AIRLANGGA

Ceramah inaugrasi Prof. Dr. J.G. de Casparis, guru sejarah Indonesia Lama dan Bahasa Sanskerta pada Perguruan Pendidikan Tinggi Guru Universitas Airlangga di Malang yang diadakan di Malang pada bulan April 1958.

       Dalam ceramah ini kami akan berusaha melukiskan Airlangga sebagai seorang tokoh yang mahabesar dalam sejarah kita. Bertalian dengan waktu yang terbatas, maka terutama akan ditaruh perhatian kepada beberapa aspek pemerintahan Airlangga, seperti bahan-bahan baru atau penafsiran baru tentang bahan-bahan yang diketahui sejak lama, lalu penentuan cita-cita Airlangga dan arti pemerintahannya dalam usaha kita untuk mengerti dengan sedalam-dalamnya akan sejarah kita. Berkenaan dengan itu, sebaiknya lebih dahulu kita tinjau garis-garis besar perkembangan Jawa Timur sebelum Airlangga.
       Jika keadaan geografis di Jawa Timur dibandingkan dengan Jawa Tengah, maka ada perbedaan yang sangat menyolok. Di Jawa Tengah daerah-daerah yang paling subur terletak di sebelah selatan, seperti lembah Sungai Serayu, daerah Kedu, Jogjakarta dan Surakarta. Lembah-lembah tersebut letaknya agak terpisah dengan Laut Jawa, tidak hanya karena pegunungan, yang pada zaman yang silam merupakan rintangan untuk perhubungan, melainkan terutama karena ketiadaan sungai-sungai besar yang mengalir ke utara; pada zaman lama, seperti di Kalimantan sampai dewasa ini sungai besar merupakan urat lalu lintas yang paling penting. Letaknya yang sedemikian tentu memberikan perlindungan kepada Jawa Tengah di sebelah selatan. Keadaan geografis menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang sangat baik untuk pertahanan daerah itu terhadap musuh dari luar. Sejarah baru pun menunjukkan beberapa contoh yang jelas tentang kuatnya posisi devensif di daerah Selatan di Jawa Tengah (perjuangan Diponegoro, perlawanan terhadap Clash Belanda yang kedua). Akan tetapi, perlindungan itu pun juga merupakan rintangan dalam perhubungan dengan Laut Jawa. Dibandingkan dengan Jawa Tengah, Jawa Timur ternyata terbuka di sebelah Utara, sedangkan sungai-sungai seperti Sungai Brantas dan Bengawan Solo memungkinkan lalu lintas jauh ke pedalaman. Sebaliknya, pusat-pusat besar di Jawa Timur lebih mudah diserang oleh musuh yang datang dari seberang laut. Tidak perlu ditambah bahwa faktor-faktor geografis itu ternyata jauh lebih penting pada zaman lama daripada dewasa ini. Faktor geografis tersebut tidak boleh diabaikan dalam setiap usaha untuk memahami sejarah Pulau Jawa sebaik-baiknya. Maka tidak mengherankan bahwa peninggalan-peninggalan dari fajar manusia kita dapati di Jawa Timur atau dekat lembah-lembah Bengawan Solo dan Sungai Brantas, seperti di Trinil, Wajak, dan Mojokerto. Pusat-pusat pertama berkembang di tempat-tempat terlindung melalui jalan-jalan lalu lintas yang menghubungkan tempat-tempat itu dengan dunia luar.
       Ternyata pula bahwa pengaruh India pada abad-abad pertama Masehi nampak di Jawa Barat (Rengasdengklok) dan di Jawa Timur, di mana di daerah Jember ditemukan sebuah patung kesenian Amarawati. Di Jawa Tengah pengaruh kebudayaan India masuk beberapa abad kemudian. Akan tetapi, di daerah terlindung itu pengaruh India melahirkan sebuah kebudayaan yang demikian tinggi sehingga masih mengagumi kita dan menarik pelawat dari seluruh dunia. Perlindungan tersebut memungkinkan berkembangnya kebudayaan yang sangat tinggi, tetapi sebaliknya tidak menimbulkan suatu pusat politik yang memperluas hubungannya politik dan perniagaan dengan pulau-pulau lainnya apalagi dengan luar negeri. Tentang dinasti Sailendra kita yakin sekarang, bahwa rajakula itu baru mencapai kedudukan penting di lapangan politik dan ekonomi pada waktu menduduki tahta negara Sriwijaya.
       Selama masa kebesaran di Jawa Tengah, yakni abad VIII dan IX, tidak ada kerajaan yang besar di Jawa Timur. Meskipun demikian, di Jawa Timur timbul beberapa pusat yang mungkin tidak sepenuhnya berdaulat, tetapi perlu menarik perhatian kita karena beberapa faktor. Berkat sebuah prasasti yang berasal dari Dinoyo, dekat kota ini (Malang) dan berangka tahun 760, kita tahu bahwa di daerah ini timbullah satu pusat kerajaan pada abad VIII. Kami telah menunjuk bahwa nama kerajaan itu ialah Kanuruhan; sehingga nama tersebut hidup terus sebagai gelar seorang pegawai tinggi sampai dengan masa Majapahit. Kira-kira pada zaman itu pun juga sebuah prasasti dari daerah Pare membuktikan bahwa pengaturan jalan Sungai Brantas dan anak sungai itu mendapat perhatian besar. Guna mengurangi bahaya banjir, yang sudah beberapa kali menimpa penduduk di daerah itu, maka atas inisiatif sebuah biara aliran Sungai Srinjing diperbuat dengan tanggul dan mungkin diperbuat bendungan dan digali danau, ke mana air dapat dikendalikan pada waktu hujan deras. Rupanya pekerjaan itu dilaksanakan dengan jalan gotong royong oleh sekalian penduduk di daerah itu. Sesudah abad VIII, pengaturan Sungai Srinjing itu mendapat perhatian dua kali lagi pada awal abad X. Selain itu, sumber sejarah tidak banyak memberikan keterangan tentang perkembangan Jawa Timur pada abad VIII dan IX. Rupanya, pusat-pusat kecil seperti Kanuruhan yang tadi kami sebutkan tetap ada, tetapi artinya sangat terbatas.
       Perhubungan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur baru mengalami perubahan besar pada kira-kira tahun 900, pada waktu raja Balitung naik tahta di Medang di Jawa Tengah. Kita tahu bahwa Balitung mendapat kekuasaan berkat perkawinannya dengan seorang putri dari rajakula di Jawa Tengah, sedangkan ia sendiri bukan seorang anggota rajakula itu. Artinya ialah bahwa Balitung berasal dari rajakula yang lain, jadi dari daerah yang lain. Telah dikemukakan bahwa kemungkinan namanya mencerminkan asalnya dari pulau Balitung, akan tetapi  selain nama itu tidak ada bahan yang dapat memperkuat persangkaan tersebut. Menurut penafsiran yang lain, yang sangat menarik hati, Balitung berasal dari suatu kerajaan setempat di Jawa Timur. Bagaimanapun juga, wilayah kekuasaan Balitung meliputi baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Balitung dan pengganti-penggantinya sampai dengan Wawa terus berkeraton di Jawa Tengah, tetapi makin lama makin banyak perhatian dicurahkan kepada Jawa Timur.
       Pada hemat kami, sikap itu terutama disebabkan oleh karena timbulnya perniagaan dengan Timur Tengah dan Eropa melalui Timur Tengah. Antara hasil bumi yang dicarikan pedagang Arab dan Parsi termasuk rempah-rempah dari Maluku dan berbagai-bagai jenis kayu (antara lain cendana) dari Nusa Tenggara Timur. Dalam perdagangan itu, letaknya pelabuhan-pelabuhan di Jawa dapat dikatakan sangat baik, karena kira-kira di tengah jalan antara pulau-pulau penghasil rempah-rempah dan kayu harum dan Sriwijaya (Palembang), yang tetap merupakan pusat perdagangan internasional. menurut hipotesis kami, pedagang-pedagang Jawa Timur membawa beras dan lain hasil bumi Jawa ke Maluku dan Nusa Tenggara, di mana beras itu ditukar dengan rempah-rempah dan kayu harum. Hasil bumi tersebut lalu mereka angkut ke Sriwijaya guna menjualnya kepada pedagang-pedagang asing. Pada akhirnya, perahu-perahu Jawa kembali ke Jawa Timur dari Sriwijaya dengan muatan yang berharga untuk daerah mereka seperti emas, tembikar, dan sutera dari Tiongkok, kain dari India, dupa dari Arab dan lain-lain. Perdagangan tersebut memperkaya Jawa Timur dan meberikan kedudukan penting kepada Jawa Timur. Kedudukan itu menimbulkan iri hati Sriwijaya. Sebelumnya pusat perniagaan yang besar hanya Sriwijaya saja. Sungguh pun pusat di Jawa Timur bukan pusat perdagangan antar negara, namun para pemimpin di Sriwijaya menjadi sadar bahwa lama-kelamaan pedagang-pedagang Jawa Timur akan menarik saudagar asing ke pelabuhan-pelabuhan mereka dengan tidak lagi menyalurkan barangnya melalui Sriwijaya. Pemimpin-pemimpin itu berpendapat bahwa sebaiknya diambil tindakan terhadap kerajaan di Jawa Timur sebelum kedudukannya menjadi lebih kuat lagi.
       Dengan itu dibuka suatu bab baru dalam sejarah Indonesi, yakni masa pertentangan antara Sriwijaya dan Jawa Timur, yang masing-masing berusaha merebut kedudukan utama di dunia Nusantara. Perjuangan itu dimulai kira-kira pada tahun 925 M dan berlangsung kira-kira seabad lamanya sampai zaman Airlangga. Baru pada waktu itu dicapai sejenis keseimbangan kekuasaan antara Sriwijaya dan Jawa Timur. Dalam babak pertama perjuangan itu, inisiatif dipegang oleh Sriwijaya. Pada tahun 928 atau 929, atau satu dua tahun kemudian, pasukan dari Melayu, ialah daerah Jambi yang patuh kepada Sriwijaya, mendarat di Jawa dalam suatu usaha untuk membasmikan pusat-pusat di Jawa Timur. Pasukan-pasukan itu sampai dekat Nganjuk, tetapi di sana menderita kekalahan oleh laskar Jawa yang dipimpin pu Sindok. Peristiwa yang penting itu kita ketahui dari sebuah prasasti Sindok yang berangka tahun 937(?). Prasasti tersebut mengenai pendirian sebatang tugu kemenangan (jayastambha) bertempat di Anjukladang, beberapa kilometer di sebelah selatan kota Nganjuk sekarang. Peristiwa itu dapat menjelaskan dua soal yang sebelumnya tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan. Yang pertama mengenai kedudukan pu Sindok, yang oleh penyelidik lebih dulu dianggap sebagai teka-teki. Maklumlah nama Sindok sudah kita temui dalam beberapa prasasti sebelum pemerintahannya sebagai seorang pegawai tinggi (Rakai Halu dan Rakai Hino), tetapi tidak lazim di Jawa bahwa seorang prabu digantikan oleh menterinya.
       Akan tetapi, penggantian luar biasa memang mungkin dalam keadaan luar biasa. Andaikata kita berpendapat bahwa Sindok-lah yang menjadi penyelamat negara selaku panglima perang, maka dapat dimengerti bahwa tahta kemudian diserahi kepadanya. Sebenarnya, kejadian yang sedemikian sering kita saksikan dalam sejarah Barat dan Timur. Suatu contoh yang terkenal dari sejarah Timur adalah Candragupta Maurya yang memimpin pasukan raja Nanda terhadap Yunani tetapi menjadi raja sendiri setelah mengusir Yunani dari wilayah India. Soal yang lain yang sekarang dapat dimengerti, ialah sebab pemindahan keraton ke Jawa Timur. Dalam kitab-kitab sejarah kita, pemindahan tersebut masih diselubungi dalam rahasia dan kebanyakan hipotesis tentangnya menitikberatkan kemungkinan suatu bencana alam yang besar di Jawa Tengah, seperti banjir, meletusnya Gunung Merapi, atau penyakit menular. Tetapi sekarang ternyata bahwa pemindahan tersebut dapat kita pahami sepenuhnya, Dalam taraf pertama raja-raja Mataram Lama seperti Balitung sampai dengan Wawa lebih mementingkan Jawa Timur daripada Jawa Tengah karena keinsafan akan pentingnya perniagaan antar pulau. Dalam taraf yang kedua, pemimpin-pemimpin Jawa menghadapi serangan oleh Sriwijaya dan memutuskan untuk hanya membela bagian kerajaan yang dipentingkan itu; lembah rendah Sungai Brantas dipertahankan, tetapi seluruh daerah itu di sebelah barat dari itu, termasuk Jawa Tengah, dibiarkan saja.
        Babak yang kedua dalam perjuangan terjadi pada akhir abad X. Raja Dharmawangsa Teguh masih merasa terancam oleh Sriwijaya dan ia berpendapat bahwa pembelaan yang terbaik ialah penyerangan. Maka ia mengirimkan ekspedisi ke Sumatera Selatan dan berhasil menduduki beberapa bagian daerah itu selama beberapa tahun. Hal itu menunjukkan dengan jelas betapa besarnya perkembangan alat-alat kekuasaan Jawa Timur. Dalam jangka waktu kurun waktu kurang dari 70 tahun kerajaan di Jawa Timur telah berhasil membangun angkatan laut yang cukup besar untuk dapat melancarkan serangan terhadap Sriwijaya. Selain itu, Dharmawangsa Teguh membuka hubungan resmi dengan Tiongkok dengan jalan mengirim perutusan ke Tiongkok. Pentingnya peristiwa itu ternyata dari hal bahwa tidak ada perutusan Jawa yang lain setelah abad VII, yakni setelah timbulnya Sriwijaya. Meskipun Dharmawangsa Teguh memasukkan pasukannya di Sumatera Selatan, namun ia tidak berhasil memperlemah, apalagi menghancurkan Sriwijaya. Setelah pengalaman yang pahit itu, Sriwijaya memperkuat tentaranya dan memperkokoh hubungannya dengan Tiongkok dan India. Dengan 'India' dimaksutkan suatu kerajaan besar lagi kuat di India Selatan, yang dipimpin oleh raja-raja dari raja Cola.
       Dulu, negara tersebut adalah kecil dan tidak berpengaruh di luar dengannya yang asli, ialah pantai timur India, selatan kota Madras sekarang, akan tetapi mulai dari awal abad X kerajaan tersebut berangsur-angsur memperluas wilayahnya dan mencapai puncak kekuasaannya pada akhir abad X dan sepanjang abad XI. Perkembangan itu terutama disebabkan oleh politik Rajaraja Cola I (985-1012 M) dan Rajendra Cola (1012-1044 M). Mereka membawa pasukannya sampai ke lembah Sungai Gangga dan menduduki  Pulau Sailan. Selain itu, kedua raja tersebut sangat mementingkan angkatan laut, rupanya dengan maksud untuk menguasai jalan-jalan perniagaan. Maka Sriwijaya menginsyafi bahwa peperangan di dua pihak --India dan Jawa-- akan menimbulkan keadaan yang sangat berbahaya. Maka syarat utama untuk dapat melancarkan serangan balasan terhadap negara di Jawa Timur ialah jaminan untuk tidak diserang oleh pihak Cola. Maka kira-kira tahun 1000 Sriwijaya mengirim perutusan ke istana Cola bermaksud untuk mengadakan persekutuan dengan Rajaraja I Cola. Persekutuan itu diperkuat dengan pendirian sebuah biara agama Buddha oleh Sriwijaya di negeri Cola, yakni di Nagipattan. Baru setelah itu Sriwijaya merasa siap untuk menunjukkannya ke Jawa Timur, dan dengan itu dimulai fase ketiga dalam hubungan antara Sriwijaya dan Jawa Timur.
       Pasukan Sriwijaya itu dipimpin oleh seorang raja vasal Sriwijaya, ialah Raja Wurawari dari Semenanjung Malaya. Tentang tahun dilancarkan serangan itu belum ada kepastian yang mutlak. Itu disebabkan karena tempat dalam Prasasti Calcutta, di mana serangan itu diceritakan, sudah sedikit rusak, pada khususnya angka puluhan dalam angka tahun. Kebanyakan pengarang masih ragu-ragu tentang penafsiran angka tersebut; karena itu ada yang membaca tahun tersebut 1006, ada pula yang membacanya sebagai 1016. Krom telah membaca 1006 dan angka tahun itu diambil oper dalam kitab-kitab pelajaran sejarah. Empat tahun yang lalu kami mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Calcutta, tempat disimpan batu yang bersangkutan. Berkat pemeriksaan batu tulis yang asli saya yakin sekarang bahwa angka-angka tersebut sebenarnya berbunyi 1017.
       Itulah tahun yang penting dalam sejarah kita. Pasukan yang dipimpin Haji Wurawari memasuki Jawa Timur dan menuju ke keraton Dharmawangsa Teguh. Rupanya serangan itu tidak disangka lebih dahulu, sehingga tidak ada persiapan benar dan tidak diberi perlawanan semestinya. Maka serangan Wurawari berakibat penghancuran keraton dan seluruh pusat negara Jawa Timur. Dalam laporan tentang kejadian tersebut akibatnya dilukiskan dengan istilah pralaya. Istilah tersebut sangat terkenal dari agama Hindu, di mana artinya ialah penghancuran alam semesta pada akhir masa Kaliyuga. Dalam mythologi Hindu perkembangan alam semesta dibayangkan meliputi empat masa, yang masing-masing ribuan-ribuan tahun lamanya. Setelah penciptaan alam oleh Dewa Brahma timbul sejenis zamannya emas, dalam mana sekalian makhluk hidup dengan damai dan kemakmuran tanpa kekurangan manapun juga. Akan tetapi, masa itu tidak abadi lamanya; karena makhluk sekalian makhluk berdosa, maka lama kelamaan alam semesta mesti memburuk. Pada masa keempat, yakni Kaliyuga, manusia tidak lagi mengutamakan undang-ndang yang ditetapkan Dewa, melainkan semata-mata mengejar kepentingan dirinya dengan jalan yang tidak senonoh. Dosa manusia bertimbun-timbun, sehingga pada akhirnya dicapai suatu taraf, dalam mana dunia itu tidak dapat diselamatkan lagi. Maka pada ketika itu, Dewa Siwa berpendapat bahwa hanya tinggallah satu jalan saja, yakni menghancurkan alam semesta dengan segala-galanya. Penghancura itulah yang dinamakan pralaya. Meskipun dunia pada waktu itu seluruhnya musnah, namun itu belum menjadi akhir kehidupan di dunia. Setelah beberapa waktu --dalam mythologi waktu itu ribuan tahun lamanya-- akan diciptakan dunia yang baru. Seperti dulu halnya, dunia baru itu dimulai lagi dengan zaman masa yang lama kelamaan akan memburuk pula dan seterusnya.
       Konsepsi itu telah kami uraikan dengan panjang lebar sebab merupakan kunci guna memahami sepenuh-penuhnya arti kekalahan itu pada tahun 1016. Kekalahan itu diperbandingkan dengan pralaya, oleh karena di Jawa Timur pun serangan Haji Wurawari berakibat penghancuran negara. Akan tetapi seperti Dewa Brahma kemudian akan menciptakan dunia baru dari abu dunia yang lama, maka seperti itu Airlangga-lah yang akan menciptakan negara baru dari abu negara lama.

Kehidupan Airlangga
       Pada waktu serangan Raja Wurawari Airlangga baru berumur enambelas tahun dan sedang merayakan pernikahannya dengan putri raja Dharmawangsa Teguh. Justru karena perayaan besar itu tidak diberi perhatian sewajarnya kepada pertahanan pusat negara. Oleh karena serangan itu sebenarnya terjadi pada tahun 1016, bukan 1006, maka tahun lahirnya Airlangga perlu ditinjau kembali; berdasarkan koreksi tersebut. Airlangga dilahirkan pada tahun 1016 kurag 16 jadi pada tahun 1000, tahun yang dapat dihafalkan oleh pemuda kita dengan mudah. Menurut silsilah dalam prasasti Calcutta ia turun dari pu Sindok, tetapi tidak secara langsung, melainkan melalui putri Sindok dan ibu Airlangga. Silsilah itu sudah membuktikan bahwa kedudukan Airlangga tidak semata-mata disebabkan karena keturunannya dari Sindok melainkan terutama karena ia telah menjadi menantu raja Dharmawangsa Teguh. Mungkin raja itu tidak mendapat keturunan lelaki, mungkin juga putranya sekaliannya menemui ajalnya pada tahun 1017. Orang tuanya memerintah di Bali. Ayahnya yang bernama Udayana, mungkin seorang pangeran Bali, yang menikahi Mahendradatta keturunan Sindok; akan tetapi, menurut suatu hipotesis yang baru, Udayana harus disamakan dengan seorang raja Kamboja. Udayadityawarman namanya, yang diusir dari Kamboja kira-kira tahun 1000 oleh Suryawarman I. Hipotesis tersebut yang berasaskan gambar-gambar timbul, angka tahun 977 dan nama Udayana yang tertulis di Jalatunda, menimbulkan beberapa kesukaran kronologis, sehingga belum dapat diterima baik.
         Bagaimanapun juga, pada waktu penghancuran keraton Airlangga bersama-sama dengan sejumlah pembesar kerajaan berhasil menyelamatkan diri dan menyembunyikan diri dalam hutan. Tempat yang ditempuhnya ialah sebuah asrama, di mana Airlangga dan pengikutnya hidup sebagai pertapa. Dalam kebanyakan buku sejarah, kediaman Airlangga dalam asrama ditafsirkan sebagai usaha guna menyamarkan diri dan, dengan jalan demikian, mengelakkan pengejarnya. Kami setuju bahwa mngkin sekali itulah yang menjadi pertimbangannya yang pertama, pada waktu ia terpaksa meninggalkan ibukota. Akan tetapi, dalam kehidupan Airlangga kediamannya di asrama mendapat arti yang sangat berlainan, yang mungkin sebaiknya dinamakan 'masa persiapan rohani', yakni persiapan rohani untuk perjuangan yang dihadapinya untuk membangun kembali negaranya.
       Pada masa itu Airlangga dan para pengantarnya hidup selaku pertapa dan mentaati segala kewajiban yang ada pada kedudukan itu. Batu Calcutta memakai istilah valkaladhara, yakni berpakaian kain dari kulit pohon. Pada umumnya, kewajiban tersebut antara lain meliputi yoga, yaitu latihan-latihan jasmani dan rohani guna dapat mengatasi segala jenis hawa nafsu dan rintangan lainnya dan memusatkan pikirannya semata-mata kepada cita-cita yang luhur. Lain daripada itu, Airlangga memberi perjanjian dengan sumpah bahwa ia terus akan mementingkan nilai-nilai rohani apabila ia berhasil mengusir musuh dan mempersatukan kembali negaranya. Maka masa persiapan itu sangat penting untuk memahami tindak laku Airlangga yang kemudian.
       Dari perjuangan Airlangga beberapa tahun kemudian kita dapat memperoleh bayangan, bagaimana keadaan di Jawa Timur selama Airlangga tinggal dalam pertapaan. Kesan itu secara singkat, ialah bahwa negara-negara menjadi pecah belah. Rupanya maksud Sriwijaya bukan untuk menaklukkan Jawa Timur, melainkan memperlemahnya sehingga tidak lagi akan menjadi penyaing untuk kekuasaan tertinggi dalam perairan dan hubungan luar negeri nusantara. Sikap itu sesuai dengan teori lama yang termuat dalam kitab Arthasastra di India; itulah teori tentang 'mandala' dalam mana diutamakan paham divide et impere. Seorang raja sebaiknya berusaha  (dengan empat jenis alat, yang "upaya"namanya) supaya antara tetangganya ada 'keseimbangan dalam kekuatan mereka'. Dalam ilmu politik Barat digunakan istilah balance of power. Maka kekuasaan di Jawa Timur dibagi-bagikan atas sejumlah pembesar yang masing-masing mengurus wilayah yang terbatas besarnya; kepada pemimpin laskar Sriwijaya pada tahun 1017 diserahi suatu wilayah yakni Haji Wurawari. Pada hakekatnya, politik tersebut tidak membawa hasil yang diharapkan, karena kepada Airlangga kemudian memberi kesempatan untuk memukul musuhnya satu demi satu.
       Dua tahun setelah Airlangga masuk pertapaan, ia didatangi perutusan yang kepadanya menyampaikan permintaan supaya Airlangga rela mengepalai negara. Dengan menyimpang dari penafsiran biasa, kami berpendapat bahwa itu mungkin sekali merupakan tindakan sesuai dengan politik yang tadi kami sebutkan. Menurut jalan pikiran itu, tidak dianggap bijaksana jikalau anggota-anggota dinasti yang mengalami kekalahan dibiarkan menjadi terus bermusuhan. Sebaiknya kepada mereka pun dikembalikan satu bagian kerajaan asli, supaya merasa puas dan tidak akan menjadi inti pembrontakan di kemudian hari. Pertimbangan itu masuk akal dan mungkin dalam kebanyakan hal akan memberikan hasil yang diharapkan dari itu. Akan tetapi bagi Airlangga gagal karena ia tidak mementingkan kedudukan dirinya saja.
       Pada awal tahun 1019 Airlangga meninggalkan asramanya sesuai dengan permintaan yang disampaikan kepadanya dan beberapa bulan kemudian ia diresmikan sebagai raja dalam upacara yang dilakukan oleh para kepala ketigamazhab agama. Pada waktu itu kerajaan yang dikuasainya masih sangat terbatas wilayahnya; kita tahu bahwa kota Pasuruan yang sekarang letaknya di wilayah itu. Pada tahun 1019 juga Airlangga berkunjung ke candi Isanavajra, tempat penyimpanan abu jenazah pu Sindok. Dari keterangan Prapanca dalam Nagarakretagama, ternyata bahwa Isanavajra tersebut letaknya di sebelah selatan kota Pasuruan. Maksud Airlangga dengan perkunjungan itu tidak semata-mata untuk memberikan hormat kepada Sindok selaku pembangun negara Jawa Timur yang pertama; pada hemat kami, maksudnya terutama untuk menunjukkan kepada khalayak ramai bahwa ia keturunan pu Sindok yang sah. Usaha yang sedemikian ternyata pula dari perumusan permulaan prasasti Calcutta.
       Dengan jalan demikian Airlangga telah meletakkan dasar untuk kerajaannya di kemudian hari, tetapi pelaksanaan perjanjiannya pada waktu ia singgah di pertapaan masih jauh. Jawa Timur masih berbagai atas sejumlah kerajaan kecil. Bagi Airlangga tidaklah mungkin memerangi tetangganya dalam usaha menuju kepengembalian kerajaan asli. Memang Sriwijaya tidak akan mengijinkan perubahan dalam status quo yang ditimbulkannya, dan akan mengambil tindakan seperlunya. Tetapi Airlangga pada masa pertapaan sudah menginsafi bahwa kesabaran ialah kebajikan utama. Dengan penuh kepercayaan bahwa dharma akan menang pada akhirnya, ia menantikan saat yang baik untuk melaksanakan cita-citanya.
       Biarpun sumber-sumber tentang pemerintahan Airlangga pada masa tersebut hampir tidak ada, namunkami yakin bahwa Airlangga terutama menggunakan masa tersebut untuk memperkokoh kedudukannya dalam wilayah yang masih terbatas itu sambil mengatur pemerintahan dan tentaranya dengan sebaik-baiknya. Sudah masa itu, Airlangga memperbaiki hubungan dengan Sriwijaya; hal itu ternyata dari sebuah prasasti dari tahun 1023 tempat disebutkan seorang putri sebagai Rakai Hino, yakni kedudukan yang tertinggi setelah sang prabu. Memang agak mengherankan bahwa jabatan setinggi itu dipegang oleh seorang wanita, karena itu tidak lazim di Jawa. Sudah tentu bahwa keistimewaan itu harus berdasar pada keadaan luar biasa. Kita bertanya, apakah alasan Airlangga untuk mengangkat seorang wanita dalam kedudukan tersebut? Jawaban atau alternatif antara dua jawaban, ternyata dari gelar yang dipegang putri yang bersangkutan, yakni Sri Sanggramawijaya Dharmaprasadottunggadewi. Tidak dapat disangkal bahwa nama tersebut mengingatkan kita kepada nama raja Sriwijaya yang memerintah justru pada waktu itu,yakni Sri Sanggramawijayottunggawarman. Sebenarnya kedua nama itu sama untuk lebih dari separuhnya. Jika kita mengesampingkan kemungkinan bahwa persesuaian itu kebetulan saja --jumlah nama-nama yang mungkin menurut adat raja-raja di Indonesia adalah sangat besar-- maka kita terpaksa berpendapat bahwa ada hubungan erat antara raja Sriwijaya dan pembesar tertinggi di bawah raja Airlangga. Penafsiran yang diusulkan Krom adalah bahwa Sri Sanggramawijaya Dharmaprasadottunggadewi adalah putri Airlangga; kepadanya Airlangga memberi nama tersebut guna memuji raja Sriwijaya dan dengan jalan demikian memperbaiki hubungannya dengan negara tersebut.
        Akan tetapi, sudah jelas bahwa penafsiran Krom itu berdasarkan pendapatnya bahwa pernikahan Airlangga, yang masih dirayakan pada waktu ibukota diserang Haji Wurawari, diadakan pada tahun 1016. Jika demikian halnya, maka Airlangga pada tahun 1023, dapat mempunyai seorang putri remaja, yang dapat memegang kedudukan yang tinggi.Akan tetapi, di atas telah kita lihat bahwa angka tahun pralaya itu perlu ditinjau kembali, menjadi bukan 1006, melainkan 1016. Maka dengan itu seorang putri Airlangga tidak mungkin berumur lebih dari enam tahun pada tahun 1023. Kami insaf bahwa ada contoh yang lain, yang menunjukkan bahwa kepada anak kecil pun dapat diberikan jabatan yang tinggi --memang secara formil saja-- akan tetapi pada hal itu ada alasan yang sangat kuat, yang sesungguhnya hanya berlaku padahal seorang putra lelaki. Maka sebab pendirian Krom itu tidak dapat dipertahankan lagi, kita harus menyetujui alternatif yang lain, yakni pendapat bahwa Sri Sanggramawijaya ialah seorang putri raja Sriwijaya yang bernama Sri Sanggramawijayottunggawarman; maklumlah di Indonesia, seperti juga di bagian dunia yang lain, kerapkali kepada anak-anak diberi nama yang menyerupai nama orang tuanya. Jika itu kita setujui, maka kita bertanya lebih lanjut bagaimanakah mungkin seorang putri Sriwijaya memperoleh kedudukan yang setinggi itu di istana Jawa Timur? Pada hemat kami, hanya satu jawaban saja yang dapat diberikan, ialah bahwa putri raja Sriwijaya itu menjadi permaisuri Airlangga. Maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada tahun 1023 atau sedikit sebelumnya Airlangga. Maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada tahun 1023 atau sedikit sebelumnya Airlangga mengawini putri prabu Sriwijaya. Tidak perlu ditegaskan bahwa pernikahan itu tidak semata-mata berdasarkan percintaan; memang itu perkawinan politik yang dilangsungkan demi kepentingan kedua pihak. Tentang Airlangga, tidak perlu penjelasan lebh lanjut, memang Airlangga dalam keadaan yang sempit itu menyadari bahwa penyatuan negara tidak dapat dilaksanakannya, selama Sriwijaya meneruskan politik pecah belah di Jawa Timur.
       Tetapi, mengapa Sriwijaya pun ingin memperbaiki hubungan dengan Jawa Timur? Untuk memahami perubahan politik Sriwijaya perlu kita tinjau perkembangan hubungannya dengan negara Cola di India Selatan. Di atas telah kita lihat bahwa hubungan itu baik sekali pada pemerintahan Rajaraja I Cola. Aka tetapi, raja itu mangkat pada tahun 1012 dan digantikan oleh Rajendracola. Mula-mula Ranjendracola meneruskan politik ayahnya; ia berperang dengan raja-raja India dan Sailan tetapi menghargai hubungan yang baik dengan Sriwijaya. Buktinya ialah bahwa Rajendracola memperluas hak-hak istimewa yang oleh ayahnya berikan kepada biara yang didirikan di Nagipattana oleh Sriwijaya. Selama Rajendracola masih sibuk di India, ia mengutamakan persahabatan dengan Sriwijaya. Akan tetapi, pada waktu ia tujuannya di India sudah tercapai, ia memandang lebih jauh. Untuk mengerti aka perubahan itu, perlu kita insafi bahwa negara Cola di pantai timur India Selatan adalah daerah miskin, karena tanahnya pada umumnya tidak subur. Sekarang pun sejumlah besar penduduknya mencari nafkah penghidupan dengan perikanan dan perniagaan, dan banyak di antara mereka meninggalkan daerahnya untuk bekerja di Singapura dan Malaya sebagai kuli (sepintas lalu kata kuli dalam bahasa kita bahasa kita berasal dari bahasa Tamil). Sudah pada zaman lama, perkapalan dan perdagangan sangat dipentingkan di sana. Tetapi Rajendracola bahwa perniagaan itu tidak dapat diperluas sehingga meliputi Asia Tenggara juga, selama Sriwijaya memegang monopoli perniagaan di situ.
       Jadi, guna mengejar politik yang sedemikian, Sriwijaya harus diperlemah lebih dahulu. Memang perubahan sifat politik Cola tidak tersembunyi untuk Sriwijaya. Rupanya sudah sebelum 1020 Rajendracola melancarkan serangan terhadap Sriwijaya, tetapi tanpa hasil yang diharapkannya dari itu. Meskipun serangan pertama itu ditangkis Sriwijaya, namun pemimpin negara dapat menduga bahwa Cola itu akan memperkuat alat kekuasaannya bermaksud memperlemah kedudukan Sriwijaya. Pun serangan itu yang kedua dilakukan Rajendracola pada tahun 1023/1024. Akibat serangan tersebut tidak perlu kami bicarakan dengan panjang lebar; serangan berakibat penghancuran pangkalan-pangkalan yang dikuasai Sriwijaya, sedangkan raja Sanggramawijayottunggawarman ditawan dan diangkut ke India. Diketahui juga, bahwa Sriwijaya, biarpun mengalami pukulan hebat, ternyata masih cukup vital untuk bangkit lagi, meskipun tidak seperti sebelumnya. Dipandang dari sudut mata itu, ternyata bahwa bagi Sriwijaya sudah sebelum 1020 ada alasan yang kuat guna mencari persahabatan dengan Jawa Timur. Mungkin sekali inisiatif diambil oleh Sriwijaya dan disambut dengan gembira oleh Airlangga. Tidak lama kemudian persahabatan yang baru diperkuat dengan pernikahan. Dapat dipersoalkan mengapa oleh Sriwijaya dipilih Airlangga dan bukan seorang raja yang lain yang pada waktu itu berkuasa di suatu bagian Jawa Timur. Pada hemat kami, itu disebabkan karena di antara sekalian mereka hanya Airlangga yang memerintah dengan sah dan berkat kedudukannya itu mempunyai persige besar. Sebaliknya bagi Airlangga persahabatan dengan Sriwijaya berarti pengakuan haknya oleh Sriwijaya. Meskipun kedudukannya sangat diperkuat, nama Airlangga belum mengambil tindakan terhadap lawannya. Sebabnya tidak dapat dipastikan, karena prasasti Calcutta mendiamkan kejadian-kejadian antara tahun 1019-1028. Barangkali Airlangga masih membutuhkan waktu, barangkali juga ia lebih dulu menempuh jalan lain untuk memperlemah lawannya.
        Bagaimana pun juga, baru pada tahun 1028 dimulai perjuangan Airlangga, yang berlangsung terus sampai tahun 1035. Tidak perlu di sini kami daftarkan segala fase dalam perjuangan itu, cukuplah garis-garis besar saja. Ternyata bahwa keadaan di Jawa Timur berkembang sedemikian rupa sehingga musuhnya yang terpenting menjadi seorang yang bergelar Raja Wengker dan bernama Wijaya. Pusatnya di wilayah Madiun, dekat Ponorogo yang sekarang. Hal yang mengherankan ialah kedudukan Haji Wurawari, penyerbu pada tahun 1017; ia pun diperangi Airlangga, tetapi peperangan terhadapnya hanya dibicarakan secara pintas lalu. Kesan yang kita peroleh ialah bahwa dari raja-raja kecil di Jawa Timur ada yang memihak untuk Airlangga dan ada pula yang memihak untuk Wengker, sehingga pada hakikatnya ada dua pihak saja, Airlangga dan raja Wengker masing-masing dengan sekutunya.
       Penafsiran itu dapat menjelaskan mengapa Airlangga menunggu begitu lama sebelum mulai memerangi musuh-musuhnya; lebih dulu ia berunding dengan lawan-lawannya masing-masing. Ternyata bahwa ada yang menggabungkan diri dengan dia, ada pula yang menolak tangan yang diulurkan kepada mereka. Taktik itu berakibat timbulnya dua golongan. Lalu Airlangga memerangi raja Wengker secara tidak bermaksud mengalahkannya pada waktu itu, melainkan menunjukkan kepada sekutunya bahwa ia teguh pada rencananya untuk meruntuhkan Raja Wengker. Dengan jalan demikian ia berharap supaya beberapa sekutu Wengker akan memihak kepadanya atau mengambil sikap netral. Dalam babak kedua, pada waktu musuhnya tidak bersatu padu lagi, ia mendapat kesempatan untuk memukul sekutu-sekutu Wengker satu demi satu. Baru dalam babak ketiga, ketika Wengker sudah disendirikan, ia mengerahkan seluruh bala tentaranya terhadap Raja Wengker, yang terpaksa meninggalkan keratonnya. Ia lalu dikejar dan, pada akhirnya, dikhianati oleh pasukan yang dipimpinnya. Itu terjadi pada tahun 1035 setelah tujuh tahun perjuangan.

                                                      Arca Airlangga di Belahan

       Dalam bagian prasasti Calcutta yang mengenai perjuangan Airlangga banyak disebutkan nama tempat-tempat di Jawa. Bagi kita masih sangat sukar untuk menetapkan di mana letaknya. Kesulitan-kesulitan itu terutama disebabkan karena di Jawa ada banyak nama dusun yang terdapat di hampir setiap kabupaten. Dalam pada itu, ada terutama satu soal yang patut kita periksa ialah apa perjuangan Airlangga terbatas kepada Jawa Timur, apa meliputi bagian-bagian Jawa yang lain juga? Dalam hubungan ini, nama-nama yang terutama menarik perhatian ialah Barat dan daerah Galuh, tempat pertempuran terakhir dengan Raja Wengker, sebelum ia dikhianati oleh pasukannya. Maka tidak dapat dibantah bahwa baik Barat maupun daerah Galuh kedua-duanya menunjukkan ke Jawa Barat, biarpun Barat dan Galuh didapati di Jawa Timur juga sebagai nama-nama dusun. Sebaliknya, Galuh sebagai nama daerah rupanya terbatas kepada Jawa Barat. Memang Wijaya, setelah ia meninggalkan keratonnya di Ponorogo dan lari disusul oleh pasukan Airlangga menuju ke arah Barat, karena daerah utara dan timur sudah dikuasai Airlangga; jadi kemungkinan bahwa ia dikejar sampai ke Jawa Barat tentu ada, tetapi segala sesuatu itu belum tentu merupakan buktinya. Akan tetapi, selain itu, pada hemat kami, ada petunjuk yang kurang diperhatikan sampai sekarang ialah isi prasasti-prasasti Raja Jayabhupati di Jawa Barat. Prasasti-prasasti tersebut pada umumnya dianggap sebagai bukti bahwa Jawa Barat tidak termasuk wilayah kerajaan Airlangga. Lalu beberapa tahun yang lampau prasasti-prasasti tersebut diselidiki dengan lebih mendapat dengan hasil yang sangat berlainan. Bahasanya ialah bahasa Jawa Kuno, bukan bahasa Sunda Kuno, sedangkan perumusannya tentu dipengaruhi oleh prasasti-prasasti di Jawa Timur. Itu ternyata terutama dari sumpah, sedangkan raja memakai istilah wisnumurti seperti Airlangga. Selain itu, perlu kita perhatikan bahwa prasasti-prasasti dari Jawa Barat antara waktu Purnawarman (abad V atau VI) dan Pajajaran (abad XIV) sangat jarang sekali, tetapi prasasti yang ada pada kita dipermaklumkan justru dari masa perjuangan Airlangga. Sekalian petunjuk tersebut, pada hemat kami, merupakan argumen bahwa harus ada hubungan antara pemerintahan Jayabhupati dan perjuangan Airlangga. Mungkin sekali Jayabhupati harus kita pandang sebagai seorang vazal Airlangga. Juga tentang Jawa Tengah, pada khususnya pegunungan Dieng, ada petunjuk yang demikian. Pendek gambar yang sekarang kita peroleh dari perjuangan Airlangga agak berbeda dengan bagian kitab Krom tentang perjuangan tersebut. Krom menekankan bahwa sepanjang tahun seluruh perjuangan Airlangga terbatas kepada bagian kecil dari daerah Jawa Timur. Pendapat itu yang dirumuskan hampir tigapuluh tahun yang lalu masih diambil oper dalam semua kitab-kitab sekolah, meskipun tidak lagisesuai dengan taraf pengetahuan kita yang sekarang.
       Setelah kemenangan atas Raja Wengker pada tahun 1035, segala akibat dari pralaya sudah dihapuskan dan negara diciptakan kembali. Akan tetapi, negara yang baru tidak sama dengan negara yang dihancurkan itu. Pada tahun 1035 tercapai keadaan stabil di Indonesia yang tidak akan mengalami perubahan essenstiil dalam hampir dua setengah abad yang kemudian. Masa pertentangan antara Jawa Timur dan Sriwijaya telah berakhir dan tercapailah suatu keadaan yang dapat kita namakan ko-eksistensi; seluruh dunia Nusantara, termasuk Semenanjung Malaka, terbagi atas dua suasana besar. Bagian barat (antara lain Sumatera, Semenanjung Malaka, dan Kalimantan Barat) tetap di bawah pengaruh Sriwijaya, sedangkan bagian timur (antara lain Pulau Jawa, Kalimantan Timur dan semua pulau yang di sebelah timur dari itu) termasuk suasana Jawa Timur. Sebenarnya yang sudah dibayangkan Dharmawangsa Teguh pada akhirnya dan setelah perjuangan selama hampir 50 tahun terlaksana berkat keteguhan hati Airlangga, yang tidak menyimpang dari cita-cita yang dirumuskan pada waktu pelaksanaannya rupanya mustahil menurut pertimbangan-pertimbangan rasional. Kami yakin bahwa dengan perjuangan Airlangga tercapai selangkah besar pada jalan menuju ke kesatuan Indonesia.
       Sesudah tahun 1035 Airlangga memerintah dengan damai atas negara yang diciptakannya dan berusaha sekuat tenaga guna memberi isi kepada apa yang diperjuangkannya. Prasasti-prasasti dari masa antara 1035-1042 memberi kesan dari usaha-usahanya guna memajukan kemakmuran rakyat. Tindakan-tindakannya antara lain mengenai pengairan, perhubungan melalui darat dan laut, perniagaan, dan kehidupan rohani. Tentang pengairan --atau sebaiknya pengaturan sungai-sungai pada umumnya-- diberikan beberapa keterangan penting dalam sebuah prasasti yang berjangka tahun 1037. Telah kita lihat bahwa Sungai Brantas sudah ada pada zaman sebelum Airlangga banyak menimbulkan kesukaran. Maka pada pemerintahan Airlangga tanggul sungai itu tidak tahan lagi dan sungai membanjiri tanah-tanah di daerah Kelagen yang sekarang. Lebih dulu, rakyat yang ditimpa bencana itu mencoba memperbaiki tanggul sungai, tetapi dengan sia-sia. Ketika sudah jelas bahwa tugas yang sebesar itu tidak dapat dipikul oleh beberapa dusun saja, disampaikan sepucuk surat permintaan kepada sang Prabu. Maka kemudian Airlangga mempertimbangkan apa pusat wajib bertindak dalam kejadian yang sedemikian. Pertimbangan-pertimbangan tersebut berdasarkan filsafat negara pada waktu itu; pendek kata, sungguh pun sang Prabu harus melindungi sekalian penduduknya namun mereka itu harus lebih dulu menolong dirinya; baru pada hal usaha mereka tidak berhasil, maka sang Prabu wajib mengambil segala tindakan yang perlu. Tetapi pada hal itu, tindakan-tindakan negara harus diambil sedemikian rupanya sehingga bencana-bencana tidak akan terjadi lagi. Selain itu, tidak dilupakan pertimbangan-pertimbangan yang sangat praktis sifatnya, karena penderitaan rakyat pajak pun tidak akan masuk dalam kas negara, sehingga negara itu menjadi korban jika tidak diambil tindakan.
       Prasasti itu pun juga memberikan keterangan yang penting mengenai perkapalan dan perniagaan. Disebutkan lebih lanjut bahwa pengaturan sungai itu dijalankan juga demi kepentingan kaum pedagang yang sekarang dapat berlayar terus sampai pelabuhan Hujunggaluh, mereka itu membawa benda-benda perniagaan dari pulau-pulau yang lain dan memperdagangkannya di Hujunggaluh tersebut. Sebelum pulang ke pulau-pulaunya masing-masing mereka memuat hasil-hasil bumi dalam kapal mereka guna membawanya kembali. Dengan kata-kata lain, Hujunggaluh itu menjadi suatu pelabuhan pusat untuk perniagaan antar pulau. Tentang letaknya Hujunggaluh tersebut pada umumnya dikatakan bahwa bertempat di Surabaya yang sekarang. Kami berpendapat bahwa itu tidak mungkin. Karena dalam prasasti Kelagen dikatakan bahwa pengaturan sungai itu sangat menngembirakan para pedagang dari pulau-pulau yang lain yang sekarang dapat berlayar terus sampai ke Hujunggaluh, jadi Hujunggaluh tersebut tentu letaknya lebih di sebelah hulu sungai dari Kelagen. Tempatnya mungkin tidak jauh dari Mojokerto yang sekarang.
       Sedangkan Hujunggaluh menjadi pelabuhan utama untk perniagaan antar pulau, maka pelabuhan antar negara bertempat di Kambang Putih, yakni di atau dekat Tuban yang sekarang. Oleh Airlangga diambil sejumlah tindakan untuk memajukan perniagaan di sana antara lain pembebasan dari beberapa jenis pajak. Orang-orang asing yang berdagang di sana berasal dari jauh. Menurut daftar yang terdapat beberapa kali dalam prasasti-prasasti Airlangga, termasuk pedagang dari India Utara, India Selatan, Sailan, Burma, Kamboja, dan Campa. Hal yang menarik perhatian kita ialah ketiadaan orang-orang Cina, di mana perniagaan luar negeri menjadi urusan pemerintah, semata-mata berdagang dengan Sriwijaya seperti dulu. Memang penggunaan pelabuhan di Tuban menuntut pengaturan jalan-jalan, yang menghubungkan pelabuhan itu dengan pusat negara yang mungkin sekali letaknya agak di pedalaman, menurut keyakinan kami di daerah Mojokerto. Sejumlah prasasti dari zaman Airlangga yang didapati di daerah Babat, Ngimbang, dan Ploso menunjukkan bahwa justru daerah melalui jalan dari Tuban ke sebelah selatan menuju ke Jombang mendapat perhatian besar dari Airlangga.
       Perhatian Airlangga kepada agama sebagai dasar kehidupan sangat besar sekali. Hal itu ternyata dari semua prasastinya, Airlangga setelah mangkat didewakan sebagai dewa Wisnu dan patungnya yang masyhur, yang menggambarkannya sedang duduk di atas burung Garuda, telah menjadi lambang universitas kita. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa Airlangga menjadi penganut mazhab Wisnu; sebenarnya pendewaannya sebagai Wisnu disebabkan karena persamaan antara Dewa Wisnu dan Prabu Airlangga dalam menyelamatkan dunia dari segala penghancur. Perhatian Airlangga diberikan kepada ketiga mazhab besar yaitu agama Siwa, agama Buddha, dan agama Resi, ialah agama kaum pertapa. Ketiganya sama haknya untuk mendapat perlindungan dari pemerintah; pun dari prasasti-prasasti tidak ternyata bahwa Airlangga memihak untuk salah satu dari ketiga mazhab tersebut. Mungkin sekali Airlangga, seperti setiap manusia, mempunyai kepercayaannya tetapi selaku prabu ia menganggap kewajibannya untuk tidak memilih secara resmi.
       Untuk memahami cita-cita Airlangga kita harus menginsafi bahwa ia seorang manusia yang hidup pada abad XI, buka abad XX. Cita-cita Airlangga, dalam garis besarnya selaras dengan kewajiban raja menurut kitab-kitab tentang ilmu negara di India Lama dan sepenuhnya dapat dimengerti hanya atas dasar itu. Di India, alam semesta dipandang sebagai suatu kosmos, suatu keseluruhan yang teratur, dalam mana setiap dewa, setiap orang, setiap binatang dan segala sesuatu yang tidak bergerak mempunyai tempatnya. Tempat itu ditetapkan oleh hukum karman sebagai daya yang menggerakkan segala-galanya. Hukum karman itu berarti antara lain bahwa segala sesuatu yang diperbuat membawa akibatnya yang tidak dapat ditiadakan dengan cara bagaimanapun juga. Dewa-dewa pun patuh kepada hukum itu, karena karman itu abadi sifatnya. Kewajiban utama bagi dewa, manusia, dan hewan ialah untuk hidup sesuai dengan svadharma, dharma bagi dirinya; svadharma untuk harimau ialah membunuh binatang dan manusia dan memakan dagingnya, jadi tidak menjadi dosa. Dunia manusia pun terbagi atas sejumlah golongan yang masing-masing mempunyai svadharmanya, yang tidak boleh diabaikan. Seorang Brahmana wajib mempelajari kitab-kitab agama dan ilmu pengetahuan dan mengajarnyadan ia dilarang untuk misalnya mengerjakan tanah atau berdagang. Sebaliknya seorang Sudra harus mengerjakan tanah tetapi dilarang mempelajari kitab-kitab suci. Mereka yang menepati segala kewajiban itu, tentu akan dilahirkan kembali dalam bentuk yang lebih tinggi. Siapa yang mengabaikannya akan direndahkannya. Kewajiban-kewajiban yang sedemikian berbeda-beda untuk setiap kasta, dalam kasta berbeda untuk lelaki dan perempuan, lalu berbeda-beda menurut umur tersebut. Seorang prabu wajib untuk berturut-turut hidupnya dalam tiga asrama atau tiga masa kehidpan. Dalam asrama yang pertama ia mempelajari kitab-kitab agama, hukum dan sebagainya, dalam asrama yang kedua ia memerintah dan dalam masa yang ketiga, yang dimulai pada waktu tanggung jawab atas pemerintahan dapat diserahkan kepada putra yang sudah dewasa, ia mengundurkan diri dari dunia untuk hanya mengutamakan selamat dunia dengan jalan pikiran. Dalam masa kedua itu, ia seakan-akan menjadi personifikasi dari Dharma; ia mengatur negara sedemikian rupa sehingga setiap orang dapat hidup sesuai dengan dharmanya; supaya Brahmana sempat mempelajari kitab-kitab, supaya petani selalu dapat mengerjakan tanah dan sebagainya. Ia senantiasa harus waspada, agar kewajiban tersebut ditepati dan harus menghukum mereka yang melanggarnya. Jika pelanggaran itu banyak dan tidak dihukum seperlunya, baik raja maupun negara akan menjadi korban.
        Maka isi prasasti-prasasti Airlangga membuktikan bahwa ia senantiasa berusaha memerintah dan hidup sesuai dengan kewajiban tersebut. Haji Wurawari telah bertindak dengan engan jalan yang tidak sesuai dengan tata tertib itu, sehingga dharma itu terganggu, maka kemudian Airlangga terus mengejar tujuan untuk menyelamatkan dharma, yakni menciptakan kembali negara yang dimusnahkan Wurawari itu. Dalam prasasti tentang kejadian-kejadian di Kelagen, diuraikan bahwa dalam keadaan darurat itu sang prabu wajib bertindak dengan memperkuat tanggul tersebut. Hanya dengan jalan demikian petani terus dapat melakukan kewajibannya, ialah menanam padi dan pedagang terus dapat membawa benda-benda perniagaan ke Hujunggaluh. Pun telah kita lihat bahwa Airlangga menepati kewajiban untuk hidup berturut-turut dalam tiga asrama. Masa yang pertama ialah masa pelajaran, selama Airlangga hidup di kalangan kaum pertapa; yang kedua masa pemerintahan sebagai prabu. Bagaimana tentang masa ketiga? Jika kita berpegang teguh kepada sumber sejarah dalam arti sempit, maka sebenarnya tidak dapat dibuktikan bahwa Airlangga jadi meninggalkan keratonnya untuk mengakhiri kehidupannya sebagai seorang pertapa. Menurut perjanjian pada masa ia bertapa, ia wajib membangun asrama yang indah apabila ia berhasil meruntuhkan musuhnya dan menciptakan kembali negaranya. Tetapi dalam perjanjian tersebut tidak dirumuskan bahwa Airlangga sendiri berniat menempatinya. Tetapi, petunjuk bahwa demikian halnya ada banyak. Yang paling terkenal ialah tradisi yang terkandung dalam kitab Calon Arang, yang disungguhkan oleh beberapa petunjuk lainnya. Maka sesungguhnyapun bukti yang exact tidak dapat diberikan namun bagi kita tidak ada alasan untuk meragu-ragukan kebenaran tradisi.
       Yang paling menarik perhatian dalam kehidupan Airlangga ialah kepercayaan mistis bahwa ia dipilih dewa-dewa untuk meniadakan pralaya dan membangun negara yang baru yang berasaskan perikeadilan. Kepercayaan yang teguh itu nampak dalam prasastinya. Ia senantiasa merasa dipimpin oleh dewa-dewa, yang mencintainya dan menugaskannya untuk menghilngkan penjahat dari bumi, memulihkan kemakmuran dan kegembiraan rakyat dan menghidupkan kembali Hukum Suci sebagai sendi masyarakat. Kepercayaan itu tidak pernah meninggalkannya, bahkan dalam keadaan yang paling genting ia terus percaya bahwa kebenaran akan menang pada akhirnya. Kepercayaan itulah yang senantiasa membangkitkan semangatnya dan menjadi kekuatannya guna terus teguh pada cita-citanya.
       Itulah sebabnya utama maka kita yang sekarang, 900 tahun kemudian terus menghormati Airlangga. Maka kami mengakhiri pidato ini sambil mengucapkan harapan agar kita sekalian, apabila anggota keluarga Universitas Airlangga ternyata patut memegang nama Airlangga dan senantiasa menjunjung tinggi cita-citanya.

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Aku memandang suka dan duka
Berganti-ganti di dalam hati

Apa gerangan masa di muka
Jadi bangsa yang kucinta ini
Adakah tanda megah kembali
(Sanusi Pane, Puspa Mega)

My Blog List

Consectetuer

Popular

Blogroll

Total Tayangan Halaman

About

Labels

Labels

Dari Mana

widget

Translate

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Labels

EDIT DESCRIPTION HERE

Followers

Search This Blog