Tokoh Bhima dalam Arkeologi Klasik

aywa lumampah yan turung wruh ing lampah,
aywa met-met yan tan wruh rasaning pinet,
aywa mangan yan turung wruh ing bojana,
awya nembah yan turung wruh ing sinembah.
Artinya:
Janganlah bepergian kalau belum mengetahui tujuannya,
Janganlah mencari kalau belum mengetahui apa yang akan dicari,
Janganlah makan kalau belum mengetahui apa yang engkau makan,
Janganlah menyembah kalau belum mengetahui kepada siapa dan apa artinya.
(Dr.R. Ng. Poerbatjaraka: Dewa Roetji, majalah Djawa tahun 1940, h. 21)

       Motto-motto tersebut merupakan sebagian wejangan Sang Dewaruci (Sang Jinaresi) kepada Bhima (Sang Wrekodara) setelah Bhima berhasil mengalahkan naga (bujaga) Nabanatwa dan bertemu dengan sang mahardikeng rat (Dewaruci). Setelah itu Dewaruci menyuruh Bhima (Bayusuta, Sang Ardanareswari) supaya masuk ke dalam perutnya (kinon amanjinga garba). Mula-mula Bhima merasa ragu-ragu apakah ia yang bertubuh besar bagaikan gunung (apan alo apangawak parwata) dapat masuk ke dalam perut Dewaruci yang hanya sebesar boneka dan kelihatan seperti anak kecil (satapel alit ing wayah). Tetapi setelah Dewaruci (Sang Hyang Buda Tatwaresi) menjawab: "Endi genging giri mwang lwaning buwana, sa-bubursah mandra kawet katon dengku" (Mana besar gunung dan luas dunia, seluruh alam semesta hanya kelihatan kecil bagiku, barulah Sang Baywatmaja masuk ke dalam perut Dewaruci melalui telinga kiri (karna keri). Bagaimana bunyi wejangan dan makna tafsir selanjutnya dapat dibaca di dalam kitab tersebut (Dewa Roetji) ditambah ceramah Ibu Sumarti Suprayitno dan beberapa buku atau karangan lainnya, seperti Nawaruci (Dr. Prijohoetomo), Fragmenten uit het boek Dewa Rutji (R.T. Wediodiningrat), The Book of Cabolek (Dr. S. Soebardi), dan Dewaruci Unio Mystica Bhima (Sutrisno Puspodikoro Drs. Chem). Penerbitan yang relatif lebih tua mengenai masalah Dewaruci yaitu dikeluarkan oleh penerbit Van Dorp Semarang tahun 1880 (oleh Mas Ngabehi Kramaprawira) dan penerbit Tan Khoen Swie Kediri tahun 1922 (oleh Mas Ngabehi Mangoenwidjaja).
       Tokoh Bhima memang dapat ditinjau dari bermacam-macam segi. lebih-lebih tanya jawab antara Bhima dan Dewaruci merupakan sumber kawruh kasampurnan (ilmu kesempurnaan) bagi orang Jawa. Sekarang ini Ibu Sumarti Suprayitno menguraikan tokoh Bhima dalam kaitannya dengan masyarakat sastra dan budaya Jawa. Uraian atau ceramah ini sangat menarik karena tokoh Bhima memang sudah dikenal sejak jaman dahulu, khususnya dalam sastra Jawa Kuno, baik di dalam wiracarita Mahabharata maupun di dalam cerita Nawaruci. Demikian pula ibu Sumaryati Suprayitno telah berhasil membanding cerita Bhima-Dewaruci dengan motif yang sama dalam Wanaparwa, saat Markandeya mengunjungi Pandawa di hutan dan memberi berbagai wejangan kepada mereka. Markandeya menceritakan pengalamannya ketika ia masuk ke dalam perut seorang anak kecil yang duduk di atas dahan pohon beringin dan kemudian mengeluarkannya melalui mulutnya dan menyatakan bahwa ia sebenarnya adalah dewa Narayana atau Wisnu. Di dalam perut anak kecil tersebut Markandeya dapat melihat seluruh alam semesta.
       Menanggapi makalah Ibu Sumarti Suprayitno saya akan mencoba mengupas secara singkat dari segi lain, yaitu masalah Bhima dalam arkeologi klasik. Jadi tanggapan ini hanya merupakan penambahan data belaka. Tetapi terlebih dahulu perlu saya jelaskan bahwa pada hakekatnya pemujaan (kultus) kepada tokoh Bhima pada jaman dahulu kerapkali sama atau identik dengan pemujaan kepada lingga. Mengenai masalah pemujaan kepada Bhima, Dr. W.F. Stutterheim telah menulis sebuah karanganyang sangat menarik berjudul Een oud-Javaansche Bhima-cultus (Djawa, 1935: 37-64). Seperti telah diketahui Bhima merupakan salah satu nama (eppitheta) dewa Siwa seperti disebut di dalam kitab Brahmandapurana. Demikian pula sudah diketahui bahwa lingga (phallus) adalah lambang dewa Siwa. Bagaimana awal terjadinya pemujaan lingga dewa Siwa (linggapuja) telah dijelaskan di dalam kitab Linggapurana. Demikian pula di dalam cerita Dewadarumahatmya dikatakan bahwa lingga dewa Siwa jatuh menghunjam ke dasar bumi karena kutuk (sapatha) seorang pendeta (rsi). Peristiwa ini terjadi karena dewa Siwa yang menyamar sebagai seorang pemuda tampan bertelanjang bulat menampakkan diri di dekat sebuah asrama putri yang mengakibatkan kekacauan di dalam asrama. Karena itu pendeta sakti pimpinan asrama tersebut mengutuk agar lingga pemuda tampan itu (dewa Siwa) jatuh masuk ke dasar bumi. Maka terjadilah gara-gara disertai gempa bumi yang hebat, sehingga para dewa lainnya memohon, agar dewa Siwa yang tidur di dasar bumi karena malu, berkenan memasang kembali lingganya dan gempa bumi lenyap. Dewa Siwa menyanggupinya asal semenjak saat itu umat manusia bersedia memuja atau menghormati lingganya.
       Cerita lain mengatakan bahwa lingga dewa Siwa yang jatuh kemudian ditampung oleh dewi Parwati yang merubah bentuk menjadi yoni. Selain itu perlu juga diketahui bahwa dewa Siwa dalam bentuknya yang demonis (krodhamurti), yaitu sebagai Siwa Bhairawa, juga digambarkan dengan tanda kelaki-lakiannya (lingga) yang jelas. Demikian pula tokoh Bhima selain diketahui dengan tanda pengenalnyayang khas berupa kuku pancanakha, gelung, gada, dan kain poleng, juga terkenal dengan tanda kelaminnya (phallus) yang digunakan untuk menggali (membuat) sungai Serayu.
       Selanjutnya kalau diteliti lebih seksama, kultus phalistik sudah berkembang sejak jaman prasejarah. Pada jaman kebudayaan batu besar (megalithikum) nenek moyang kita banyak menghasilkan benda-benda megalith, antara lain batu tegak (menhir) yang dipahat dengan gambar seorang laki-laki telanjang dengan tanda kelaminnya yang tegak (di puncak Gunung Pojoktilu, Kabupaten Brebes) dan peti mati (sarkofag) yang digambar dengan gambar wanita telanjang dengan tanda kelaminnya  yang jelas (di Batutering, Sumbawa). Sudah cukup jelas bahwa lambang kelamin tersebut mula-mula merupakan lambang kesuburan dan penolak malapetaka. Ketika agama Hindu masuk ke Indonesia, pemujaan kepada phallus tersebut kemudian berkembang menjadi pemujaan kepada lingga dewa Siwa. Perlu ditambahkan di sini bahwa di Pura Pusering Jagat di Pejeng Bali, tersimpan dua benda purbakala dari batu yang menggambarkan phallus (lingga) dan vulva (yoni) dalam bentuk alami (naturalistis). Kedua benda purbakala itu disimpan di dalam sebuah bangunan disebut gedong purus (gedong kelamin laki-laki) dan dikeramatkan oleh penduduk setempat.
       Dari segi ilmu purbakala (arkeologi) tokoh Bhima dapat diteliti berdasarkan beberapa sumber, antara lain sumber berupa naskah (manuskrip), arca purba (ikonografi), arsitektur (relief), prasasti (epigrafi), dongeng (cerita, mitologi). Karena sebagian sumber tersebut telah diuraikan oleh Ibu Sumarti Suprayitno, maka di bawah ini saya hanya akan menambah beberapa data secara singkat sebagai berikut:

1. Sumber Berupa Naskah
       Sumber naskah sebetulnya sudah diuraikan oleh Ibu Sumarti Suprayitno yang mengambil contoh terutama kitab Nawaruci. Dikatakan dalam kolofonnya bahwa kitab Nawaruci dikarang oleh Pu Siwamurti (apusira mpu Siwamurti). Menurut Dr. Prijohoetomo nama itu merupakan nama samaran (pseodoniem) pengarang sesungguhnya. Namun kebenarannya diragukan oleh Dr. Poerbatjaraka. Bahkan Poerbatjaraka mengatakan sebagai berikut: "Zooals Dr. Prijohoetomo zelf heeft opgemerktn(blz. 13), is de Nawaroetji van geprononceerd Siwaitisch karakter. Naar het mij voorkomt, is dit echter ontstaan door de verknoeiing (opzettelijke vervalsching, zou ik bijna zeggen) door den Balischen omwerker, die een Swaiet moet geweest zijn (Djawa, 1935: 32). Dibanding dengan kitab Dewa Roetji yang telah diterjemahkan oleh Poerbatjaraka, kitab Nawaruci rupa-rupanya lebih muda usianya. Tetapi bahasa kitab Nawaruci sangat indah. Bagian penutup kitab itu berbunyi sebagai berikut: "Warnanen punang madhyaratri, sang Pandawa samaguling, arum sumirit ikang sarwakusuma, aganti swara ning cucur mwang tadah harsa, lwir kady anurunuru ring sang Pandawa. Ucapen tikang bangbang wetan, matramatra swara nikang anggentang kalawan swara ning sata. Saksana rahina, umijil sang hyang diwangkara, sumeno apadang sang hyang raditya. Atangi sira sang Pandawa, sama masuci sira ring tirtha maening. Muwah bhattari Kunti kulawan sang Dropadi sampun sira sama amepek pahyas. Iwir puputren ing ringgit yan tiningalan, mantyanta ayu ning rupanira".
       Menarik perhatian yaitu kitab Dewa Roetji yang telah diuraikan panjang lebar oleh Dr. Poerbatjaraka di dalam majalah Djawa tahun 1935. Menurut Poerbatjaraka bahasa naskah Dewa Roetji sangat muda dan termasuk bahasa Jawa Baru. Masa pembuatannya diperkirakan pada jaman peralihan (Overgangstijd) masuknya agama Islam di pulau Jawa. Tetapi anehnya Poerbatjaraka sendiri tidak menemukan pengaruh bahasa Arab (agama Islam) di dalam naskah tersebut. Karena itu Poerbatjaraka menduga bahwa naskah Dewa Roetji digubah di daerah terpencil yang belum terkena pengaruh agama Islam, kira-kira pada paruh pertama abad XVI Masehi.
        Apabila Poerbatjaraka belum dapat menentukan secara pasti kapan naskah Dewa Roetji digubah, maka Dr. W.F. Stutterheim kemudian menjelaskan di dalam karangannya De Ouderdom van Dewaruci (Djawa, 1935: 131-132), bahwa cerita Dewaruci sudah terkenal pada tahun sekitar 1450 M. Pendapat Stutterheim itu berdasarkan data arkeologi, yaitu sebuah relief menggambarkan Bhima masuk ke dalam lautan dengan tanda-tanda berkumis panjang, mata bulat, gelung yang khas, kalung, kuku pancanakha, dan bertubuh besar. Relief itu terdapat di Gunung Penanggungan (Jawa Timur), yaitu di situs purbakala atau kekunoan No. LXV. (Djawa, 1935, Fig. 1 dan 2). Ternyata pendapat Stutterheim lebih tepat dibanding perkiraan Poerbatjaraka. Maka itu sudah selayaknya kalau di dalam naskah Dewa Roetji tidak terdapat pengaruh agama Islam (bahasa Arab), karena lakon (naskah) Dewa Roetji (menurut ejaan Poerbatjaraka) berasal dari sekitar tahun 1450 M. Dengan demikian kerjasama yang erat antara ahli bahasa kuno (Sanskerta dan Jawa Kuno) dan ahli arkeologi memang sangat mutlak. Stutterheim sendiri mengartikan: "Heeft Dr. Poerbatjaraka vroeger meermalen met succes de hulp van de Oud-javaansche letteren ingeroepen bij de verklaring van onbegrepen archaeologische raadsels, thans zijn wij in staat dit te vergelden en de archaeologie een woordje te laten meespreken bij de oplossing van literaire problemen als die van den ouderdom der Dewaruci" (Djawa, 1935: 131).
       Selain masalah sejak kapan lakon (cerita) Dewaruci dikenal oleh masyarakat (Jawa), di dalam naskah itu juga terbukti bahwa cerita Dewaruci berkaitan pula dengan masalah sinkretisme (perpaduan) antara agama Hindu (Siwa) dan Buddha. Di dalam naskah Dewa Roetji tokoh Dewaruci (Hyang Wisesa) sendiri disebut dengan nama-nama yang bernafaskan agama Buddha, yaitu Sang Jinaresi, Budatatwaresi, Adibudaresi, Budarsi, Paramabudengrat, Sri Werocana, dan hanya sekali disebut Hyang Janardana (sama dengan Wisnu). Sebaliknya Bhima di dalam itu disebut Sang Wrekodara, Baywatmaja, Bimasena, Gandarwamaja, Bayusuta, dan Ardanareswari. Nama terakhir menarik perhatian karena Ardhanasari dalam pantheon agama Hindu menggambarkan perpaduan antara unsur dewa (Siwa) dan dewi (Parwati). dalam sebuah arca. Arca Ardhanari (ardha = separuh, nari = wanita) mudah diketahui melihat bagian pinggul dan buah dadanya yang berlainan. Di dalam naskah itu juga dikatakan bahwa Bhima sebenarnya adalah keturunan dewa Brahma atau Caturmuka (berkepala empat buah).
       Membaca kedua naskah tersebut maka sekarang dapat disimpulkan bahwa naskah Nawaruci bernafaskan agama Hindu (cf. Mpu Siwamurti), sedangkan naskah Dewa Roetji (Poerbatjaraka) bernafaskan agama Buddha, yaitu berupa wejangan Sri Werocana (Dewaruci) kepada Bhima (epitheta Siwa dan keturunan Brahma). Perlu ditambahkan di sini bahwa menurut pendapat Dr. Th.Pigeaud nama dhyanibuddha Wairocana (penguasa zenith) yang sanggup memberikan maharddhika (kemakmuran dan kebahagiaan) kepada umat manusia, kemudian berubah ucapannya menjadi Erucakra (Herucakra) dalam masyarakat Jawa. Demikian pula apabila kitab Dewaruci (Bimasuci) sekarang dianggap berisikan filsafat (kawruh kasampurnan, manunggaling kawula lan gusti [unio mystica]), maka naskah Dewa Roetji juga melambangkan perpaduan (sinkretisme) antara agama Hindu (Siwa) dan Buddha, dan nama Ardaneswari (Bhima) juga melambangkan manunggaling jalu (priya) lan wanita. Dengan kata lain perkataan bersatunya unsur purusa (laki-laki) dan pradhana (wanita). Apabila diperluas juga bersatunya unsur buwana agung (macro cosmos) dan buwana alit (micro cosmos), karena kedua buwana (jagat) tersebut masing-masing mempunyai lima unsur yang disebut panca mahabhuta (lima unsur yang besar), yaitu akasa (ether), bayu (angin), teja (cahaya, sinar), apah (air, zat cair), dan prthiwi (bumi, zat padat).

2. Sumber Berupa Arca (Ikonografi)
       Di dalam karangan W.F. Stutterheim berjudul Een Oud-Javaansche Bhima-cultus (Djawa, 1935), sudah diuraikan panjang lebar temuan-temuan arca Bhima di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Demikian pula dalam ceramah Ibu Sumarti Suprayitno beberapa temuan arca Bhima tersebut sudah disinggung. Dengan demikian saya hanya akan mengupas secara singkat arca Siwa-Bhairawa (Bhima-Bhairawa) di Pura Kebo Edan di Pejeng (Bali). Berlainan dengan arca Bhima yang berasal dari Candi Sukuh, arca di Pura Kebo Edan berdiri dengan sikap alidha (Jawa: mbregagah, Bali: ningkang), kedua belah tangannya di atas pinggang, memakai topeng, menginjak mayat, dan kelaminnya (phallus) mencuat keluar dari celah-celah cawatnya ke arah kiri. Di bagian ujung kelamin, yaitu di sekitar glans penis terdapat beberapa buah bulatan yang mirip dengan lingga di Pura Pusering Jagat dan phallus arca Bhima yang tersimpan di museum Jakarta dan Leiden.

                                                             Pura Kebo Edan

      Arca Siwa Bhairawa (Bhima Bhairawa) yang setinggi 3,6 m itu mungkin menggambarkan seorang raja Bali yang memerintah sekitar tahun 1337-1342 M bernama Astasura-ratna-bumi-banten. Astasura berarti 8 orang raksasa, dan nama itu mengingatkan kita kepada delapan nama dewa Siwa (astasanjna), yaitu: 1. Rudra, 2. Bhawa, 3. Sarwa, 4. Isa, 5. Pasupati, 6. Bhima, 7. Ugra, 8. Mahadewa; dan juga delapan Bhairawa yang terkenal di Nepal dan bertempat tinggal di kuburan, yaitu 1. Asitangga-Bhairawa, 2. Krodha-Bhairawa, 3. Ruru-Bhairawa, 4. Kapala-Bhairawa, 5. Unmatta-Bhairawa, 6. Samhara-Bhairawa, 7. Sukra-Bhairawa, 8. Bhisana-Bhairawa. Juga di desa Pejeng, tidak jauh dari Pura Kebo Edan, terdapat arca Bhima dalam bentuk Chatuhkaya. Pertanyaan mengapa phallus arca Siwa-Bhairawa tersebut membelok ke arah kiri, mungkin berkaitan dengan sekte agama Tantrayana yang dianut oleh raja Astasura-ratna-bumi-banten (banten: Bali). Seperti telah diketahui sekte agama Tantrayana dibedakan menjadi dua aliran, yaitu aliran kiri (left-hand path) dan aliran kanan (right-hand path). Aliran kiri (niwrtti) melakukan praktek panca-ma sebanyak-banyaknyasedangkan aliran kanan (prawrtti) berusaha mencegahnya atau tidak melakukannya. Panca-ma (ma lima) terdiri atas: 1. matsya (ikan), 2. mamsa (daging), 3. mudra (padi-padian, sikap tangan), 4. mada (minuman keras yang memabukkan), 5. maithuna (cinta kasih, coitus). Nama Pura Kebo Edan (Kerbau Gila) sendiri juga menunjuk ke arah upacara mabuk-mabukan dengan minum-minuman keras (mada) sehingga menjadi gila (edan). Perkataan mada yang berarti minuman keras (Sanskerta) dapat dibandingkan dengan mad (Inggris) yang berarti gila. Lebih lanjut mengenai masalah Pura Kebo Edan dan raja Astasura dapat dibaca di dalam karangan saya berjudul Betulkah Astasura-ratna-bumi-banten seorang raja Bali yang murka dan hina? (Seminar Sejarah Nasional III di Jakarta, 1981) dan Mengapa phallus arca Siwa-Bhairawa di Pura Kebo Edan menghadap ke arah kiri? (Berita Arkeologi, Maret 1983).

3. Arsitektur (Relief)
       Sebetulnya sampai sekarang belum pernah diketemukan bangunan candi yang khusus digunakan untuk memuja Bhima sendiri. Bangunan candi yang ada hingga sekarang umumnya dihubungkan dengan candi agama Hindu (untuk memuja Siwa) dan candi agama Buddha (untuk memuja Buddha) atau untuk memuja kedua-duanya (misalnya Candi Jawi). Di Candi Sukuh dan Candi Ceta memang terdapat arca tokoh Bhima, tetapi candi itu terutama digunakan untuk memuja Siwa dalam bentuknya sebagai lingga (phallus). Hanyalah karena lambang kelamin laki-laki di Candi Ceta yang berbentuk alami (naturalistis) lebih banyak mendekati bentuk phallus Bhima dibanding dengan lingga dewa Siwa, maka candi itu mungkin dapat dikatakan sebagai bangunan candi untuk memuja Bhima, phallus, dewa Siwa, dan dewa setempat (local deities) lainnya. Demikian pula di bagian sekitar glans penis phallus Candi Ceta terdapat bulatan-bulatan yang mirip dengan phallus dari Pura Pusering Jagat, Pura Kebo Edan (Bhima Bhairawa) dan kelamin arca Bhima yang tersimpan di Museum Jakarta dan Leiden.

                               Relief Bhima dengan dua raksasa Kalantaka dan Kalanjaya

       Seperti telah diketahui sebuah lingga lambang dewa Siwa terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian bawah segi empat (Brahma-bhaga), tengah segi delapan (Wisnu-bhaga) dan bagian atas berbentuk bulat atau silinder (Puja-bhaga atau Rudra-bhaga). Memang di dataran tinggi Dieng terdapat sebuah bangunan kuno disebut Candi Bimo, tetapi candi itu digunakan untuk memuja dewa Siwa, sama halnya dengan Candi Arjuno, Candi Semar, Candi Sembodro dan lain-lainnya. Demikian pula nama wayang bangunan candi di Pegunungan Dieng bukannya nama asli, melainkan nama baru yang diberikan kemudian. Perlu ditambahkan di sini bahwa tokoh Bhima memang dipahat pada relief tertentu, misalnya cerita Sudhamala di Candi Sukuh yang melukiskan Bhima sewaktu membunuh (ngruwat) seorang raksasa bernama Kalantaka. Di bagian atas relief sebelah kiri terpahat angka tahun 1361 Saka (1439 M).

4. Sumber Berupa Prasasti (Epigrafi)
       Prasasti hanya menyinggung nama Bhima secara singkat, misalnya menyebut sebuah cerita yang berkaitan dengan Bhima sewaktu masih anak-anak (muda), yaitu cerita Bhimakumara (macarita bhima ya kumara). Di dalam prasasti Randusari II yang berangka tahun 885 M juga disebut seorang pejabat marhyang (petugas keagamaan) bagian utara bernama pu Bhima (marhyang lor pu bhima). Kemudian di dalam prasasti raja Kretarajasa yang bertahun 1296 M (Prasasti Sukamrta) juga disebut ketangkasan seorang pejabat rakryan kanuruhan ing Daha bernama pu Iwar yang pandai berperang menggunakan gada bagaikan Bhima (gada-dhara-bhimatulya-ranati-sura).

5. Dongeng (Cerita)
       Dongeng atau cerita yang berkaitan dengan tokoh Bhima (Bimo) banyak terdapat di kalangan masyarakat Jawa, Bali dan di beberapa pulau lainnya. Di pulau Jawa penduduk mengenal pahatan telapak kaki yang disebut tapak Bimo, sebuah mata air di Pegunungan Dieng yang merupakan tuk (sumber) Sungai Serayu disebut tuk Bimo lukar. Demikian pula cerita terjadinya Sungai Serayu dikaitkan dengan Bhima yang menggalinya dengan menggunakan phallusnya. Gugusan bintang di angkasa raya oleh orang Jawa disebut lintang Bimosakti. Selanjutnya nama sebuah kota di Pulau Sumbawa, yaitu kota Bima, yang dikaitkan dengan tokoh Pendawa Lima Sang Bimo. Selain itu Candi Ijo (sebelah tenggara Candi Prambanan di atas bukit) yang merupakan bangunan lingga (linggaheiligdom) dari sekitar tahun 900 M, oleh penduduk setempat dikaitkan dengan danyang penunggu Candi Ijo bernama Kyahi Poleng. Seperti telah diketahui kain poleng erat kaitannya dengan pakaian Bhima.
       Demikianlah tanggapan singkat saya mengenai tokoh Bhima dipandang dari segi arkeologi klasik. Sebagai penutup perlu saya jelaskan bahwa tokoh Bhima (Bimo) yang terkenal di dalam masyarakat sebagai tokoh pembebas (pangruwat), pendobrak, penolak malapetaka, dan lambang seksualitas yang luar biasa (phallus Bhima untuk menggali Kali Serayu), di dalam naskah Nawaruci juga terkenal sebagai seorang pertapa bernama Angkusprana yang bertapa di Prthiwijati dan mampu mengalahkan segala godaan para bidadari yang cantik.

M.M. Sukarto K. Atmodjo, Berkala Arkeologi September 1986
Karangan singkat ini merupakan tanggapan terhadap ceramah Ibu Dra. Sumarti Suprayitno 'Tokoh Bhima dalam Masyarakat Sastra dan Budaya Jawa' di Lembaga Javanologi, Yayasan Panunggalan pada tanggal 25 Juli 1986.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Aku memandang suka dan duka
Berganti-ganti di dalam hati

Apa gerangan masa di muka
Jadi bangsa yang kucinta ini
Adakah tanda megah kembali
(Sanusi Pane, Puspa Mega)

My Blog List

Consectetuer

Popular

Blogroll

Total Tayangan Halaman

About

Labels

Labels

Dari Mana

widget

Translate

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Labels

EDIT DESCRIPTION HERE

Followers

Search This Blog