengan istrinya Bhre Lasem(V) mempunyai tiga putri dan satu putra: Bhre Jagaraga Wijayendudewi Dyah Wijayaduhita, Bhre Tanjungpura Manggalawardhani Dyah Suragharini, Bhre Pajang(III) Dyah Sureswari, dan putra bungsu Bhre Keling(I). Bhre Jagaraga dinikahi Ratnapangkaja, sedangkan Bhre Tanjungpura dan Bhre Pajang(III) menjadi istri Bhre Paguhan(III). Bhre Keling(I) beristri Bhre Kembangjenar Rajanandaneswari Dyah Sudharmini, putri Bhre Pandansalas(II) Raden Jagulu. Menurut Pararaton, semua pernikahan di atas tidak membuahkan keturunan.

Bhre Tumapel(III) Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya dengan istrinya Bhre Daha(V) Jayawardhani Dyah Jayeswari mempunyai tiga putra, yaitu Bhre Pamotan(I) Rajasawardhana Dyah Wijayakumara, Bhre Wengker(III) Girisawardhana Dyah Suryawikrama, dan Bhre Pandansalas(III) Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa. Setelah Bhre Paguhan(III) wafat tahun 1440, Rajasawardhana menikahi Bhre Tanjungpura Manggalawardhani. Girisawardhana beristri Bhre Kabalan(III) Mahamahisi Dyah Sawitri, putri Bhre Wengker(II) dengan Bhre Matahun(II). Suraprabhawa menikahi Bhre Singapura Rajasawardhanidewi Dyah Sripura, putri Bhre Paguhan(III) dari selir.

Bhre Kahuripan(V) dan Bhre Keling(I) wafat tahun 1446. Rajasawardhana menjadi Bhre Keling(II). Setelah ratu Suhita mangkat tahun 1447, Kertawijaya mewarisi tahta Majapahit, dan gelar Bhre Tumapel(IV) disandang Suraprabhawa. Rajasawardhana yang kini putra mahkota kembali bertukar gelar menjadi Bhre Kahuripan(VI) dan kelak dikenal dengan julukan Sang Sinagara. Daftar keluarga Majapahit pada masa Kertawijaya tercantum lengkap dalam prasasti Waringin Pitu tahun 1447.

Pararaton menyebutkan bahwa putra-putra Sang Sinagara ada empat orang. Dalam prasasti Waringin Pitu tercantum nama-nama putra pertama dan kedua, yaitu Bhre Matahun(III) Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya serta Bhre Keling(III) Girindrawardhana Dyah Wijayakarana. Putra ketiga dan keempat belum lahir pada tahun 1447. Menurut prasasti Waringin Pitu, Samarawijaya dan Wijayakarana sejak kecil dijodohkan masing-masing dengan Bhre Wirabhumi(III) Rajasawardhanendudewi Dyah Pureswari dan Bhre Kalinggapura Kamalawarnadewi Dyah Sudayita, putri-putri Bhre Wengker(III) Girisawardhana dengan Bhre Kabalan(III) Sawitri.

Bhre Kabalan(III) Sawitri dan Bhre Pajang(III) Sureswari wafat tahun 1450. Setahun kemudian mangkat pula raja Kertawijaya, dan Rajasawardhana naik tahta Majapahit tahun 1451. Gelar Bhre Kahuripan(VII) diwarisi putra mahkota Samarawijaya, sedangkan adiknya, Wijayakarana, menjadi Bhre Mataram(V). Kiranya saat itu putra ketiga dan keempat Rajasawardhana sudah lahir, yang masing-masing menyandang Bhre Pamotan(II) dan Bhre Kertabhumi. Nama-nama dua orang yang terakhir ini tercantum dalam prasasti Trailokyapuri, yaitu Singawardhana Dyah Wijayakusuma dan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.


PERIODE AKHIR MAJAPAHIT (1453–1478)
Ketika Rajasawardhana Sang Sinagara mangkat tahun 1453, terjadilah pertikaian tahta antara Bhre Kahuripan(VII) Samarawijaya dan Bhre Wengker(III) Girisawardhana. Kemelut paman dan keponakan ini menyebabkan Majapahit tiga tahun tidak mempunyai raja (telung tahun tan hana prabhu, kata Pararaton). Kevakuman tahta ini berakhir tahun 1456 tatkala Girisawardhana menjadi raja dengan gelar Hyang Purwawisesa. Kiranya Samarawijaya yang masih muda mengalah terhadap paman yang sekaligus mertuanya, dan rela menjadi putra mahkota untuk kedua kalinya. Peranan ibu suri Bhre Daha(V) Jayeswari tentu sangat besar dalam proses rekonsiliasi tersebut.

Bhre Daha(V) Jayeswari wafat tahun 1464, dan gelar Bhre Daha(VI) disandang Manggalawardhani. Ketika Bhre Jagaraga Wijayaduhita dan raja Girisawardhana wafat pula tahun 1466, sengketa kekuasaan muncul kembali.

Adik bungsu Sang Sinagara, Bhre Tumapel(IV) Suraprabhawa, ternyata berambisi juga menjadi raja. Dia menduduki tahta Majapahit. Sudah tentu para keponakannya sakit hati. Baru saja dua tahun Suraprabhawa bertahta (prabhu rong tahun), yaitu tahun 1468, keempat putra Sang Sinagara memperlihatkan sikap oposisi dengan ‘pergi dari istana’ (tumuli sah saking kadaton putranira sang sinagara), yaitu Bhre Kahuripan(VII) Samarawijaya, Bhre Mataram(V) Wijayakarana, Bhre Pamotan(II) Wijayakusuma, dan si bungsu Bhre Kertabhumi Ranawijaya. Mereka menyingkir ke Jinggan (antara Mojokerto dan Surabaya sekarang), menyusun kekuatan untuk merebut hak mereka atas tahta. Sejak itu Samarawijaya disebut Sang Munggwing Jinggan (Yang Berdiam di Jinggan).

Pada tahun 1478 Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya dan adik-adiknya memimpin pasukan dalam penyerbuan ke ibukota Majapahit, yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Hindu terbesar di Jawa itu. Pararaton menutup uraian sejarah Majapahit dengan kalimat kapernah paman, bhre prabhu sang mokta ring kadaton i saka 1400 (“paman mereka, sang raja, mangkat di istana tahun 1478”).

Ungkapan mokta ring kadaton (‘mangkat di istana’) mengisyaratkan bahwa Suraprabhawa mati terbunuh. Jika kematiannya wajar, tentu dipakai kalimat yang berbau surga, misalnya mokta ring wisnubhawana, mokta ring somyalaya, dan semacamnya. Raja Jayanagara yang terbunuh tahun 1328 diungkapkan Pararaton dengan istilah mokta ring pagulingan (‘mangkat di tempat tidur’). Kiranya Suraprabhawa bernasib serupa. Raja terakhir Majapahit ini gugur di istana ketika bertempur melawan para keponakannya.

Kemenangan putra-putra Sang Sinagara ternyata harus ditebus dengan ikut gugurnya Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya. Prasasti Petak menyebutkan kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit (“kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang naik-jatuh berperang melawan Majapahit”). Ungkapan ayun-ayunan (‘naik-jatuh’) berarti meraih kemenangan tetapi gugur dalam pertempuran (won the war but lost the battle).


KERAJAAN KELING DAN DAHA (1478–1527)
Sesudah Majapahit runtuh tahun 1478, tiga orang adik Sang Munggwing Jinggan, yaitu Wijayakarana, Wijayakusuma, dan Ranawijaya, mendirikan kerajaan baru di Keling (antara Mojokerto dan Kediri sekarang). Mereka bertiga secara berturut-turut menjadi raja dengan gelar Sri Maharaja Bhatara Keling. Mula-mula Girindrawardhana Dyah Wijayakarana bertahta (1478–1486), dan setelah wafat berjuluk Sang Mokta ring Amertawisesalaya. Dia digantikan oleh Singawardhana Dyah Wijayakusuma yang memerintah mungkin hanya beberapa bulan, lalu mendadak wafat dan berjuluk Sang Mokta ring Mahalayabhawana. Akhirnya Girindrawardhana Dyah Ranawijaya menjadi raja (1486–1527), yang dikenal sebagai Bhatara Wijaya atau Brawijaya.

Ranawijaya mengeluarkan prasasti Petak dan Trailokyapuri tahun 1486. Prasasti Petak menceritakan kemenangan Sang Munggwing Jinggan melawan Majapahit. Prasasti Trailokyapuri menguraikan upacara sradha mengenang 12 tahun wafatnya Bhatara Daha Sang Mokta ring Indranibhawana, ibunda Ranawijaya (janda Sang Sinagara), yaitu Bhre Daha(VI) Manggalawardhani Dyah Suragharini yang wafat tahun 1474.

Pada tahun 1513, pengembara Portugis bernama Tome Pires mengunjungi Jawa Timur. Dia berdiam di Malaka dari 1512 sampai 1515 dan menuliskan kisah perjalanannya dalam buku Suma Oriental (Catatan Dunia Timur). Tome Pires mengatakan bahwa raja Jawa saat itu adalah Batara Vigiaya, dan raja sebelumnya adalah Batara Mataram, yang menggantikan ayahnya, Batara Sinagara. Informasi ini diperoleh Tome Pires dari Pate Vira (Adipati Wira), penguasa Tuban yang beragama Islam tetapi sangat setia kepada Batara Vigiaya.

Uraian Tome Pires bahwa Batara Mataram menjadi raja menggantikan Batara Sinagara jelas tidak benar. Sang Sinagara wafat tahun 1453, sedangkan Bhre Mataram Wijayakarana naik tahta tahun 1478 setelah dia dan saudara-saudaranya meruntuhkan Majapahit. Tetapi uraian Tome Pires mudah kita pahami, sebab dia memperoleh informasi dari pihak Ranawijaya. Putra-putra Sang Sinagara tentu beranggapan bahwa paman-paman mereka, Girisawardhana dan Suraprabhawa, ‘kurang sah’ menjadi raja.

Tome Pires mengatakan Batara Vigiaya bertahta di Daha. Ini berarti antara tahun 1486 dan 1513 Ranawijaya memindahkan pusat kerajaan dari Keling ke Daha. Menurut Tome Pires, Batara Vigiaya hanyalah raja boneka, sebab kekuasaan diatur mertuanya, Guste Pate Amdura. Persahabatan Guste Pate dengan Portugis membuat marah Pate Rodin Senior, raja Demak yang merupakan musuh Portugis. Pate Rodin Senior mempunyai putra Rodin Junior dan mempunyai menantu Pate Unus yang pernah menyerang benteng Portugis di Malaka. Yang disebut Pate Rodin Senior, Pate Unus, dan Rodin Junior oleh Tome Pires tiada lain adalah sultan-sultan Demak: Raden Patah (1481–1518), Adipati Yunus (1518–1521), dan Raden Trenggana (1521–1546). Kesultanan Demak menaklukkan Daha tahun 1527 pada masa pemerintahan Trenggana, sehingga berakhirlah zaman kerajaan Hindu di Jawa Timur.


ISLAM DAN MAJAPAHIT

Masyarakat Islam sudah eksis di Jawa Timur sejak abad ke-11, dua abad sebelum berdirinya Majapahit. Di Leran, dekat Gresik, ditemukan nisan bertuliskan huruf Arab yang menerangkan wafatnya Fathimah (`Ashimah?) binti Maimun tanggal 7 Rajab 475 Hijri (2 Desember 1082). Beberapa istilah bahasa Arab sudah dipakai dalam Kakawin Ghatotkacasraya gubahan Mpu Panuluh, pujangga kerajaan Panjalu abad ke-12. Pemakaman kuno di Tralaya, lokasi bekas keraton Majapahit, dipenuhi batu nisan yang bertuliskan huruf Arab, dan ada yang dilengkapi kutipan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Tiga buah makam berasal dari zaman raja Hayam Wuruk, masing-masing bertarikh 1290, 1298 dan 1302 Saka (1368, 1376 dan 1380 Masehi). Hal ini merupakan bukti nyata bahwa agama Islam sudah dianut oleh sebagian penduduk ibukota Majapahit pada masa kerajaan Hindu itu mencapai kejayaannya.

Sebuah makam bertarikh 1370 Saka (1448) dikenal masyarakat sebagai makam Putri Cempa yang beragama Islam. Mungkin ini ucapan lidah Jawa untuk “Putri Jeumpa” yang menyatakan asal putri itu dari Aceh Serambi Mekkah. Menurut Babad Tanah Jawi, Putri Cempa adalah permaisuri Brawijaya. Istilah ‘Brawijaya’ (singkatan dari Bhatara Wijaya) harus kita cermati, sebab ada tujuh orang keluarga Majapahit yang namanya memakai kata wijaya, yaitu Sanggramawijaya (raja pertama), Kertawijaya (raja ke-7), Wijayakumara (Sang Sinagara, raja ke-8), serta putra-putra Sang Sinagara: Samarawijaya, Wijayakarana, Wijayakusuma, dan Ranawijaya. Jika cerita tentang Putri Cempa ini benar, barangkali dia adalah selir Kertawijaya (1447–1451), sebab sang permaisuri adalah Bhre Daha(V) Jayeswari.

Babad Tanah Jawi yang ditulis pada masa kesultanan Mataram menerangkan tujuh raja Majapahit yang bergelar Brawijaya, dan tahta Brawijaya terakhir diruntuhkan putranya sendiri, Raden Patah, adipati Demak yang beragama Islam. Mitos yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa itu jelas menyesatkan, sebab Majapahit runtuh tahun 1478 lantaran pertikaian sesama keluarga kerajaan itu sendiri. Justru kevakuman kekuasaan akibat runtuhnya Majapahit dimanfaatkan oleh Demak untuk tampil sebagai kesultanan Islam pertama di Jawa.

Kerajaan Hindu yang ditaklukkan oleh Demak bukanlah Majapahit, melainkan Kerajaan Daha, yaitu tahta Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (Brawijaya terakhir) yang tidak pernah menjadi raja Majapahit. Justru Majapahit runtuh oleh serangan Ranawijaya dan kakak-kakaknya. Dengan demikian, Babad Tanah Jawi ternyata mencampuradukkan dua fakta sejarah yang berlainan: (1) runtuhnya Majapahit tahun 1478 akibat serangan putra-putra Sang Sinagara, serta (2) runtuhnya tahta Brawijaya di Daha tahun 1527 akibat penaklukan oleh Demak.***


LAMPIRAN: BHATARA-BHATARA DI DAERAH MANDALA
BHRE KAHURIPAN
Tribhuwana 1309-1328, 1350-1375 Par.27:18,19; 29:32; Nag.2:2
Hayam Wuruk 1334-1350 Prasasti Tribhuwana
Wikramawardhana 1375-1389 Suma Oriental(?)
Surawardhani 1389-1400 Par.29:23,26; 30:37
Ratnapangkaja 1400-1446 Par.30:5,6; 31:35
Rajasawardhana 1447-1451 Par.32:11; Prasasti War.Pitu
Samarawijaya 1451-1478 Par.32:23

BHRE DAHA
Jayanagara 1295-1309 Nag.47:2; Prasasti Sukamerta
Rajadewi 1309-1375 Par.27:15; 29:31; Nag.4:1
Indudewi 1375-1415 Par.29:19; 31:10,21
Suhita 1415-1429 ?
Jayeswari 1429-1464 Par.30:8; 31:34; 32:18; War.Pitu
Manggalawardhani 1464-1474 Prasasti Trailokyapuri

BHRE TUMAPEL
Kertawardhana 1328-1386 Par.27:17; 29:34; 30:1; Nag.3:1
Abangnya Suhita 1389-1427 Par.30:3,7,11,12; 31:6,24
Kertawijaya 1429-1447 Par.30:4,8; 32:1
Suraprabhawa 1447-1466 Par.32:21; War.Pitu; Trawulan III

BHRE WENGKER
Wijayarajasa 1328-1388 Par.27:15; 30:19; Nag.4:2
Ayahnya Sawitri 1389-1427 Par.30:12,17; 31:25
Girisawardhana 1429-1456 Par.32:15; War.Pitu

BHRE LASEM
Indudewi 1350-1375 Par.27:23; Nag.5:1
Nagarawardhani 1375-1400 Par.29:22; 30:37
Kusumawardhani 1389-1400 Par.29:18,21; 30:36
Istri Bhre Tumapel(II) 1400-1430 Par.30:7; 31:31
Istri Bhre Tumapel(II) 1406-1430 Par.30:11; 31:31

BHRE PAJANG
Dyah Nartaja 1350-1388 Par.27:24; 29:20; 30:22; Nag.5:2
Suhita 1389-1415 ?
Sureswari 1429-1450 Par.30:15; 32:6; War.Pitu

BHRE PAGUHAN
Raden Sumana 1350-1388 Par.27:25; 30:23; Nag.6:2
Ratnapangkaja 1389-1400 ?
Ayahnya Sripura 1400-1440 Par.30:13-17; 32:4

BHRE KABALAN
Kusumawardhani 1358-1389 Nag.7:4
Jayeswari 1415-1429 ?
Sawitri 1429-1450 Par.30:17; 32:5;
War.Pitu; Trawulan III

BHRE MATARAM
Wikramawardhana 1353-1375 Nag.6:3
Rajasakusuma 1375-1399 ?
Putri Wirabhumi(II) 1406-1415 Par.30:10; 31:21
Kertawijaya 1415-1429 Suma Oriental(?)
Wijayakarana 1451-1478 Par.32:23

BHRE MATAHUN
Raden Larang 1350-1388 Par.27:24; 30:21; Nag.6:1
Ibunya Sawitri 1406-1415 Par.30:11,13; 31:21
Samarawijaya 1447-1451 War.Pitu; Trawulan III

BHRE WIRABHUMI
Nagarawardhani 1354-1375 Nag.6:3
Raja kadaton wetan 1375-1406 Par.29:19,23; 30:9; 31:3,11
Pureswari 1447- ……. War.Pitu

BHRE PANDANSALAS
Ranamanggala 1375-1400 Par.29:26; 30:5; 31:1
Raden Jagulu 1400-1430 Par.31:31
Suraprabhawa 1430-1447 Par.30:18; 32:21

BHRE KELING
Putra BhreTumapel(II) 1429-1446 Par.30:16; 31:36
Rajasawardhana 1446-1447 Par.32:11
Wijayakarana 1447-1451 War.Pitu

BHRE PAMOTAN
Rajasawardhana 1429-1446 Par.32:11
Wijayakusuma 1451-1478 Par.32:23

BHRE PAWANAWAN
Surawardhani 1355-1389 Nag.6:4

BHRE PAKEMBANGAN
Putra Bhre Wirabhumi(II) ? Par.30:9

BHRE JAGARAGA
Wijayaduhita 1429-1466 Par.30:13; 32:20; War.Pitu

BHRE TANJUNGPURA
Manggalawardhani 1429-1464 Par.30:14; War.Pitu

BHRE KEMBANGJENAR
Sudharmini 1429- ……. Par.30:16; War.Pitu

BHRE SINGAPURA
Sripura 1429- ……. Par.30:18; War.Pitu; Trawulan III

BHRE KALINGGAPURA
Sudayita 1447- ……. War.Pitu

BHRE KERTABHUMI
Ranawijaya 1451-1478 Par.32:24



PUSTAKA (disusun menurut tahun terbit) :

Jan Laurens Andries Brandes, “Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit”, bewerkt door Nicolaas Johannes Krom, Verhandelingen 62, Bataviaasch Genootschap, Batavia, 1920.

Paul Ravaisse, “L’inscription coufique de Leran a Java”, Tijdschrift 65, Bataviaasch Genootschap, Batavia, 1925.

Martha Adriana Muusses, “Singhawikramawarddhana”, Feestbundel 2, Bataviaasch Genootschap (150 jarig bestaan 1778–1928), Batavia, 1929.

Nicolaas Johannes Krom, Hindoe-Javaansche Geschiedenis, tweede herziene druk, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1931.

Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East, Volume 1-2, translated from Portuguese, The Hakluyt Society, London, 1944.

Louis-Charles Damais, “Etudes d’Epigraphie Indonesienne: III. Liste de principales inscriptions datees de l’Indonesie”, Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient, tome 46, Paris, 1952.

Louis-Charles Damais, “Etudes Javanaises: I. Les tombes musulmanes datees de Tralaya”, Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient, tome 48, Paris, 1957.

Bertram Johannes Otto Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Part Two: Ruler and Realm in Early Java, W. van Hoeve, The Hague & Bandung, 1957.

Willem Pieter Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, reprint, Bhratara, Djakarta, 1960.

Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, Java in the Fourteenth Century: A Study in Culture History: The Nagarakertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D., Volume 4, Martinus Nijhoff, The Hague, 1962.

Muhammad Yamin, Tatanegara Madjapahit, Parwa 1-2, Jajasan Prapantja, Djakarta, 1962.

George Coedes, The Indianized States of Southeast Asia, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1968.

Andries Teeuw et al, Siwaratrikalpa of Mpu Tanakung, Bibliotheca Indonesica 3, Martinus Nijhoff, The Hague, 1969.

Merle Calvin Ricklefs, “A Consideration of Three Versions of the Babad Tanah Djawi, with Excerpts on the Fall of Madjapahit”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Vol.35(2), London, 1972.

Boechari, “Epigraphic Evidence on Kingship in Ancient Java”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid V(1), Bhratara, Jakarta, 1973.

Jacobus Noorduyn, “The Eastern Kings in Majapahit”, Bijdragen 131, Koninklijk Instituut, Leiden, 1975.

Jacobus Noorduyn, “Majapahit in the Fifteenth Century”, Bijdragen 134, Koninklijk Instituut, Leiden, 1978.

Hasan Djafar, Girindrawarddhana: Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Yayasan Nalanda, Jakarta, 1978.

Slametmulyana, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Yayasan Idayu, Jakarta, 1983.

Nia Kurnia Sholihat, “Rekonstruksi Sejarah Majapahit”, Harian Umum Sinar Harapan, 13 Februari 1985. 


Oleh Nia Kurnia Sholihat Irfan
Baca Selanjutnya ..

About this blog

Aku memandang suka dan duka
Berganti-ganti di dalam hati

Apa gerangan masa di muka
Jadi bangsa yang kucinta ini
Adakah tanda megah kembali
(Sanusi Pane, Puspa Mega)

My Blog List

Consectetuer

Popular

Blogroll

Total Tayangan Halaman

About

Labels

Labels

Dari Mana

widget

Translate

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Labels

EDIT DESCRIPTION HERE

Followers

Search This Blog