Peranan Adat dalam Masalah Hukum pada Masa Majapahit


                                                                               I

       Tidak dapat diingkari lagi bahwa pengaruh budaya India sangat meresap dalam pelbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa Kuno. Pengaruh India ini pun sangat terasa sekali dalam mengatur kehidupan kemasyarakatan yang berpedoman kepada kitab perundang-undangan yang berlaku pada masa itu. Di dalam naskah Nagarakrtagama, pupuh LXXIII:1 dikemukakan bahwa Raja Hayam Wuruk berusaha keras agar bertindak dengan bijaksana untuk tercapainya kesejahteraan rakyat. Dalam melaksanakan peradilan tidak boleh bertindak serampangan, tetapi harus mengikuti segala apa yang tercantum dalam kitab agama. Segala keputusan yang diambil harus seadil mungkin sehingga semua pihak merasa puas.
       Naskah perundang-undangan Jawa Kuno yang isinya berkenaan dengan astadasawyawahara (18 jenis pelanggaran) sampai saat ini baru ada dua naskah yang diterbitkan, yaitu naskah perundang-undangan Agama dan Sarasamuccaya, sedangkan naskah perundang-undangan Jawa Kuno lainnya seperti Nawanatya, Rajapratigundala, Purwadigama, dan Praniti Raja Kapa-kapa dapat dijumpai dalam buku Literature of Java karangan Dr. Th.Gh.G.Th. Pigeaud. Semua naskah perundang-undangan Jawa Kuno itu merupakan cuplikan dari kitab Manawadharmasastra dan kitab-kitab Hindu lainnya yang berasal dari India. Kitab-kitab itu diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno oleh pujangga-pujangga Jawa yang mahir bahasa Sansekerta serta mengalami perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan kebudayaan Jawa (van Naerssen 1941).
       Sebagai bahan pembanding antara perundang-undangan Jawa Kuno dan kitab Manawadharmasastra dari India, akan dibahas sebagian dari pasal-pasal naskah perundang-undangan Agama dan Kutaramanawa. Menurut J.C.G. Jonker, naskah perundang-undangan agama selain memuat pelbagai pasal dari kitab Manawadharmasastra juga memuat pasal-pasal yang langsung diambil dari hukum-hukum Hindu (Jonker 1885:17-18). Timbulnya perbedaan redaksi atau isi antara pasal-pasal asli dan pasal-pasal saduran menurut Slametmulyana disebabkan oleh yang menyadur tidak bersikap asal menyadur atau menerjemahkan, tetapi ia memilih pasal-pasal yang dapat diterapkan dalam masyarakat Jawa Kuno. Jika perlu, diadakan sekedar perubahan sehingga pasal-pasal yang bersangkutan sesuai dengan keinginan raja atau dengan keadaan masyarakat (Slametmulyana 1967: 14-15).

                                                                            II

       Dari sekian banyak perbedaan antara kitab Manawadharmasastra antara naskah perundang-undangan agama, perbedaan yang paling menyolok adalah pasal mas kawin atau tukon. Kata tukon berasal dari kata tuku (beli). Jadi secara harfiah tukon berarti 'pembelian', sedangkan dalam pengertian umum tukon sejumlah uang atau benda yang diserahkan oleh pihak mempelai laki-laki kepada orang tua mempelai wanita sebelum perkawinan dilangsungkan sebagai uang pembelian mempelai wanita. Penerimaan tukon ini adalah sebagai tanda pengikat bahwa perkawinan antara gadis yang telah dibeli dan pemuda yang telah membayar tukon kepada ayah gadis itu akan dilaksanakan pada hari yang telah ditetapkan. Sampai saat ini tukon masih merupakan salah satu ciri kebudayaan bangsa Indonesia yang masih umum dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan, walaupun telah banyak mengalami perubahan.
      Dalam masyarakat Jawa sekarang, pada waktu pertunangan pemuda memberikan hadiah pertunangan yang disebut peningset, sebagai tanda ikatan. Biasanya berwujud perhiasan atau 'kain pakaian sapengadeg' yaitu bahan pakaian lengkap dari ujung kaki sampai ke atas, antara lain, kain dan kebaya. Pemberian peningset ini diartikan sebagai alat beli atau tukon, karena seolah-olah anak gadis itu dibeli oleh pihak keluarga laki-laki (Wajong 1974: 29). Sebagai ukuran mas kawin atau tukon yang paling penting adalah hubungan dengan kelompok kekerabatan, kedudukan sosial yang tinggi, kekuasaan politik, kedudukan ekonomi, dan sebagainya. Jumlah tukon terutama ditentukan oleh kedudukan sosial dari keluarga si gadis. Aturan adat mengenai perbedaan jumlah tukon didasarkan atas perbedaan kedudukan sosial yang tidak seragam di berbagai daerah (Borahima 1977: 26). Misalnya, di daerah Minahasa, pada pertemuan-pertemuan antara keluarga mempelai laki-laki dan perempuan antara lain membicarakan soal tukon. Juru bicara dari kedua belah pihak melakukan tawar menawar sambil mengunyah pinang, sekarang lebih banyak sambil minum teh, sampai tercapainya persetujuan mengenai jumlah uang atau barang-barang yang akan dierahkan kepada orang tua mempelai wanita (Adam 1976: 36).

                                                  Salah satu lontar dari Bali

       Dalam perundang-undangan agama terdapat sembilan pasal yang isinya khusus mengatur tukon (Slametmulyana 1967: 142-144). Isi dari kesembilan pasal itu adalah:
  1. Jika seorang gadis telah menerima barang yang dimaksud sebagai tukon, kemudian kawin dengan laki-laki lain karena menaruh cinta kepada laki-laki lain, sedangkan orang tuanya tinggal diam, bahkan mengawinkannya, perbuatan itu disebut: mengawinkan gadis larangan. Segala tukon pelamar pertama harus dikembalikan dua kali lipat. Ayah si gadis dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa. Hal itu disebut amadal tukon (menolak tukon). Suami-istri yang menikah, masing-masing dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa.
  2. Barang siapa memberikan tukon kepada seorang gadis, sedangkan gadis itu kemudian meninggal, tukon itu tidak usah dikembalikan. Peristiwa itu disebut kematian tukon.
  3. Seorang gadis berhak membatalkan perkawinannya setelah di tempat tidur mengetahui bahwa suaminya menderita penyakit (yang mengurungkan perkawinan), seperti sakit kuning, impoten, banci; mempunyai penyakit buduk pada perut, pada paha, pada pantat; menderita penyakit ayan atau gila. Dalam hal yang demikian gadis berhak untuk membatalkan perkawinannya. Ia wjib mengembalikan tukon dua kali lipat.
  4. Jika seorang gadis bangsawan telah menerima tukon dari seorang pemuda, kemudian pemuda itu berkata bahwa ia ikan menjalankan dharma (keagamaan), atau berkata bahwa ia akan mencari uang, tukon pemuda itu tetap pada gadis itu. Namun, jika ternyata ucapan pemuda itu bohong, terutama jika pemuda itu seorang guru, akan dikatakan kematian dharma (maksudnya tidak mengenal darma); jika demikian, gadis itu dipermainkan. Tukon akan menjadi milik si gadis, tidak usah dikembalikan kepada pemberinya. Tukon itu disebut stridhana (harta milik istri) dalam undang-undang.
  5. Jika seorang pemuda telah memberikan peningset atau pengikat (panglarang) kepada seorang gadis dengan diketahui oleh orang banyak, setelah lima bulan lamanya (perkawinan belum dilaksanakan), maka pemuda itu tidak mempunyai hak atas pengikat itu. Gadis yang demikian oleh orang banyak disebut walanjar (janda yang belum kawin, belum mempunyai anak). Ayah gadis itu berhak menawinkannya dengan orang lain.
  6. Jika seorang pemuda telah memberikan tukon kepada seorang gadis, kemudian meninggal, sedangkan pemuda itu mempunyai adik laki-laki, maka gadis boleh dikawinkan dengan adik laki-laki dari pemuda yang telah mati yang disebut wereh-wereh jika ia menerima perkawinan itu.
  7. Jika orang tua gadis telah menerima tukon dari pelamar sebagai tanda bahwa gadisnya telah laku dan telah menyetujui waktu berlangsungnya perkawinan, sedangkan jejaka patuh menanti janji orang tua gadis, tetapi ketika sampai pada waktunya gadis itu dikawinkan dengan orang lain oleh bapaknya, maka jumlah tukon harus dikembalikan dua kali lipat. Di samping itu, orang tua gadis itu dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa.
  8. Jika seorang gadis telah kawin, tetapi belum bercampur dengan suaminya, karena tidak suka kepada suaminya, karena tidak suka pemuda itu, tukon harus dikembalikan dua kali lipat. Perbuatan itu disebut .... sanggama (menolak percampuran).
  9. Jika seorang gadis telah menerima tukon dari seorang pemuda dan ayah gadis itu telah menetapkan hari yang baik untuk melangsungkan perkawinannya, tetapi sebelum janji itu tiba, gadis itu telah ditiduri oleh pemuda yang menyerahkan tukon, perbuatan pemuda itu disamakan dengan merampas kehormatan karena ia tidak sanggup menanti janji. Demikianlah undang-undangnya: tukon itu tidak berguna dan hilang. Ayah si gadis tidak usah mengembalikan tukon. Pemuda itu dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa. 
         Demikianlah ajaran Bagawan Bargawa.
        Di dalam kitab Manawadharmasastra, tukon itu disebut Sukla yang dimasukkan ke dalam stridhana (kekayaan seorang istri). Salah satu pasal yang terdapat dalam kitab Manawadharmasastra, yaitu Pasal 98 pada Bab VIII dikemukakan bahwa "Adaditana cudro 'picuklam duhitaram dadana, cuklam hi grhinankurute channam duhitr wikrayam" ('Bahkan orang Sudra sekalipun tidak boleh menerima mas kawin itu bila ia mengawinkan anaknya karena ia yang menerima mas kawin itu berarti menjual anaknya termasuk acara jual-beli dengan istilah lainnya). Selain itu, Pasal 90 bab yang sama terdapat keterangan bahwa "Nanucucruma jatwetat purwespati hi janmasu, cuklasmjena mulyena channamduhitri wikrayam" (Pun demikian pula belum pernah terdengar baik pada zaman dahulu kala hal tentang penyimpangan itu, seperti misalnya memperjualbelikan anaknya dengan harga yang pasti yang dapat dikatakan sebagai mas kawin).
       Dari kedua pasal itu dapat diketahui betapa berbeda pengertian mas kawin atau tukon dalam masyarakat Jawa Kuno dengan kitab undang-undang yang berlaku di India. Pada masyarakat Jawa Kuno tukon merupakan suatu hal yang wajar; demikian pula halnya jika orang tua si gadis menentukan besarnya tukon. Hal ini bukanlah hal yang terlarang atau hal yang mengaibkan seperti yang disebutkan dalam kitab Manawadharmasastra melainkan juga menyangkut status sosialnya di dalam masyarakat. Selain tukon masih ada beberapa pasal dari naskah perundang-undangan agama yang berbeda dengan kitab Manawadharmasastra. Misalnya, pasal mengenai paradara ('perbuatan yang kurang senonoh terhadap istri orang lain atau terhadap seorang gadis') dan pasal utang-piutang.
       Mengenai paradara, di dalam naskah perundang-undangan agama terdapat pasal yang berbunyi, "Barang siapa yang berbicara dengan wanita di tempat sepi, meskipun katanya akan berutang, dikenakan denda selaksa. Itu adalah larangan. Jangan berbicara dengan wanita di tempat sepi karena nafsu birahi susah dikendalikan. Meski seorang pendeta sekali pun, dilarang menegur seorang istri di tempat sepi karena nafsu indria sangat kuat dan susah dilawan. Jika tidak dapat menjaga indranya, tetapi mengumbarnya, hilanglah kependetaannya. Demikianlah bunyi undang-undangnya" (Slametmulyana 1967: 150), sedangkan dalam kitab Manawadharmasastra tercantum pasal yang berbunyi, "Seorang seperti itu dahulu dipersalahkan berbuat kesalahan yang bercakap-cakap dengan istri seseorang dengan sembunyi-sembunyi, diancam dengan hukuman denda terendah", dan pasal lainnya berbunyi, "Tetapi orang yang bicara seperti di atas dengan beralasan, tidak bersalah, karena tidak ada pelanggaran baginya" (Pudja dan Sudarta Tjokorda Rai 1977/1978: 510). Selain itu, di dalam naskah perundang-undangan agama terdapat pasal yang berbunyi, "Barang siapa memegang seorang gadis, kemudian gadis itu berteriak menangis, sedangkan banyak orang yang mengetahuinya, buatlah orang-orang itu saksi sebagai tanda bukti. Orang yang memegang itu dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa" (Slametmulyana 1967:151). Mengenai kasus demikian di dalam kitab Manawadharmasastra disebutkan, "Ia yang memperkosa wanita yang tidak mau dihukum jasmani langsung, tetapi seseorang yang menikmati dengan kemauan wanita itu, tidak diancam hukuman jasmani bila dilakukan dengan wanita segolongan" (Pudja dan Sudarta Tjokorda Rai 1977/1978: 152) dan "Laki-laki yang menodai wanita yang sama-sama suka tidak dihukum dengan pemotongan jari-jari tangannya tetapi diberi denda sebanyak duaratus pena agar tidak lagi mengulangi perbuatan yang sama". Dari kedua pasal paradara yang terdapat di dalam naskah perundang-undangan agama dengan kitab Manawadharmasastra dapat dilihat perbedaannya, hukuman bagi orang yang melakukan paradara di India tidak seberat hukuman yang berlaku bagi orang yang melakukan paradara di dalam masyarakat Jawa Kuno.
       Sehubungan dengan utang-piutang, dalam naskah perundang-undangan Agama ada peraturan khusus yang berlaku bagi orang yang akan berutang, yaitu harus keramas dan mencuci muka agar badannya bersih. Setelah membersihkan badan barulah boleh pergi berutang. Hari-hari untuk melakukan transaksi utang-piutang, tidak boleh lain daripada hari Senin dan Kamis (Slametmulyana 1967: 130; Jonker 1885: 50), sedangkan dalam kitab Manawadharmasstra tidak ada peraturan demikian.

                                                                         III

       Dari pasal-pasal hukum yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa ada perbedaan hukum yang diterapkan di dalam masyarakat Jawa dan India walaupun sebagian besar pasal-pasal dari naskah perundang-undangan agama diambil dari kitab Manawadharmasastra dari India. Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan bagi kita, yaitu mengapa perundang-undangan yang berlaku pada masa itu tidak diambil begitu saja dari kitab Manawadharmasastra? Selain seperti yang telah dikemukakan oleh Slametmulyana bahwa pasal-pasal yang diambil disesuaikan dengan keadaan masyarakat pada masa itu, mungkin dapat kita ambil prasasti Bendosari atau prasasti Manah i Manuk (Brandes 1913:207-210; Yamin 1962:109-115; Pigeaud 1960:104-107) dan prasasti Parun (Stuart 1875:26-27) yang berasal dari zaman Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (abad ke-14 Masehi) untuk menjelaskan persoalan di muka. Di dalam kedua prasasti itu dikemukakan tentang bagaimana para tanda rakryan rin pakirankiran memutuskan suatu persengketaan. Dikemukakan di sini, "pinametaken sastradrsta. desadrsta. udaharana guru kaka. makatangwan rasagama ri san hyan kutaramanawadi. mananukara prawrttyacara san pandita wyawaharawicchedaka rin puhun palama" ('digambarkan dalam kitab hukum, pendapat umum, kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya dan guru kaka (?). Berpegang teguh kepada inti riwayat sanghyang/kitab Kutaramanawadi, mengikuti kebiasaan sang pendeta yang menyelesaikan/memutuskan persengketaan --yang telah dilakukan-- sejak dahulu kala.
      Adapun ikhtisar si kedua prasasti itu adalah sebagai berikut:
1. Prasasti Bendosari/Manah i Manuk
      Di dalam prasasti dikemukakan ada dua pihak yang bersengketa. Pada satu pihak, Aki Santana Mapanji Sarana dengan kawan-kawannya, yaitu Ki Karnna Mapanji Manakara, Ajaran Reka, Ki Siran dan Ki Jumput; pada pihak lain samasanak di Sima Tiga yang dipimpin oleh Apanji Anawun Harsa. Aki Santana Mapanji Sarana menyatakan bahwa ia dan kawan-kawannya mempunyai tanah di Manah i Manukdan di tempat lain sebanyak 67 lirih. Tanah itu merupakan milik turun-temurun sejak tahun Saka 919 atau 997 Masehi. Selain itu, tidak ada sawah-sawah milik samasanak di Sima Tiga yang terletak lewat batas desa Pakandanan, sedangkan pihak Apanji Anawun Harsa mengaku bahwa tanah seluas 67 lirih itu dahulu digadaikan kepada canggahnya seharga satu setengah taker perak pada saat tanah Jawa tidak memiliki senjata dan tahil.
      Pihak Aki Santana Mapanji Sarana maupun pihak Apanji Aawun Harsa sama-sama yakin atas kebenaran masing-masing. Lalu mereka menghadap kepada tanda rakryan rin pakirankiran. Oleh para tanda rakryan pakirankiran kedua kesaksian itu dipertimbangkan berdasarkan kitab-kitab hukum, pendapat umum, kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya, guru kaka (?), inti kitab Kutaramanawadi, dan mengikuti kebiasaan pejabat-pejabat kehakiman yang ahli sejak dahulu kala. Di samping itu, tanda rakryan rin pakirankiran memerintahkan untuk menanyakan kepada penduduk desa-desa di sekitarnya yang tidak memihak untuk memperoleh keterangan mana yang benar dan mana yang tidak benar.
       Penduduk desa di sekitarnya menyatakan bahwa menurut pendengaran mereka memang tanah itu merupakan tanah perdikan gadaian, tetapi sumber keterangannya tidak diketahui. Oleh karena itu, pihak Aki Santana Mapanji Sarana dimenangkan dan mereka mendapat surat jayasong untuk melindungi hak mereka, sedangkan pihak samasanak di Sima Tiga dinyatakan kalah karena tidak ada bukti bahwa canggahnya pernah menggadai tanah-tanah itu dan tidak seorang pun yang mengetahui tentang hal itu.

2. Prasasti Parun
       Pada prasasti disebutkan bahwa ada dua pihak yang bersengketa, yaitu para pejabat desa Parun di satu pihak dan para pejabat desa Plan di pihak lain. Akan tetapi, kasus persengketaan ini tidak jelas karena prasasti Parun hanya ditemukan sebagian. Oleh para tanda rakryan kesaksian kedua belah pihak dipertimbangkan berdasarkan kitab-kitab hukum, pendapat umum, kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya, guru kaka (?), inti kitab Kutaramanawadi, dan mengikuti kebiasaan pejabat-pejabat kehakiman yang ahli sejak dahulu kala.
       Persengketaan ini dimenangkan oleh pejabat-pejabat desa Parun karena mereka berani menanggung akibat terkena kutukan paduka bhatara ri Parun. Kemudian, para pejabat desa Parun mendapat surat jayasong agar masalahnya tidak diungkit-ungkit lagi.
       Dari kedua prasasti itu dapat diambil kesimpulan bahwa para pejabat kehakiman jika hendak memutuskan suatu perkara, di samping harus menguasai kitab-kitab hukum, seperti Harmasastra dan Agama, juga harus mengindahkan hukum adat yang telah menjadi tradisi sejak dahulu kala. Selain itu, dari kitab Purwwadhigama didapatkan penjelasan tentang syarat-syarat bagi seorang pragwikaka, yaitu selain menguasai kitab-kitab sastra juga harus mampu memberi keputusan dalam pengadilan atas persengketaan yang terjadi serta tidak bingung dalam menghadapi kesulitan untuk mencari persesuaian antara astadasawyawahara dengan adat beserta ajarannya (van Naerssen 1941:359).

                                                                              IV

       Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam masyarakat Jawa Kuno walaupun telah diresapi oleh budaya India, tetapi masih berakar kepada tradisi masyarakat yang lebih tua lagi, yaitu hukum adat. Dalam masyarakat yang sederhana, hukum adat tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Secara tidak sadar pengaruh hukum adat masuk dan diterima dalam kehidupan masyarakat. Memang harus diakui pula bahwa hukum adat sudah mendarah daging dalam kebudayaan tradisional, yaitu sebagian besar merupakan hukum kebiasaan dan sebagian lagi merupakan hukum agama; dan seperti yang kita ketahui, salah satu sumber hukum nasional bangsa Indonesia adalah hukum adat. Hukum adat inilah yang sampai saat ini menguasai dan mengatur pelbagai bidang kehidupan rakyat Indonesia. Walaupun tidak jarang berbagai masalah timbul sehubungan dengan dipakainya hukum adat sebagai sumber bagi pembangunan hukum nasional. Di antara masalah-masalah itu ialah tidak pastinya hukum adat karena beraneka ragamnya sistem dan isi ketentuan-ketentuan hukum adat, sesuai dengan masing-masing daerah di Indonesia.

CATATAN
  1. Nagarakrtagama pupuh VXXIII:1 berbunyi:  ndan/nrpa tiktawilwapuraraja mankin atiyatna niti nin ulah,                                                                                                      rin wyawahara tan hana khasinhin in hati sapoh nin agama tinut,                                                                                            tan dadi paksapata yat aweh wibhuti saniruktya rin jama kabeh,                                                                                              kirtti ginonniran wruh in anagatadi tuhu dewamurtti sakala.                                                                                                      (Pigeaud, 1960:57)
  2. Dalam kitab Manawadharmasastra, astadasawyawahara meliputi: (1) perkara utang piutang, (2) deposito dan perjanjian, (3) penjualan barang-barang tidak bertuan, (4) perikatan antara firman, (5) pelaksanaan hibah, (6) membayar upah, (7) tidak (8) pembagian hasil dan jual beli, (9) perselisihan antara pemilik (hewan) dan buruhnya, (10) perselisihan mengenai perbatasan, (11) ancaman dengan kekerasan, (12) penghinaan, (13) pencurian/kekerasan, (14) perampokan, (15) perzinahan, (16) kewajiban-kewajiban suami istri, (17) pembagian warisan, dan (18) perjudian dan pertaruhan (Pudja dan Sudarta Tjokorda Rai, 1977/1978:417-418), sedangkan dalam naskah perundang-undangan Agama dan Kutaramanawa terdiri dari (1) astadusta, (2) hamba, (3) astacorah, (4) sahasa, (5) jual beli, (6) gadai, (7) utang piutang, (8) titipan, (9) tukon, (10) perkawinan, (11) paradara, (12) warisan, (13) parusya, (14) dandapurusya, (15) kelalaian, (16) perkelahian, (17) tanah, dan (18) fitnah/kebohongan (Slametmulyana, 1967).
  3. Naskah perundang-undangan Agama ditemukan di Bali dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno. Naskah ini pertama kali diterbitkan oleh J.C.G. Jonker sebagai disertasinya pada tahun 1885, sedangkan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia telah dilakukan oleh Slametmulyana pada tahun 1967. Naskah Sarasamuccaya telah diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia pada tahun 1979 berupa alih aksara, terjemahan, dan komentar. Naskah ini pun ditemukan di Bali dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno.
  4. Lihat: G. Pudja MA dan Sudarta Tjokorda Rai Sudarta MA, Manawa Dharmasastra, 1977/1978, hal 554.
  5. Baik prasasti Bendosari/Manah i Manuk maupun prasasti Parun tidak berangka tahun. Prasasti Bendosari/Manah i Manuk hanya ditemukan lima lempeng, yang merupakan lempeng ke-2, 3, 4, 5, dan 6. Huruf dan bahasanya adalah Jawa Kuno. Di dalam prasasti ini disebutkan nama Raja Hayam Wuruk, dengan demikian, dapat diperkirakan prasasti Bendosari/Manah i Manuk berasal dari zaman Majapahit. Prasasti Parun hanya ditemukan dua lempeng. Huruf dan bahasanya Jawa Kuno. Karena ada bagian-bagian yang sama benar formulasinya dengan prasasti Bendosari/Manah i Manuk, maka prasasti Parun pun diperkirakan berasal dari zaman Majapahit.
  6. Tanda rakryan pakirankiran merupakan sekelompok pejabat tinggi yang merupakan 'Dewan Menteri' dan berfungsi sebagai 'Badan Pelaksana Pemerintah'. Badan ini biasanya terdiri dari lima orang pejabat, yaitu: Rakryan Mapatih atau Patih Hamengkubhumi, Rakryan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga, dan Rakryan Kanuruhan (Soemadio, 1976:277). 
  7. Pragwikaka adalah pendeta yang sempurna pengetahuannya akan semua kitab-kitab sastra, terutama kitab Dharmasastra, Kutaramanawa, Sarasamuccaya, Canyaka, Kamandaka (van Naerssen, 1941:359).
Oleh Titi Surti Nastiti

0 komentar:

Posting Komentar

About this blog

Aku memandang suka dan duka
Berganti-ganti di dalam hati

Apa gerangan masa di muka
Jadi bangsa yang kucinta ini
Adakah tanda megah kembali
(Sanusi Pane, Puspa Mega)

My Blog List

Consectetuer

Popular

Blogroll

Total Tayangan Halaman

About

Labels

Labels

Dari Mana

widget

Translate

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Labels

EDIT DESCRIPTION HERE

Followers

Search This Blog