Ratu Kedaton Menjadi Pemimpin Pemberontak

Zaman baheula pemberontakan selalu dimulai dari perjuangan untuk kepentingan pribadi. Yang menarik dari cerita ini ialah bahwa pencetus ide dan pengatur siasat serta pemimpin pelaksananya adalah seorang wanita, Ratu Kedaton, putri Surya Ing Alaga.

       KETIKA Sultan Hamengkubuwana V wafat tanggal 4 Juni 1855, ia meninggalkan permaisurinya, Ratu Kedaton, dalam keadaan hamil tua. Ketika kemudian ia melahirkan seorang putra pada tanggal 17 Juni 1855 dan diberi nama R.M. Muhammad, para pangeran yang sudah lebih senior mulai melakukan intrik, sehingga menimbulkan dua isu pokok, yaitu bahwa seorang putra raja yang lahir "secara anumerta" menurut adat Jawa tidak berhak atas tahta, dan bahwa sebenarnya ayah dari si anak yang baru lahir itu, masih diragukan. Pemerintah Hindia Belanda sendiri kemudian hanya mengangkat putra yang baru lahir itu sebagai Pangeran Suryenglaga dan menunjuk adik sultan yang baru wafat menjadi Sultan Hamengkubuwana VI (1855-1877).

Kurang Cerdas
       Kejanggalan dalam cara pengangkatan dan penggantian sultan ini menyebabkan timbulnya berbagai reaksi menentang. Salah satu di antaranya adalah persekutuan yang timbul di daerah Klaten pada tahun 1864. Gerakan mereka bertujuan menghancurkan Keraton Yogyakarta dan Surakarta sekaligus, dan memindahkan pusat pemerintahan ke daerah Prambanan, serta mencalonkan Pangeran Suryengalaga sebagai raja. Tergerak oleh adanya gerakan yang mencalonkan putranya menjadi raja ini, meskpun akhirnya gerakan tadi dapat ditumpas, mulailah Ratu Kedaton melakkan usaha-usaha yang bertujuan menghimpun kekuatan untuk menjadikan putranya sebagai pengganti raja.
      Namun figur Suryengalaga sendiri tidak membantu ke arah tercapainya tujuan tersebut. Baik sumber tradisional maupun laporan pihak Belanda menyatakan bahwa sang pangeran ini berperawakan gemuk pendek, lamban, tidak lincah, kurang cerdas, dan kurang bersemangat, sehingga ia dikategorikan sebagai tokoh yang lemah dalam segala hal. Tidaklah mengherankan bila pada tahun 1872 pemerintah Hindia Belanda menunjuk putra Sultan Hamengkubuwana VI sebagai putra mahkota dan yang kemudian naik tahta sebagai Sultan Hamengkubuwana VII pada tahun 1877. Meskipun demikian Ratu Kedaton tidak berputus asa dan mulailah ia mengadakan pesekutuan dengan beberapa pihak di kalangan istana.

Karena madunya semakin menanjak
       Orang pertama yang diajaknya bersekutu adalah Ratu Kencana, istri pertama Sultan Hamengkubuwana VII. Tokoh ini memang agak tersingkirkan gara-gara ia belum juga mampu memberi putra yang diharapkan akan menjadi pengganti raja kelak, kecuali dua orang putri. Kecuali itu juga karena sultan lalu mengambil istri kedua, yang namanya semakin menanjak, karena berhasil memberi seorang putra. Ratu Kencana juga dihadapkan masalah keuangan yang serius, yang diharapkannya akan dapat teratasi dengan persekutuannya dengan Ratu Kedaton. Sumber-sumber Belanda menyebutkan bahwa Ratu Kencana ini memiliki banyak hutang yang terakumulasi semenjak ia masih remaja. Sebab, tidak sebagaimana layaknya putri bangsawan pada masa itu, semenjak remaja ia sudah banyak bergaul dengan kalangan orang Eropa dan turut pula dalam perkumpulan-perkumpulan mereka, sehingga memiliki sifat boros. Sebaliknya, Ratu Kedaton adalah seorang tokoh yang kaya raya, baik dalam bentuk uang, tanah maupun perhiasan.

                                                      Sultan Hamengkubuwana VI

      Pada tahun 1880 kedua tokoh tadi mengikat perjanjian yang intinya adalah bahwa kelak Pangeran Suryengalaga yang akan menjadi raja dengan permaisurinya salah seorang putri Ratu Kencana. Sebagai ibu dan ibu mertua raja, kelak mereka akan dapat mempergunakan kelemahan Suryengalaga dalam pemerintahan, sehingga segala kebijakan akan dapat mereka atur.

Dibantu orang-orang istana
       Namun cara resmi ini pun gagal, sebab pada tanggal 5 Maret 1883 putra Sultan Hamengkubuwana VII dari istri kedua yang baru berusia sepuluh tahun, R.M. Kadiat, diangkat sebagai putra mahkota. Keadaan inilah yang lalu memaksa Ratu Kedaton memilih jalan kekerasan, agar segala rencananya dapat berjalan sebagaimana yang diharapkannya. Untuk menempuh cara kekerasan sudah tentu diperlukan beberapa pihak lagi. Ada dua pihak yang kemudian dihubungi Ratu Kedataon. Yang pertama adalah mereka yang masih ada hubungan keluarga dengan dirinya, yaitu kakaknya sendiri, Tumenggung Sumadiningrat dan ipar anaknya, Tumenggung Gandakusuma. Namun seberapa jauh keterlibatan mereka berdua tidak pernah secara jelas terungkapkan.
       Yang menyokong gerakan ratu sepenuhnya adalah: Tarunaatmaja dan Suwindu (putra Sumadiningrat), tiga orang adik laki-laki ratu, yaitu R.M. Banteng, R.M. Sudigbyo, dan R.M. Mukaram. Selanjutnya sembilan orang dari kalangan istana yang juga membantu ratu adalah: R.M. Sumadilaga, R.M. Sumadipraja (cucu Sultan Hamengkubuwana II dan saudara sepupu ratu), R.M. Atmadilaga (mertua Pangeran Suryengalaga), R.M. Prawiramerjaya, Raden Kartareja, YUdapura, Sasramurcita, Den Bagus Sudiman, dan Raden Prawiraarja. Para bangsawan ini masih ditambah dengan sejumlah besar punggawa keraton serta pengawal yang berdiri sepenuhnya di belakang ratu.

Pernikahan Politis
       Selanjutnya, sebagaimana biasa dilakukan oleh para penggerak perlawanan di masa lampau, pihak kedua yangdihubungi ratu adalah tokoh-tokoh spiritual. Tokoh agama terpenting yang memeberikan dukungan sepenuhnya adalah Haji Istat, seorang ulama yang tinggal di Desa Wanakrama dekat Kali Opak, dekat Yogyakarta dan Imogiri. Ulama ini masih keturunan para Pangeran Kajoran, ulama besar yang amat disegani dan amat menentukan jalannya sejarah Mataram. Sebagaimana diketahui, salah seorang keluarga Kajoran, yaitu Panembahan Rama, adalah mertua Trunajaya yang berhasil menghancurkan ibukota Mataram pada tahun 1677. Begitu pula dengan pemberontakan Untung Surapati; ia amat berhasil karena adanya bantuan dan dukungan dari Patih Nrangkusuma, yang juga masih keluarga Kajoran. Cara yang ditempuh ratu adalah dengan mengikat tali perkawinan antar mereka. R.M. Atmaraja, adik ratu, dikawinkan dengan putri Haji Istat; sementara putra Haji Istat, Haji Umar, dikawinkan dengan adik perempuan R.M. Atmaraja.
       Setelah segalanya dirasa cukup, mulailah Ratu Kedaton menyusun siasat. Semula ia bermaksud mengirimkan petisi pada pihak Belanda yang menyatakan ketidaksetujuannya atas pengangkatan R.M. Kadiat sebagai putra mahkota. Namun ia segera sadar bahwa cara demikian itu tidak akan pernah berhasil. Karena itulah ratu beserta segenap pengikutnya berniat meninggalkan keraton. Ia sadar sepenuhnya bahwa tindakan demikian itu berarti pemberontakan. Namun tekadnya sudah bulat. Ia akan menyingkir ke distri Remame, yang terletak di daerah Magelang. Sejak zaman Mataram awal daerah ini diperintah oleh seorang bupati. Ketika Mataram kemudian pecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta, distrik Remame masuk wilayah Yogyakarta dan bupatinya menjadi menantu Sultan Hamengkubuwana I. Meskipun ketika Inggris berkuasa di Indonesia, Raffles mencaplok daerah Remame dan memasukkannya ke wilayah Magelang, namun keturunan para bupatinya masih banyak yang berkuasa sebagai kepala desa di daerah tersebut. Dari mereka inilah ratu berharap akan memperoleh dukungan dan bantuan kekuatan.

Dikepung Belanda dan Bupati Sleman
       Hari Senin, tanggal 2 April 1883 Ratu Kedaton mengirim instruksi pada segenap pengikutnya, agar mereka bersiap-siap untuk berangkat meninggalkan istana seminggu kemudian. Namun pada pagi buta tanggal 5 April 1883 kemenakan ratu, Tarunaatmaja, datang melapor bahwa ayahnya (yaitu Sumadiningrat, yang juga kakak ratu sendiri) mengetahui sepenuhnya rencana ratu dan melarang putranya turut melibatkan diri dalam gerakan tersebut. Ratu segera menyadari bahwa rencananya sudah bocor dan mungkin kakaknya itu akan melapor pada pihak Belanda. Karena itu ratu memutuskan bahwa pelariannya akan dilakukan pagi itu juga. Ia mengirim Tarunaatmaja kembali pada ayahnya dengan pesan bahwa ratu akan datang keesokan harinya guna membahas masalah itu. Perhitungan ratu, andaikata memang Sumadiningrat akan melapor pada Belanda, hal itu baru akan dilakukannya keesokan harinya, setelah Tarunaatmaja menghadap. Sementara itu ratu beserta segenap pengikutnya sudah berada jauh dari ibukota.
      Pagi hari tanggal 5 April 1883, tiga buah kereta kuda meninggalkan kota Yogyakarta menuju arah utara. Salah satu di antara kereta-kereta itu berisi Ratu Kedaton dan sebuah lagi ditumpangi Pangeran Suryengalaga. Kereta-kereta dipacu sekencang-kencangnya. Sesampai di dekat Sungai Winanga, rombongan bergabung dengan sejumlah pasukan bersenjata yang sudah menanti. Setelah kuda-kuda kereta diganti, rombongan yang bertambah besar itu bergerak pula ke arah Magelang. Sementara itu, tanpa diketahui oleh ratu, sejumlah 25 orang sedadu Belanda di bawah Letnan Kohn menyusul dan membututi rombongan terdahulu. Selain itu juga bupati Sleman, Suryanagara, dengan pasukannya mencegat rombongan ratu diperbatasan kabupaten. Ketika ketiga pasukan bertemu, pertempuran tak terelakkan lagi, sebab jalan maju dan mundur ratu tertutup. Namun dalam pertempuran kacau yang terjadi, ratu beserta sejumlah anggota pasukan berhasil meloloskan diri, walaupun harus meninggalkan perbekalan serta persenjataan; sedangkan di pihak Belanda dua orang sedadu tewas dan enam lainnya luka-luka. Pihak Belanda, yang semula terlampau menganggap ringan kekuatan lawan, segera mengirimkan tambahan bala bantuan dari Yogyakarta, ditambah dengan pasukan residen Kedu, yang dikerahkan dari arah utara untuk mengepung.

Di Kaki Gunung Merapi
       Keesokan harinya, 6 April 1883, Ratu Kedaton beserta para pengawalnya dapat dikepung di Desa Balerante, di kaki selatan Gunung Merapi. Namun keesokan harinya lagi, Ratu Kedaton yang telah berusia mendekati lima puluh tahun itu berikut sejumlah pengawal pribadi berhasil menembus kepungan dengan menuruni tebing sngai yang curam, menyeberangi Sungai Krasak dan tiba di Desa Sempon di distrik Remame, kira-kira sebelah timur Salam sekarang. Sedangkan Pangeran Suryengalaga dapat ditawan Belanda. Di Desa Sempon inilah Ratu Kedaton baru sadar bahwa selain jalan mundur terhalang oleh jurang dan sungai yang baru diseberangi, di seberang sungai juga menghadang pasukan Letnan Kohn, juga di hadapan mereka sudah menanti pasukan residen Kedu. Ratu Kedaton terpaksa menyerah dan keesokan harinya, 8 April 1883, rombongan ratu dan pangeran dikawal kembali menuju Yogyakarta.
      Tindakan Belanda selanjutnya adalah menyerbu Desa Wanakrama, namun Haji Istat dan putranya, Haji Umar, dapat meloloskan diri dari kepungan. Beserta sejumlah besar pengikutnya, mereka menyingkir ke Karang Semut, di tepi Kali Opak, sebelah selatan Yogyakarta. Pihak Belanda terus melakukan pengejaran. Dari Karang Semut, Haji Istat dapat pula mendobrak kepungan dan dengan jalan melingkar ia dapat menyingkir ke Desa Kembang Arum di utara, di kaki Gunung Merapi. Namun karena usianya yang sudah lanjut, Haji Istat akhirnya menyerah juga, setelah lebih dari dua minggu dikejar-kejar pasukan Belanda. Sedangkan Haji Umar beserta pengikutnya masih terus menyingkir ke daerah Bagelen.

Tertangkap Basah
       Segera setelah semua pihak yang terlibat dalam persekutuan Ratu Kedaton ditangkap, diadakan pemeriksaan dan interogasi secara maraton. Dari beria acara pemeriksaan serta laporan-laporan yang dibuat residen Yogyakarta, J. van Baak, dapatlah diketahui rentetan kejadian yang sebagian episodenya diuraikan di atas. Pihak keraton sendiri kemudian menulis kitab Babad Suryenggalan, yang mengisahkan secara terperinci jalannya peristiwa pemberontakan. Dari pemeriksaan itu pula baru terungkap bahwa sebenarnya pihak keraton dan Belanda sudah mengetahui rencana Ratu Kedaton untuk meninggalkan istana tanggal 3 April 1883. Namun baik pihak keraton maupun Belanda telah sepakat untuk membiarkan ratu dan para pengikutnya memulai gerakan mereka, sehingga mereka benar-benar "tertangkap basah". Dari interogasi yang dilakukan secara maraton dapat diketahui semua pihak yang terlibat. Hukuman yang dijatuhkan pada mereka bermacam-macam. Haji Istat yang menyerah dibawa kembali ke desa asalnya, Wanakrama. Di sini terjadi sedikit insiden dengan para pengawal yang menangkapnya. Pertempuran kecil terjadi lagi dan dalam peristiwa itu Haji Istat terbunuh. Haji Umar yang menyingkir ke daerah Bagelen, baru dapat ditangkap pada tahun 1887 dan ia pun dijatuhi hukuman mati. Ratu Kedaton dan Pangeran Suryengalaga dibuang ke Manado. Sementara itu para pemimpin gerakan lainnya ada yang diasingkan ke Bengkulu dan ada juga yang ke Pulau Banda.

A.S. Wibowo, Intisari Mei 1983   

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Aku memandang suka dan duka
Berganti-ganti di dalam hati

Apa gerangan masa di muka
Jadi bangsa yang kucinta ini
Adakah tanda megah kembali
(Sanusi Pane, Puspa Mega)

My Blog List

Consectetuer

Popular

Blogroll

Total Tayangan Halaman

About

Labels

Labels

Dari Mana

widget

Translate

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Labels

EDIT DESCRIPTION HERE

Followers

Search This Blog